Gelang Giok
Oleh: Syifa Aimbine
Hans menerobos belakang panggung, napasnya memburu seiring detak jantungnya yang meningkat tiga kali lebih cepat karena berlari. Di depan cermin besar itu sudah menunggu Mei dengan wajah tak sabar—meski dengan bedak putih menutupi riasan wajahnya, tapi Hans bisa membaca wajah muram istrinya—untuk segera merebut gelang giok hijau dari tangan Hans.
Mei sudah berulang kali mengingatkan Hans bahwa ia enggan tampil tanpa menggunakan gelang giok pemberian dari aktor panggung idolanya. Namun, Hans yakin sudah menyimpan gelang itu dengan baik di kotak perhiasan yang biasa ia bawa setiap kali Mei manggung. Mei lah yang ceroboh meletakkan secara asal kemarin malam, saat ia menolak membersihkan sisa riasan wajahnya dan langsung merebahkan diri di kasur.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun—termasuk ucapan terima kasih—Mei kembali melenggang masuk ke dalam panggung, melanjutkan gilirannya. Suara musik tabuhan gendang besar dan simbal menggiring gerakannya yang luwes. Jarinya yang gemulai dan lentik seolah memetik angin, suaranya yang merdu melantunkan nyanyian tembang opera; lagu lawas tentang percintaan yang membuat haru para penontonnya. Semua tampilan itu tentu saja mampu memikat siapa saja, termasuk Hans, sekitar lima tahun yang lalu.
Hans sudah lama ikut membantu ayahnya yang merupakan pemilik gedung teater terbesar di kota Zhangye. Sejak usia belasan, ia sudah dilibatkan dalam operasional panggung. Membantu penata rias pelakon, kadang mengatur lampu, menjaga gerbang tiket, dan apa saja yang dibutuhkan. Hal ini dilakukan sang ayah agar putranya itu tidak buta dengan sumber rezeki yang menghidupi keluarga mereka secara turun temurun.
Kala itu Mei baru datang dari desa, sebelumnya ia ikut pertunjukan keliling bersama ibunya. Hans langsung jatuh hati pada paras Mei yang jelita, serta penampilan panggungnya yang menawan. Saat pertama ia tampil semua tahu, Mei adalah calon bintang baru, bunga yang baru merekah, intan yang baru ditemukan, kelak semakin diasah akan semakin berkilau.
Mei jelas tak menolak Hans, meski dari penampilan, jelas calon juragan itu kalah unggul. Hans adalah tipe pria baik-baik yang layak untuk menjadi suami penurut, dan tentu saja, kaya raya. Namun, setelah tujuh tahun bersama, keluarga Hans akhirnya tak menyetujui rencana pernikahan keduanya.
“Mei memang belum ingin punya anak, aku tidak keberatan. Kami tidak sedang buru-buru,” jelas Hans pada keluarga besarnya yang mempertanyakan kondisi Mei yang belum juga hamil setelah pasangan itu hampir setahun tinggal bersama.
“Kalau begitu menikahnya juga nanti saja, tunggu si Mei sudah hamil,” balas Bibi Lee, adik ayahnya yang memang suka ikut campur.
Hans menghela napas, ia sebenarnya enggan berdebat. Setiap kumpul keluarga besar, baik saat hari raya, tahun baru, maupun saat kematian ibunya pun, ia jarang mau duduk bersama seperti sekarang. Desakan Mei untuk lekas menikah yang membuatnya harus menghadapi tatapan para keluarganya malam ini.
Hans berhasil—meskipun ia menyesalinya sekarang—mengawini Mei. Namun, seperti opera komedi yang pernah ia tonton bersama ayahnya saat ke pusat kota, semua hanyalah siksaan bagi para pria. Lama-lama ia menjadi pelayan bagi Mei daripada menjadi suami. Niatnya sejak awal untuk menjadikan Mei serupa ratu memang terwujud, tetapi ini dalam porsi yang terlalu banyak.
Saat manggung, Mei hanya ingin dilayani oleh Hans. Hans yang harus mengikat tali gaunnya, menusuk sunting bunga teratai di sanggulnya, membubuhkan perona merah di kelopak matanya, bahkan memakaikan gelang giok hijau itu di lengan kirinya. Kalau Hans menolak, atau lamban sedikit saja ia bergerak Mei akan melotot, bahkan salah seorang penata rias pernah melihat Mei memukul kepala Hans ketika suaminya tak sengaja menyisir rambutnya terlalu keras. Semua iba melihat Hans.
“Kau terlalu memanjakannya, Hans. Lihat, kini kau menjadi budaknya,” ejek Paman Hao, yang dibayar keluarganya untuk bersih-bersih.
Akan tetapi, Hans tidak berpikir demikian. Ia tetap menyayangi Mei, sama seperti awal bertemu. Bagaimanapun sikap Mei, Hans akan memaafkan tanpa dipinta. Apalagi jika ia melihat Mei di atas panggung, istrinya itu selalu tampak sempurna.
***
Mei mengamuk, begitulah yang disampaikan pelayan rumahnya saat datang menjemput Hans yang sedang di rumah duka untuk menghadiri kematian salah seorang pegawai. Bergegas Hans berlari meninggalkan kerumunan orang berbaju serba putih itu untuk segera menemui Mei.
Benar saja, ruang tamu rumahnya benar-benar kacau. Guci pecah berserakan di lantai, tapi tidak ada Mei di ruangan itu. Ia pun mencari ke sekeliling rumah dan mendapati Mei sedang di kamarnya. Ia duduk di depan meja rias, tepekur memandangi gelang giok hijau kesayangannya.
“Mei, kenapa?” Hans segera memeriksa istrinya, memastikan tidak ada luka pada kulit mulusnya.
“Aku hamil, Hans.” Air mata kembali mengalir dari pipi kemerahan itu.
Tentu saja hal itu mengejutkan Hans, tapi terkejut dalam arti berbeda dari yang ditunjukkan Mei. Justru hal inilah yang ditunggu lelaki itu begitu pun keluarga besarnya. Langsung saja pikirannya berharap Mei mengandung anak lelaki yang akan mewarisi nama keluarganya. Namun, sorakan gembira terpaksa ia tahan ketika melihat Mei. Ia tahu wanita itu kecewa. Mei memang belum mau hamil, ia masih ingin berkarir, dunia peran adalah hidupnya. Semua pernah didengar Hans, dan saat itu ia memang mendukung Mei, meski tentu saja ia tetap berharap wanita itu akan mengandung anaknya secepat mungkin. Supaya Bibi Lee tidak terus menyindirnya, supaya ia bisa membuktikan keperkasaannya di hadapan keluarga. Semua itu tentu saja harapan sederhana dari seorang pria yang sudah menikah, kurang lebih begitu pemikiran Hans.
Mei kemudian berdiri dan berbalik menatap Hans yang berusaha tersenyum tulus. Semata agar Mei tidak merasa kecewa, dan tetap merasa kalau Hans masih mendukungnya. Namun, Mei malah melotot padanya, sama seperti saat ia tak menemukan gelang giok kesayangannya saat akan tampil.
“Kau membuat ayah bayi ini mati, Hans. Seharusnya kau yang mati, bukan Leo.”
Hans terkejut, otaknya belum bisa mencerna apa yang baru saja dikatakan Mei.
“Ya, kau tidak salah dengar, bayi di perutku ini anak Leo, bukan anakmu!”
Ucapan Mei seperti tabuhan gendang dan simbal raksasa yang mengalun sangat keras dan membuat telinganya sakit. Ia ingin memejamkan mata sekuat-kuatnya, agar bunyi itu tidak memecahkan gendang telinganya. Namun, tak bisa. Apalagi ketika ia mendengar teriakan Mei, semua terjadi begitu cepat ketika ia menyadari tangannya bersimbah darah dan potongan gelang giok itu menancap di leher Mei. Pipi kemerahan itu perlahan tampak pucat karena darah yang terus muncrat. Hans terkejut dan ia pun keluar berlari sekencangnya menuju rumah duka. Ia tak rela jasad Leo dikremasi dengan terhormat.[*]
Depok, 15 Juni 2022
Syifa Aimbine, seseorang yang menghargai sepi.
Editor: Nuke Soeprijono
Sumber gambar: Google