Gelang Jam dari Ayah
Oleh : Jeevita Ginting
Gabah yang Ibu jemur di halaman masih belum kering, tetapi langit sedang tidak bersahabat. Guruh yang terdengar benar-benar memekakkan telinga. Sewaktu kecil, Adik sering menangis ketika mendengar guruh, lalu Ibu akan memeluknya sampai dia berhenti menangis.
Saya segera mengumpulkan gabah-gabah itu, lantas meraupnya menggunakan kedua tangan ke dalam karung. Jika belum terbiasa, badan bisa gatal-gatal, bahkan telapak tangan akan terluka, makannya saya selalu melarang Adik jika ingin membantu. Dan, ya, si keras kepala itu tak akan mendengarkan meski akhirnya pada malam hari dia akan mengeluh pada Ibu, seperti anak kecil.
“Pandi, ke mana adikmu?” tanya Ibu ketika saya masuk ke rumah sambil memanggul sekarung gabah. “Dia tidak membantumu?”
Saya menggeleng, dan melewatinya begitu saja. Mungkin dia ke pasar. Akhir-akhir ini dia suka jalan-jalan di pasar yang memang jaraknya tak cukup jauh dari rumah. Masih ada dua karung gabah lagi di luar, saya harus cepat supaya tak kalah cepat dengan gerimis yang sudah mulai merayap turun dari gumpalan awan-awan hitam.
Hidangan tersaji di atas tikar pandan yang dianyam sendiri oleh Ibu. Meski sudah kering, aroma dari tikar itu tetaplah wangi. Jujur saja, saya menyukai aromanya. Tak ada alasan khusus, hanya saja aromanya mengingatkan saya pada Ayah karena dulu kami sering tidur bersama beralaskan tikar pandan itu.
“Kenapa nggak dimakan, Ris. Kamu udah kenyang?” sela saya yang sedari tadi memperhatikan Aris hanya memainkan nasi dan tumis sayuran di piringnya. Ada apa dengan anak ini? Biasanya dia sangat lahap saat makan.
Ibu mengulangi pertanyaan saya, Aris hanya mendesah. Mungkin dia sedang memikirkan banyak hal. Sejak pulang tadi, dia terlihat murung.
“Ah, itu … tadi saya liat beberapa orang di pasar mengenakan jam tangan yang bagus.”
Jam tangan? Mungkin seperti jam tangan yang ditinggalkan Ayah untuk kami. Ibu menyimpannya di lemari karena memang belum saatnya kami memiliki jam tangan itu.
Aneh. Ibu terburu-buru pergi ke kamarnya lantas segera kembali. Dia membawa sebuah kotak hitam yang terbungkus kain putih transparan.
“Ini, bukalah.”
Saya meraih kotak itu lalu membukanya. Ini … jam tangan dari Ayah. Kenapa Ibu mengeluarkannya?
“Pakailah. Meski Ayah sudah berpesan agar kalian memakainya setelah berusia tiga puluh, tapi Ibu rasa sebaiknya kalian gunakan sekarang saja.”
Adik terlihat takjub. Dia meraih jam itu dan segera memakainya. Dia memukul-mukulkan telunjuk ke permukaan kacanya. Jarum jam itu tak bergerak, mungkin karena sudah kehabisan baterai.
“Pandi, kenapa jamnya nggak dipakai?” tanya Ibu.
Memakainya sekarang? Tidak apa-apa kah? Tapi … mungkin Ayah memiliki maksud tertentu, makanya meminta agar kami tak terburu-buru memakai jam tangan itu. Saya menghormati Ayah, jadi saya tak mau memakainya.
Ibu sepertinya kecewa saat saya menolak, dan saya mengerti alasannya. Adik juga membujuk, pada akhirnya saya memang harus memakai jam itu sekarang.
Jarum jam kami kini bergerak. Suaranya yang beraturan membentuk sebuah ritme, membuat dada saya berdegup kencang.
Sepertinya Adik sangat senang ketika putaran jarum jam itu membuat pergelangannya mengeluarkan darah. Ah, saya rasa dia menganggapnya sebagai sebuah permainan. Adik lantas berpamitan, dia ingin menunjukkan jam tangan itu kepada teman-temannya yang mungkin sedang bermain catur atau karambol di pos ronda.
Saya memperhatikan tiap tetes darah yang keluar ketika jarum jam yang lebih panjang berhasil melewati angka dua belas. Mulanya saya takut, banyak hal-hal aneh yang mulai terbayang di dalam kepala. Saya juga khawatir, jika orang-orang nanti akan bertanya, karena usia saya memang terlalu dini untuk mengenakan jam ini.
“Kenapa kok diam aja, Pan?”
Saya menarik diri dari lamunan dan tersenyum sekilas pada Ibu. Ah, wanita yang sangat istimewa ini terlihat cerah. Mungkin karena dia tak lagi memiliki beban yang dititipkan Ayah. “Nggak kenapa-napa kok, Bu. Sudah mau Isya, saya mau wudu dulu.”
Sepulang dari surau, saya mencari-cari Aris. Tidak biasanya dia absen salat berjemaah. Mungkinkah dia masih berkumpul dengan teman-temannya di pos ronda? Ah, jika benar, dia sangat keterlaluan. Saya harus bergegas ke sana.
Nihil. Aris tak ada di sini, begitu pun dengan teman-temannya. Di mana dia? Saya kembali beranjak, memutuskan untuk mencari Aris ke rumah salah satu temannya.
“Pandi! Pandi!”
Siapa itu? Saya pun berbalik. Itu Aziz, dia berlari mendekat ke sini. Napasnya tersengal, hingga dia kesulitan untuk mengatakan hal yang ingin diutarakannya.
“Tenang, Ziz. Ada apa?”
Gawat. Kata Aziz, Aris dihakimi oleh orang-orang karena jam tangan itu. Sudah pasti mereka akan menyalahkan Ibu karena membiarkan kami memakai jam tangannya terlalu dini. Ah, hal itu pikirkan nanti. Saya harus bergegas menemui Aris. Saya dan Aziz pun cepat-cepat pergi ke lapangan.
Bau amis menyeruak dari rerumputan yang tergenang darah. Tidak salah lagi, pasti darah ini berasal dari pergelangan tangan Aris. Di mana dia sekarang? Saya harus cepat menemukannya.
Setelah menyusuri bangunan-bangunan di sekeliling lapangan, akhirnya saya melihat keramaian di depan ruang bekas kantor kepala desa. Orang-orang itu mengumpat, sehingga darah yang keluar dari pergelangan mereka yang memakai gelang jam, mengucur semakin deras.
“Bapak-bapak, ada apa ini … tolong lepaskan Aris, kenapa dia diikat seperti ini!” seru saya setelah berhasil masuk ke tengah-tengah gerombolan.
Akhirnya mereka menyampaikan alasannya mengapa Aris dihakimi dan kedua tangannya diikat. Aneh, pergelangan tangannya tak lagi mengeluarkan darah, padahal dia masih mengenakan gelang jam itu.
“Pandi, adikmu ini belum boleh memakai gelang jam itu. Dia memamerkannya kepada anak-anak kami sampai mereka juga meminta gelang jam yang sama. Dan tidak mungkin kami memberikan gelang jam itu, karena kami masih ingin hidup! Dan lihat, ternyata kamu juga memakainya! Ah, tapi setidaknya gelang jam itu sudah cocok untukmu.”
Setelah berunding cukup lama, akhirnya saya berhasil meyakinkan orang-orang ini untuk melepaskan Aris. Tentunya dengan syarat, jarum gelang jam yang Aris kenakan tidak boleh bergerak sehingga membuat darah keluar dari pergelangan tangannya berhenti. Ya, akhirnya mereka memotong jarum itu. Tak ada pilihan lain. Saya pun menyetujuinya, karena jika tidak, mereka akan mengusir Aris dari desa ini. (*)
Selesai.
Jeevita Ginting. Perempuan manis yang sangat menyukai yoghurt masam manis.
Editor : Nuke Soeprijono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata