Gamis Hitam

Gamis Hitam

Gamis Hitam
Oleh: Dyah Diputri

Harimu suram tanpa aku. Bahkan tanpa embel-embel ‘kelabu’. Seperti kemarau panjang yang merindu jarum-jarum gerimis di bulan Juni. Kau tengadahkan tangan mengharap sepercik dingin meluruhkan debu di hati. Mengiba cinta, pada sebayang raga yang tak kunjung datang untuk menepis sunyi.

Dia telah jauh. Pria yang mendekam selama tiga tahun lamanya di anganmu tak kunjung kembali. Hilang bersama janji, tanpa jejak ataupun syarat.

“Ayahmu tak akan diam, Ratih. Dia sudah pilihkan calon suami untukmu.” Wanita yang kau sebut ibu itu membelaimu. Sedang engkau tak berhenti menghujani pipimu dengan tirta hangat yang menyembul dari pelupuk mata. Sesekali gamis hitammu kau gunakan untuk menyeka luruhan basah itu.

Hanya gamis hitam, tanpa aku.

“Aku masih menanti Mas Pras, Bu,” lirihmu dalam isak.

“Pria itu? Apa yang masih diharapkan, Ratih? Sudah dua tahun kau menelan janjinya, Nak!”

Ibumu bangkit. Menghela napas kasar kemudian seolah mengangkat tangan. Pasrah. Rasa kesal membuatnya berhenti membujuk.

Keputusan ayahmu tak bisa diubah. Dengan paksa walau tanpa anggukan lemah kau berjalan menuju pelaminan yang diharap orangtua menjadi pintu surga bagimu.

Gerah menguar kala duduk berdampingan dengan pria yang hanya kau tahu bernama Arka. Hatimu gamang akan masa depan. Bagaimana bisa menikah dengan pria yang tak dicinta?

Harimu masih tetap suram tanpa aku. Masih bergeming dalam hitam gamis yang katamu membawa kenangan akan masa kelam. Tak ada sekelebat senyum walau pelangi menyapa di penghabisan hujan siang hari.

“Ini untukmu. Kuharap kau akan memakainya.” Suamimu membelikan gamis dengan motif bunga berwarna-warni lengkap dengan hijab polos senada.

Lama kau tatap pemberian itu hingga akhirnya membuka suara. “Apa kau bosan dengan gamis hitamku?”

Pria itu tersenyum kecil. Diambilnya lagi bungkusan itu karena merasa akan sia-sia mencoba menaklukkan hatimu.

“Aku hanya bertanya, mengapa kau ambil kembali?” tanyamu lagi.

“Daripada hanya kau simpan, lebih baik kuberikan pada orang lain.”

“Kau berpikir seperti itu?” Tanganmu menadah, meminta kembali.

“Kukira kau memang lebih suka warna hitam, bukan? Nanti kubelikan seperti maumu.”

Entahlah. Walau tak tebersit dalam benakmu untuk memakai, tetapi kau jelas kecewa karena Arka tak memberikannya kembali padamu.

***

Langit kembali mengguyurkan hujan saat kau duduk berhadapan dengannya di meja makan. Matau menatap ke kaca jendela yang dipenuhi titik-titik embun. Hanya sedikit makanan yang berhasil tertelan. Sisanya, kebimbangan menggumpal di dada membentuk sebongkah lamunan entah. Entah kapan egomu berakhir.

“Apa yang salah dengan warna hitam? Bukankah ia juga sebuah warna?” Lirih suaramu hampir ditelan berisiknya hujan.

“Tak ada yang salah. Hitam menjadi dirinya sendiri. Tak terpengaruh melainkan mempengaruhi. Sepertimu.”

Kau menatap sekilas pada Arka. Tercenung dengan jawaban bijak yang dilontarkannya. Kemudian kembali fokus pada sesuap nasi yang mulai dingin.

“Yang salah ialah manusia yang membawa kemurungannya dalam hitam, sebagai alibi untuk menutupi kebodohan yang diperbuat.”

Aktivitas makanmu kembali berhenti demi mendengar kalimat itu. Mimik mukamu memerah, hampir-hampir kau muntahkan kembali isi di perutmu sebelum akhirnya Arka menyuguhkanmu segelas air putih. Kau meneguknya cepat seiring proses penormalan raut wajah.

“Seperti air yang kau minum. Ia tak pernah salah karena tak berwarna. Yang salah ialah manusia yang meneguknya hanya untuk meyakinkan diri bahwa air yang tak berwarna membawa kebaikan untuknya. Padahal tanpa ia berpikir begitu, seperti itulah kenyataannya.”

“Jadi, kau sebut aku bodoh?” Matamu memicing. Alis terangkat, mulai emosi.

“Kau merasa?” Arka tertawa.

“Hentikan! Apa maumu sebenarnya? Kau ingin aku memakainya gamis itu? Oke! Akan kupakai! Kau ingin aku berdandan layaknya gadis-gadis muda di luar sana? Akan kucoba! Berhenti menertawaiku!” Kau gebrak meja lalu melangkah menuju jendela. Mengalihkan panas hati yang mulai tersulut.

Arka berhenti tertawa. Ia berjalan ke arahmu kemudian dengan hangat memelukmu dari belakang.

“Aku tak ingin meminta apa yang tidak ingin kau lakukan. Cukup tersenyum, dan nikmati hari-harimu.”

“Hari-hari apa yang kau maksud?” Kau terisak setelah sekian lama memendam sendiri.

Hening. Dibiarkannya air mata menetes ke jemari tangan yang masih melingkar di perutmu. Sepuas hatimu ingin meluapkan. Dia tetap menunggu.

“Hariku sudah gelap sejak kepergiannya. Maaf,” ucapmu lagi.

“Aku menunggumu, Ratih. Menunggu ketulusan untuk sebuah ketulusan. Bukan keterpaksaan untuk sebuah pengharapan. Kau tahu? Bahkan hitam pun membenci pemaksaan dan ketidaktulusan.”

Kau mengangguk. Masih dalam kepedihan yang menyelimuti lewat hitam gamis yang kau kenakan.

Mengapa tak kau pilih aku?

***

Malam itu, kau berlari kencang menembus angin yang tak bersahabat. Berlari sejauh harap yang dirasa kembali kandas. Dalam balutan gamis bermotif bunga warna-warni yang pertama kali menempel di tubuhmu, tak peduli sepatu high-heel membuat ngilu tumitmu, kau terus berlari ….

“Bangun, Mas. Kumohon!” Kau berteriak mengiba. Pada jiwa yang tengah berdiri di ambang pintu kematian.

Hujan yang selalu berarti untukmu, malam ini bagai kegelapan hitam yang berpendar perlahan untuk kemudian menenggelamkanmu dalam palung sesal. Arka mengalami kecelakaan, saat hatimu mulai bersiap dengan warna-warni dunia.

“Kuatlah.” Suara itu menggetarkan nadimu. Kau meraung, meminta pelangi di malam hari. Mustahil.

“Bangun. Jangan tinggalkan aku,” bisikmu.

Tangan kalian menggenggam erat. Lama, sepanjang malam yang menghantarkan doa pada Pemilik Semesta. Hingga pagi menjelang, embun-embun terjamah sinar hangat matahari. Perpaduan sempurna untuk melangkah dalam asa-asa baru yang mengantre pada senyum dunia.

“Apa yang akan terjadi padamu jika aku pergi?” Arka memintamu diam sejenak dari kegiatan perawatanmu terhadapnya.

“Aku tak akan sanggup. Duniaku bisa runtuh. Kumohon, jangan.”

“Kau … cantik,” godanya saat menyadari kau lebih berwarna, sejak semalam.

“Tidakkah hitam juga cantik?” tanyamu.

“Semua warna cantik karena ada cahaya yang menguraikannya. Dan hitam pun tak ada beda. Ia cantik karena cahaya yang terpantul darinya.”

Kau menatap lembut pada sosok yang bibirnya mengatup pelan itu. Menyelusup dalam hatimu cahaya terang yang selama ini tertutup kabut hitam.

“Kaulah cahayaku, Mas.”

Priamu meringis menahan tawa sebab perih gesekan luka di sekujur tubuhnya. Kau tersipu malu. Semburat merah muda di pipimu menambah gejolak di dadanya untuk semakin menggoda.

“Ketulusanmu, itulah cahaya yang sebenarnya. Memantulkan warna hidup setimpal dengan yang kau beri. Bukan aku,” jelasnya.

“Dan cahayaku tetap tak akan keluar jika kau tak membuka pintunya. Terima kasih.” Kau kecup hangat kening suamimu.

Seperti warna-warna dunia yang membawa aura. Merah, kuning, hijau, biru, ungu, hitam, putih, dan teman-temannya. Tak ada yang negatif dari mereka, kecuali untuk pongah yang ditunjukkan manusia. Memilih tanpa hati, membuang tanpa hati. Padahal sejatinya manusia memiliki hati untuk berbaur dengan warnanya.

Seperti langkah dan tujuan yang diharap hanyalah satu lesatan mudah. Ia hanyalah warna yang bergradasi dengan tingkatan kesulitan berbeda-beda. Setiap warna yang berhasil diperjuangkan, ialah pondasi untuk membentuk pelangi yang cantik selanjutnya.

Jadi, maukah kau memilih aku? Warna hidupmu.

 

Malang, 3 Maret 2019.

Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna. Fb: Dyah Maya Diputri. Email: dyahdiputri@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata