Gelas Tidak Berisi
Oleh : Ning Kurniati
Sudah saya katakan pada Bapak bahwa apa pun yang terjadi saya tetap akan ke rumah perempuan itu, tidak peduli dia melarang keras atau sampai menyumpahi. Bukannya saya mau durhaka kepada orangtua, hanya saja sampai sekarang dia tetap tak mau memberikan alasan yang bisa membuat saya patuh. Dia kukuh pada pendiriannya itu. Maka saya pun juga kukuh untuk tetap dengan niat awal. Masih terdengar teriakannya memanggil, gedebuk barang yang dilempar ke dinding, bunyi krak patah, mungkin sapu, ketika saya berjalan ke ambang pintu.
Rumah perempuan itu ada di pinggir hutan, reok seolah bila ada angin yang datang bertubi-tubi, sekali hempas akan rata dengan tanah. Rumah itu akan dilalui orang-orang hanya ketika melintas ke hutan karena butuh kayu bakar, pun ketika saya di sana, mereka hanya menoleh sekilas, tanda mengakui bahwa rumah itu ada, tetapi tak menarik untuk sekadar menengok apa isinya. Tak ada yang memberi perhatian pada dia.
Tubuhnya kurus kering. Kadang saya menganggap tak ada lagi secuil otot yang melekat pada tulang-tulangnya. Kulit hitamnya menempel di tulang terlihat seperti permen karet, lekat dan tipis. Rambutnya yang tak terurus panjang menyapu lantai yang tak berubin dihinggapi berbagai macam serangga. Bau busuk menyeruak memenuhi tempat itu seperti kami berada di tempat pembuangan akhir sampah.
Pertama kali dia ditemukan, ketika teman-teman mengajak saya untuk berkemah di dalam hutan. Ketika itu, gelap sudah menyeluruh mengepung bumi. Kami pikir rumah itu kosong dan bisa dijadikan tempat untuk berteduh karena hujan mulai turun membasahi pakaian rombongan dan kami belumlah sampai juga pada tujuan.
Saya yang menemukannya pertama kali ketika mengecek ruangan yang ditempatinya. Perempuan itu meringkuk memeluk tubuhnya. Sudah saya kira dia hantu, tetapi cahaya bulan yang masuk melewati kisi-kisi jendela membuat saya tidak jadi berpikir demikian. Seandainya dia hantu, dia akan bergerak, menakut-nakuti.
Saya masih terpaku menatapnya beberapa lama hingga salah satu teman datang dan mendadak menjerit seperti orang kesetanan. Hantuuu! Mendengar teriakan itu, perempuan yang meringkuk menggeser posisinya dengan susah payah, memojok dan menenggelamkan wajahnya di kedua lutut. Dia ketakutan.
Semua orang berkumpul. Saling mendesak harus ada dari kami yang mendekati perempuan itu. “Jangan, bagaimana kalau dia gila?” ucap seseorang di belakang saya.
“Bagaimana kalau dia tidak gila?” Semua terdiam.
Tak mendapat tanggapan, memberanikan diri saya perlahan bergerak, sembari sesekali berdeham. Perempuan meringkuk semakin meringkuk, memeluk lututnya semakin erat, menyudutkan tubuhnya di sudut ruangan. Dia mulai berguman, tidak kedengaran jelas, lalu saya angkat suara.
“Saya Aska.” Sebenarnya saya tidak tahu harus mengucapkan kata apa, lalu terpikir begitu saja nama tanda untuk perkenalan.
Dia tak merespon, teman-teman ikut-ikutan diam juga. Jadi, saya berusaha lebih dekat meski sebenarnya tidak tahan dengan bau yang menguar dari tubuhnya.
“Saya Aska.”
Mmmm, huh-huh-huh, dia berguman lagi, kali ini diikuti tangan yang bergerak untuk menghalangi saya. Mungkin dia berpikir saya akan menyentuhnya.
“Saya tidak jahat.”
“Yah, kami tidak jahat,” teman-teman menimpali di belakang.
Huh-huh-huh, gumamnya diiringi gerakan tangan tanda menghalau lagi seperti tadi.
Malam itu kami menyerah. Kami berkesimpulan tidak bisa mendekatinya. Sebagian mengaggap dia gila, sebagiannya lagi berpikir dia seperti itu disebabkan dua kemungkinan, tunawicara atau karena sudah lama tak berinteraksi mungkin takut atau orang-orang yang takut kepadanya sehingga dia tidak terbiasa dengan kehadiran orang lain. Sebungkus roti dan segelas air kami letakkan di hadapannya dengan kemasan terbuka.
*
Kondisinya tak semengenaskan dulu. Sudah tidak ada bau busuk dan rumahnya sudah cukup bersih untuk ditempati sementara. Dia sudah mau didekati dan bisa diajak mengobrol sedikit demi sedikit, meski sikapnya yang menenggelamkan kepala di antara lutut masih sering dia lakukan. Namun, tidak ada lagi gumaman dan kibasan tangan yang menghalau.
Rencananya saya dan teman-teman akan membawanya sore hari ini. Ketika kami tiba di rumahnya, dia sedang duduk di teras gubuknya, seperti menanti kedatangan kami. Mendengar suara kedatangan, perempuan itu mengangkat kepala dan tampaklah wajahnya yang baru terlihat dengan baik sekarang. Saya terenyuh.
“Saya Aska.” Dia menganggukan kepala dua kali lalu menunduk dan menenggalamkan wajah lagi.
Kami yang datang saling pandang, saling melempar senyum karena merasa dia ada kemajuan. Dia yang kami tinggalkan dua hari lalu setelah habis dimandikan dan rambutnya dipotong—keduanya dilakukan dengan memaksa—menjadi berbeda hari ini. Meninggalkannya dalam waktu yang cukup lama ternyata ada baiknya.
Mungkin dia sudah merenungi semua perlakuan kami sehingga berubah. Saya harap dia tidak memiliki kelainanan jiwa seperti tanggapan sebagian teman-teman.
*
Saya membawanya ke rumah. Dia mau, saya menganggapnya begitu karena dia menurut tanpa berontak sedikit pun ketika diangkat. Seperti kami di dalam mobil dia duduk dan tidak melakukan tingkah macam-macam. Ketika saya tanyakan mau buang air kecil atau buang air besar di tengah perjalanan, dia mengangguk dan semuanya berjalan normal saya pikir. Ketika kami tiba Bapak sedang keluar.
Teman-teman pergi tak lama setelah berbasa-basi sebentar dan menguatkan. Saya menengoknya di kamar sejenak lalu sebelum melanjutkan hal-hal yang harus dikerjakan. Dia tertidur, terlihat damai dan itu membuat saya sedikit lebih lega. Apa yang akan dilakukan Bapak ketika melihatnya di rumah ini?
Segelas air, semangkuk sup, sepiring nasi, dan seekor ikan saya hidangkan di hadapannya.
“Mama menyukainya. Dia sering memasak ini untuk saya.”
Tak mendapat respon, saya teruskan berbicara.
“Saya lebih suka ikan ketimbang daging lain. Baunya lebih mudah disamarkan dengan bumbu. Harganya juga lebih murah, lebih mudah didapatkan dan masih segar. Percayalah masakan saya enak kok, Bapak sering memuji.”
Saya pikir sembari berbicara dia akan mengangkat sendok itu, tetapi apa yang dilakukannya hanya menatap makanan itu. Jadi, saya bungkam dan menantinya untuk bergerak barang kali memulai dengan air untuk membasahi kerongkongannya.
“Apa kamu tidak menyukainya? Baiklah saya akan menggantinya.” Saya hendak mengangkat nampan yang berisi makanan itu, tetapi mendadak dia menunjuk sendok, lalu berdadah dengan gerakan lambat.
“Saya pikir kamu tidak menyukainya, ternyata kamu tidak bisa pakai sendok. Maafkan saya. Seharusnya saya lebih peka.” Seperti biasa dia hanya mengangguk.
“Kamu tidak bisa bicara?” Mengangguk lagi. Saya memberinya air terlebih dahulu, lalu menyendokkan nasi yang habis saya guyurkan sup dan mencampur-aduk.
“Saya suka makanan yang seperti ini. Kata Mama, piring saya berair terus. Piring banjir, katanya.” Dia menarik bibirnya ke samping sedikit. Saya anggap itu senyum pertama.
***
Bapak sedang duduk dengan gelas kosong di meja ketika saya kembali dari menyuapi perempuan itu.
“Kita tanpa kebahagian anggota keluarga lain, seperti gelas tidak berisi,” ucapnya.
Saya meneteskan air mata lalu memeluk Bapak. Keras hatinya sudah melunak.
Ning Kurniati, Perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link bit.ly/AkunNing