Aku masih ingat cerita-cerita teman SD belasan tahun silam. Katanya, neneknya selalu bercerita tentang betapa hebatnya Garuda, burung yang menjadi lambang republik ini, Indonesia. Katanya, Garuda itu benar-benar ada, panjangnya 10 meter, lebar sayapnya seluas lapangan bola. Bulunya emas mengkilap, semakin tampak memesona dibaluri sinar matahari. Aku cuma mengangguk-angguk takjub, antara percaya dan tidak. Tapi aku teringat ucapan ibu, bahwa zaman dulu tidak bisa dinalar kejadiannya di masa sekarang. Banyak yang kelihatan mustahil pada hari ini, tapi tidak di puluhan tahun silam.
Kautahu, lanjutnya bercerita, “Garuda itu amat baik. Ia menolong manusia-manusia yang miskin dan lemah. Ia suka terbang rendah di sekitar pesawahan dan lapangan, entah itu melihat petani menyemai padi atau sekadar memperhatikan tawa anak-anak yang sedang bermain bola. Ia amat senang bercengkerama dengan rakyat, terutama perihal keadaan negeri bertanah surga ini, Nusantara. Kautahu, matanya sangat tajam, tapi menjadi begitu menyejukkan ketika memandang rakyat-rakyat negeri ini. Ia pembela rakyat. Pernah suatu ketika salah satu rakyat miskin dijebloskan ke dalam sel dingin atas sesuatu yang tak pernah ia lakukan. Mencuri sendal kata mereka, padahal ia hanya meminjamnya sebentar untuk berwudu dan kautahu apa selanjutnya? Garuda muncul tepat di hadapan hakim! Matanya tajam memerah, paruhnya siap mencabik-cabik siapa saja yang berada di dalam fitnah ini, termasuk manusia bodoh di depannya yang tak terampil dalam menjatuhkan vonis.”
“Garuda itu, semua rakyat mengelu-elukannya. Semenjak kejadian di persidangan, namanya semakin melangit. Nusantara memuja-mujanya. Tapi kauharus tahu yang satu ini, bahwa selalu saja ada manusia yang membenci kebenaran. Beberapa kelompok diam-diam menjadi api dalam sekam. Di satu sisi mereka ikut mengelukan betapa hebatnya Garuda, tapi di sisi lain, mereka mencari kesempatan untuk menamatkan kehidupannya. Garuda dibunuh!” Aku melonjak kaget mendengar cerita mereka.
“Kenapa dibunuh? Dia kan baik?” mulut mungilku mulai bersuara. Entah mengapa, jika aku mengingatnya saat ini, saat usiaku hampir kepala dua, aku tersenyum masam. Betapa bodohnya pertanyaanku dulu.
“Tak semua orang menyukai kebenaran, Sa. Nenekku bilang pemimpin mereka takut dengan Garuda. Takut kebusukannya yang telah bertahun-tahun ditimbun akan tercium oleh Garuda. Ia khawatir kedudukannya sebagai pemimpin goyang, lantas tumbang oleh paruh Garuda,” jawabnya begitu santai seolah ia paham dengan ucapannya.
Dahulu, sambungnya, “Mereka berpura-pura mengagumi Garuda. Mereka puji-puji kehebatannya. Bahkan kata nenekku, jika diperhatikan, sebenarnya segalanya tampak berlebihan. Tapi ya namanya api dalam sekam, rakyat tak ada yang menyadari akibat terlalu euforia atas adanya pembela di pihak mereka, pihak yang benar. Garuda pun sama, matanya tak lagi tajam memperhatikan gerak-gerik setiap manusia yang ada di sekitarnya, sampai suatu ketika, Garuda oleng, ia kemudian dibunuh secara keji. Semua berawal ketika Garuda memenuhi undangan mereka. Rupanya di meja penjamuan, tanpa Garuda ketahui, makanannya telah ditabur berkilo-kilo zat mematikan—racun. Sebenarnya, ia hanya terkena efek oleng, terbangnya tak terkendali, mirip seorang pemabuk yang baru keluar dari bar. Andaikata mereka tak menembakinya, ia akan tetap bertahan. Tapi mereka benar-benar benci kebenaran, senapan-senapan mereka kokang, mengarahkan moncongnya tepat di jantung Garuda, dan menembakinya secara membabi-buta. Garuda tamat. Kebaikannya berakhir di persidangan petani miskin beberapa waktu yang lalu.” Mataku berkunang-kunang, rupanya air mata kini sudah memenuhi kelopaknya.
“Kalau Garuda mati, siapa yang bakal bela rakyat lagi? Anaknya mana?” aku bertanya sambil terisak-isak.
“Sa, Garuda itu jantan dan ia keturunan terakhir. Sebelum ia, yang lain juga sama. Mereka dibunuh dengan alasan yang hampir serupa. Bahwa mereka benci pada kebenaran. Mereka benci pada pembela rakyat. Hanya cara membunuhnya saja yang berbeda-beda. Alasannya juga sama, agar para Garuda tak menyadarinya.”
Sa, lanjutnya lagi, “Mulai hari itu, rakyat harus membela dirinya sendiri. Tak ada pembela sehebat Garuda. Jikalau pun ada, bukan rakyat yang dibelanya,” ucapnya mengakhiri cerita.
Belasan tahun silam, cerita tentang kehebatan dan kebaikan Garuda masih kuingat secara rinci. Aku mulai paham perkataannya. Saat ini, rakyat harus membela dirinya sendiri. Dan nyatanya rakyat selalu kalah sekalipun ia benar. Kadang aku berpikir, mengapa mereka membunuh Garuda, jika kemudian hari justru meletakkan simbol-simbol keadilan dan kebenaran pada tubuhnya. Mereka letakkan bintang, cincin berantai, pohon beringin, kepala banteng, serta padi dan kapas pada tubuh bagian depan Garuda. Mereka seolah merindukan Garuda, merindukan keadilan dan kebenaran itu.
Hari ini aku berpikir, semua simbol-simbol yang dipasangkan pada gambar Garuda untuk apa? Dahulu ia pernah hidup, tapi dibunuh karena kebenaran dan keadilan itu sendiri. Sekarang mereka berharap Garuda kembali hidup. Mimpi macam apa itu?
Hari ini, negeriku bertanahkan surga menggelora. Di setiap sudut-sudut tanahnya, rakyat mengamuk. Semuanya berawal dari atas, merambat terus sampai lapisan terbawah. Masalah agama, masalah suku, masalah politik, semuanya kian memanas. Entah siapa yang benar, siapa yang salah. Semua terlihat abu-abu. Tapi tidak abu-abu untuk satu hal, bahwa mereka berteriak satu, “Aku dan golonganku paling benar”.
Aksi 212 untuk keadialan. Aksi seribu lilin juga untuk keadilan. Semuanya untuk keadilan. Semuanya untuk kebaikan. Semuanya mengatakan, “Lindungi negeriku dari penghancur!” Entah siapa yang penghancur dan siapa yang dihancur. Siapa yang merugikan, siapa yang dirugikan. Semuanya serempak mengatakan, “Aku dan golonganku adalah korban ketidakadilan.”
Semua terlalu samar bagiku, entah bagi mereka. Di sini, di sudut kamar 3×4 aku berandai. Berandai Garuda benar-benar ada, masih mengepakkan sayap di langit pertiwi. Masih pembela kebenaran dan keadilan. Bukan cuma sekadar simbol yang bertengger di setiap bangunan-bangunan pemerintahan. Tapi benar-benar hidup. Hidup dalam artian sebenarnya. Kemudian muncul di persidangan, menatap tajam satu per satu, kemudian siap mencabik siapa saja yang bersembunyi dalam jubah kebenaran, memenangkan keadilan dan kebenaran, seperti cerita yang kudengar belasan tahun silam dalam balutan pakaian berwarna putih dan merah.(*)
Ar Tanjung, seorang anak bungsu yang dilahirkan 20 tahun lalu. Saya adalah mahasiswi di salah satu Universitas di Kota Medan. Menulis adalah hobi. Saya memulainya dengan menulis hal-hal yang dekat dengan saya tapi tetap saja kadang mandeg. Jika ingin tahu lebih jauh tentang saya, bisa hubungi lewat fb: Anni Robiah Ar Tanjung atau email: annirobiah31@gmail.com
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu pertama Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan