Gawat, Ketinggalan!
Oleh: Fathia Rizkiah
Sebagai anak perempuan satu-satunya, sejak kecil—bahkan sejak bayi—Ibu sudah membiasakan saya untuk mengenakan kerudung. Ke mana pun saya pergi, di mana pun saya berada, sedang mengenakan baju pendek sekalipun, kerudung hal paling utama yang tidak boleh ketinggalan.
Satu kesalahan Ibu saya, Ibu tidak menjelaskan secara inti kenapa perempuan harus menutup seluruh rambutnya. Yang saya tahu waktu itu, mengenakan kerudung hanya untuk melindungi rambut dari terpaan sinar matahari langsung.
Kalau ditanya kenapa memakai kerudung? Jawabannya karena disuruh Ibu. Agar apa memakai kerudung? Agar tidak dimarahi dan tetap mendapat uang jajan setiap harinya.
Pernah suatu waktu saya kesal dengan peraturan Ibu yang sangat overprotektif tentang kerudung ini. Saya merasa begitu tertekan, bila tidak menurut Ibu akan melotot sambil mengomel. Kemudian yang terjadi saya akan dikurung seharian di dalam rumah, hal yang saya lakukan hanya menangis agar Ibu luluh dan membolehkan saya main kembali. Tapi nihil, Ibu tetap mengurung saya sambil mengoceh saya tidak boleh keluar kalau tidak pakai kerudung.
Yang saya pikirkan saat itu, kenapa saya harus sekali pakai kerudung sementara teman-teman saya biasa saja. Mereka mengenakan kerudung hanya saat mau dan hanya di waktu-waktu tertentu. Contohnya saat mengaji sore hari di langgar. Ibu mereka pun tidak marah kalau mereka memakai kerudung semaunya. Membuka kerudung di tempat umum pun dibiarkan saja, berbeda sekali dengan saya.
Terkadang saya iri saat melihat rambut teman-teman saya dikepang. Saya juga ingin seperti itu. Dan tampaknya kali ini Ibu bisa membaca pikiran saya, akhirnya rambut saya dikepang. Meski hasilnya tidak terlalu bagus karena jenis rambut saya yang agak kribo. Tetapi saya menikmati kepangan ini, meski hasilnya hanya bisa dilihat oleh orang-orang rumah, karena setelahnya kepala saya kembali dibalut kerudung.
Suatu hari, setelah pulang sekolah saya berniat untuk pergi main tanpa mengenakan kerudung. Rencana ini saya beri tahukan pada adik, karena biasanya ke mana pun saya main adik saya selalu ikut. Ekspektasi saya, saat sampai di rumah saya bergegas mengganti pakaian kemudian keluar dan berlari kencang agar Ibu tidak melihat.
Tetapi rencana saya gagal, Ibu sudah berkacak pinggang sambil melotot di depan pintu saat melihat saya keluar rumah tidak mengenakan kerudung.
“Via mau main, Bu,” ujar saya memelas.
“Ke mana kerudungnya?” tanya Ibu saya galak.
Saya menunjuk rumah sambil menunduk. “Ada di kamar.”
“Ambil!”
Tanpa membantah, saya langsung masuk untuk mengambil kerudung. Tak lama saya keluar sambil mengenakannya.
Ibu menatap saya tajam. “Mainnya jangan lama-lama. Sebelum asar harus sudah pulang.”
Saya dan Adik mengangguk bersamaan. Setelah itu kami pergi melalui jalan belakang rumah, melintasi kebun yang ditumbuhi banyak sekali pohon, salah satunya ada pohon melinjo, mangga nangka, sawo, dan belimbing wuluh. Setelah kebun, kami akan melintasi sawah hijau yang luas. Dari sawah, rumah teman kami sudah terlihat.
Mengingat niat awal, begitu sampai rumah teman kerudung yang saya pakai langsung saya lepas dan titip di sana. Saya hanya ingin mencoba bagaimana rasanya bergerak bebas tanpa mengenakan kerudung. Setelah itu kami bertiga bermain di luar.
Terlalu asyik bermain, saya dan Adik sampai lupa waktu. Azan Asar berkumandang, kami berdua terkejut.
“Kenapa?” tanya teman kami.
“Kami harus pulang sebelum azan.”
Teman kami memahami karakter Ibu, justru ia menyuruh kami bersegera pulang sebelum azan selesai.
Saya dan Adik berlari kencang, kami melintasi jalan belakang rumah lagi, karena memang jalan ini lebih dekat dibanding melalui jalan biasa yang banyak sekali beloknya. Tak butuh waktu lama, rumah kami sudah terlihat. Tinggal beberapa langkah lagi, saya baru teringat. Kerudung saya ketinggalan!
“Aduh, gawat!” Saya menepuk jidat keras. Tidak mau dimarahi untuk kedua kalinya, saya kembali ke rumah teman sambil ditemani Adik. Saya tidak mau Adik masuk rumah lebih dulu tanpa saya, Ibu pasti curiga dan akan marah lagi.
Beberapa menit kemudian saya dan Adik masuk ke dalam rumah. Ibu tidak marah, ia langsung menyuruh kami mandi dan bersiap pergi ke langgar untuk salat Asar dan mengaji. Berkali-kali saya mengembuskan napas lega. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau saya lupa hingga di dalam rumah. Sudah pasti Ibu marah besar sambil menskors waktu main saya.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak pula pengetahuan yang saya dapatkan. Terutama ilmu tentang wajibnya seorang perempuan yang sudah balig untuk menutup aurat bagian atasnya. Saya bersyukur, ternyata di balik paksaan Ibu dulu, banyak sekali hikmah di dalamnya. Di saat guru mewajibkan siswinya mengenakan kerudung, saya sudah lebih dulu berkerudung. Dan sudah betah berkerudung. Saya bernazar tidak akan melepasnya, dan akan hidup bersama kerudung sesuai kaidah yang diajarkan agama.
Fathia Rizkiah, gadis kelahiran 1999, tinggal di Tangerang. Sejak di bangku madrasah ibtidaiyah Fathia sudah menyukai semua hal berbau literasi, seringnya membuat buku komik untuk dibaca adiknya sendiri. Fathia baru memperdalam ilmunya dua tahun terakhir, mari bimbing ia dengan cara memberi komentar membangun di setiap karyanya. Intip karya Fathia di Wattpad @fath_vhat dan blog fathiamengulas.wordpress.com.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata