Gelisah
Oleh: Dyah Diputri
Entah apa gerangan yang bakal terjadi. Aku bangun pukul tujuh pagi dengan kondisi letih. Kepala yang terasa berat kupaksakan untuk mengingat-ingat, mimpi apa semalam. Namun, tidak ada secuil pun memori yang tersangkut. Hanya ada rasa capai, lesu, dan minim gairah. Bahkan, badanku enggan beranjak dari tilam.
Sudah terlambat untuk menyiapkan sarapan. Mas Fandi—suamiku—tentu sudah menunggu di meja makan bersama Lita. Seharusnya aku bisa bangun lebih awal untuk menyiapkan bekal mereka. Apalagi, ini hari pertama putriku menginjak sekolah dasar. Apa daya, tubuh ini tidak bisa diajak kompromi.
“Bunda sakit, ya?” Mas Fandi menghampiri, lantas meletakkan punggung tangan di keningku. “Nggak demam, kok. Tapi, kalau memang nggak enak badan, istirahat aja,” lanjutnya.
Memang, suhu tubuhku tidak tinggi. Hanya saja, mengumpulkan niat untuk bangkit dari tempat tidur sangatlah berat. Sungguh menyesal karena aku tidak bisa mengantar Lita ke sekolah. Beruntung Mas Fandi mau membantu menyiapkan sarapan seadanya saat tahu aku kesiangan. Aku hanya mampu mengangguk melepas kepergian Mas Fandi dan Lita. Meski detik ini masih berbaring, kuusahakan siang nanti bisa menjemput Lita di sekolah. Entah bagaimana caranya.
Selama setengah jam jemariku tak henti memijit pelipis, hingga rasa nyeri mereda. Anehnya, perasaanku masih tidak menentu. Tidak ada tanda-tanda cacing-cacing dalam perut minta diberi jatah makan, bukan pula aku tengah flu. Namun, jantung ini berdetak lebih cepat dari normalnya. Seperti ada firasat aneh berputar-putar di hati, tetapi entah apa. Seolah-olah akan ada hal buruk yang akan terjadi. Bisa jadi ini kecemasan yang berlebihan, tapi—apa pun itu—aku tidak bisa memprediksinya.
Sebagai pengalihan, aku mencoba mengangkat badan agar bisa duduk. Kuraih segelas teh hangat buatan Mas Fandi di dekat lampu tidur, lantas meminumnya sedikit. Setelah merasa agak rileks, kuturunkan kaki ke lantai. Dingin, tetapi tak mengapa. Mungkin percikan air dingin yang membasuh muka juga bisa memulihkan semangat.
Tanpa sengaja, tangan kanan menyenggol gelas hingga teh manisnya luber ke nakas. Kemudian, gelas menggelinding dengan cepat lalu jatuh dan pecah. Aku meloncat mundur, dan kontan memekik sebab kaget. Perasaan cemas yang tadinya sudah agak mendingan, kini meletup-letup lagi. Seluruh tubuhku bergetar hebat. Ada apa ini?
Tanpa menunggu lebih lama, kucabut telepon genggam dari charger. Hatiku semakin gelisah tak menentu. Satu hal yang pasti, firasat buruk semakin menguat. Bagaimana kalau terjadi sesuatu terhadap Mas Fandi atau Lita? Ya Allah, hapus pikiran buruk ini, dan jagalah keluargaku, batinku terus meminta.
“Ayah nggak pa-pa, ‘kan? Udah di kantor belum? Lita gimana tadi? Beneran udah dianter sampai depan kelas?” Bibir gemetaran menanyakan semua pada Mas Fandi.
Mas Fandi berusaha menenangkan aku. Dia bilang, semua baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dicemaskan. “Bunda istirahat aja, deh. Sudah kuminta mama Fika buat barengin Lita nanti siang,” ujar Mas Fandi.
“Tapi, aku nggak sakit, Yah. Cuma hatiku nggak enak rasanya.”
“Ya, udah. Buat rileks, Bun. Jalan-jalan ke pasar sana, siapa tahu lihat daster-daster baru jadi semangat.” Mas Fandi menutup telepon sebelum aku menyela. Menyebalkan.
Kupikir, ucapan Mas Fandi ada benarnya. Mungkin dengan berjalan-jalan ke pasar, hatiku jadi sedikit tenang. Melihat-lihat model baju terbaru di toko Pak Usman, membeli stok sayur dan lauk, juga menawar harga cabai, pasti akan sangat menyenangkan. Gegas, aku ke kamar mandi dan bersiap dengan polesan wajah natural.
Kupandangi refleksi wajah di cermin sekali lagi. Rasanya ada yang kurang. Wajahku memang tidak pucat, tetapi ada sesuatu yang terlupa. Ah, kalung! Kalung emas seberat lima gram dengan bandul berbentuk logo Chanel, pemberian Mas Fandi beberapa hari yang lalu. Kalung itu melengkapi cincin dengan model serupa yang sudah melingkar di jari manis, bersanding dengan cincin mahar pernikahan. Mengenakan kedua perhiasan itu seperti mengingatkan akan perhatian suamiku. Mas Fandi telah bersusah payah menyisihkan sebagian uang rokoknya demi menyenangkan hatiku. Betapa bangganya aku menjadi istrinya.
Namun, ah! Kenapa perasaan gundah ini kembali menyeruak? Lagi-lagi jemariku bergetar saat mengenakan kalung, juga saat meraba cincin kawin. Kuucap istigfar berkali-kali, tetapi debar di dada tak kunjung reda. Kembali kuhubungi nomor ponsel Mas Fandi. Panggilan hanya berdering berkali-kali, Mas Fandi tidak mengangkat telepon. Sementara itu, kecemasan semakin naik level. Parahnya lagi, keringat dingin mulai timbul di seluruh tubuh. Jarang sekali aku merasa khawatir seperti ini.
Ambil napas panjang, lalu keluarkan. Tenang, Irma! Tidak akan terjadi apa-apa kepada Mas Fandi, gumamku dalam hati.
Ke pasar … ya, ke pasar! Aku harus mengalihkan ketakutan tak wajar ini. Lebih baik berbaik sangka daripada berpikir yang tidak-tidak.
Aku berjalan-jalan santai menuju arah pasar, sambil menetralisir degup jantung. Sesekali aku berhenti dan menegaskan pada hati kalau Allah akan melindungi keluargaku. Namun, yang namanya gelisah itu pasti bukan tanpa sebab. Manusia diberi kelebihan merasakan firasat, bukan? Sungguh, aku takut firasat ini membawa kabar buruk.
“Mbak.”
Seseorang menepuk bahu, lalu mengalihkan rasa gelisahku. Dia, seorang wanita tua yang usianya sekitar lima puluh tahun, berambut putih bergelung, kulit sawo matang, dan bermata teduh. Teduh sekali, hingga aku terpana melihatnya.
Kuulas selukis senyum manis sambil mengangguk beberapa kali. Lalu, dia meraih tangan dan menyalamiku. Dia menyapa, bicara, dan tersenyum kepadaku. Aku tidak merasa pernah mengenalnya, hanya saja ….
***
Saat kesadaranku berangsur kembali, aku mulai menangis. Air mata yang berjatuhan ke pipi kuusap kasar, tapi malah menitik lagi. Sebongkah penyesalan bertubi-tubi memukul dadaku. Rasanya masih belum ikhlas menerima apa yang terjadi. Bagaimana aku bisa ikhlas kehilangan, sementara aku sudah diberi firasat tentang hal buruk ini, tetapi tidak bisa menghalaunya.
Mas Fandi terdiam tanpa kata di hadapan walau raunganku bertambah kencang. Seharusnya dia percaya pada perasaan yang kumiliki sejak pagi tadi. Seharusnya dia mendengarkanku. Seharusnya dia tidak menyuruhku pergi ke pasar. Seharusnya ….
“Maafkan Bunda, Yah,” rajukku, tapi tak diacuhkan Mas Fandi.
Aku tahu pria itu marah, walau disembunyikan dalam mimik tenang. Seribu kali maaf terucap dari bibir, tidak akan bisa menebus kecerobohanku. Oh, tidak! Aku bukannya ceroboh, aku hanya … sial!
Sial, karena baru saja kena gendam. Jika waktu bisa diputar kembali, kuharap hari ini aku tidak memakai kalung dan cincin pemberian Mas Fandi. (*)
Malang, 17 Juli 2020
Dyah Diputri. Pencinta diksi yang tak sempurna.
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata