Galuh, dan yang Tumbuh di Kakinya
Oleh: Evamuzy
Terbaik ke-7 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)
“Ayub alaihisalam pun diasingkan. Jauh dari permukiman. Judzam, sakit sejenis kusta dan lepra membuatnya kesepian dalam kesendirian. Tak ada lagi harta, kemewahan, bahkan anak-anaknya mati tiba-tiba. Istrinya, satu-satunya orang yang bertahan di sisi Ayub, setiap pagi meninggalkannya untuk bekerja, lalu akan kembali menemuinya di waktu senja.”
Pukul 09.15 malam. Buku bersampul gambar para nabi itu ditutup kembali, lantas disimpan di pelukan seorang wanita paruh baya yang baru saja membacakan setengah bagian ceritanya untuk sang putri. Sementara di balik selimut bergambar Doraemon, Galuh tersenyum manis menatap wajah ibunya. Mereka tengah berbagi tempat di ranjang kecil kamar Galuh.
“Kenapa sudahan, Bun? Galuh belum ngantuk,” katanya lirih. Matanya sudah sayu, mungkin benar sudah mengantuk, tetapi cerita yang baru saja didengarnya adalah kisah kesayangannya. Dia tidak ingin melewatkan satu bagian pun sampai selesai.
“Ini sudah malam, Sayang. Sebaiknya kau tidur,” jawab ibunya. Sebuah kecupan selamat malam diberikannya di kening hangat Galuh. Sudah tujuh kali ini dia diminta untuk membacakan kisah tentang Ayub alaihisalam sebagai pengantar tidur oleh putrinya. Bahkan tiap kalimat yang terangkai di lembaran-lembaran itu, hampir dia hafal di luar kepala.
Ibunya beranjak, merapikan selimut Galuh, menyimpan kembali buku cerita di rak—di letak paling mudah dijangkau, lalu mematikan lampu kamar, digantikan cahaya redup lampu tidur.
“Selamat tidur, Tuan Putri,” katanya setelah berdiri di ambang pintu. Menatap dengan senyuman kepada Galuh yang tampak mengangguk, pun sambil tersenyum.
“Selamat tidur juga, Bunda.”
Lalu pintu tertutup. Menjadi tempat wanita itu menyandarkan punggung, menghela napas sambil buru-buru mengusap setetes air mata yang tiba-tiba menerobos kekukuhan hatinya, tak bisa lagi dibendung. Dadanya sesak, kembali mengingat sudah tujuh hari ini putrinya terpaksa melakukan aktivitas di dalam kamarnya. Tidak ada lagi tawa saat bermain dengan teman, apalagi tentang keceriaannya di sekolah yang biasanya dengan tidak sabar dia ceritakan sambil melepas sepatu di teras.
***
Berawal dari sore itu, saat terik matahari mulai meredup, Galuh pulang dari taman bermain dengan mata sembap. Gadis kecil berusia delapan tahun itu sebenarnya bukan anak cengeng, bahkan dia terhitung jarang sekali menangis setiap mengingat ayahnya yang meninggal dua tahun lalu. Dia tumbuh lebih dewasa dari usianya, sebab tahu bahwa harus menepuk-nepuk punggung ibunya saat wanita itu tengah menangis karena rindu.
“Tuan Putri yang manis boleh menangis, tapi jangan lama-lama. Nanti matanya sakit, bahkan bisa mirip matanya panda,” kata ibunya sambil mengelus-elus punggung Galuh dalam pelukan.
“Airin sama temen-temen bilang Galuh bau. Kaki sama tangan Galuh bau amis. Nggak boleh deket-deket mereka.”
Hatinya teriris. Pasti. Mendengar cerita Galuh, wanita itu seperti punya luka yang belum juga kering, tetapi disayat pisau lagi, sampai dalam, lebih dalam. Kalau boleh memilih, lebih baik dirinya yang menanggung sakit yang kini tengah bersarang di tubuh sang putri. Galuh punya kelainan jaringan kulit sejak usia dua tahun tujuh bulan. Di masa-masa tertentu kulitnya akan ditumbuhi ruam-ruam berair bahkan bernanah sebesar jagung di sepanjang kaki dan tangannya. Dan kali ini, saatnya masa itu datang.
“Airin mungkin sedang lelah, besok pasti mau main lagi sama Galuh. Atau untuk sementara, Galuh main dulu di rumah sama Bunda, ya. Tunggu sampai sehat lagi.”
Sambil mengusap air matanya dengan punggung tangan, Galuh mengangguk. Sejujurnya, ibunya juga berat hati mengizinkan Galuh pergi bermain saat keadaannya seperti ini. Benar saja, hal yang dikhawatirkannya pun terjadi. Bagi seorang ibu, saat anaknya terluka oleh satu tombak, maka ada seribu tombak yang tertancap di tubuhnya. Namun bagaimana lagi, dia memahami, Galuh butuh teman dan bermain. Sejak kematian ayahnya, Galuh yang anak tunggal hanya tinggal berdua dengan sang ibu.
“Assalamualaikum. Bunda … Galuh pulang,” teriak Galuh dari teras. Jam setengah sebelas siang, jam dia pulang sekolah.
Bunyi mesin jahit berhenti. Wanita itu mengangkat jarum jahit, menarik kain yang baru setengah dijahit, lalu menggunting benang yang memanjang di kain. Semua itu dikerjakannya dengan cepat. Tak ambil tempo, dia menuju dapur, mengambil baskom yang diisi air hangat, menyambar kain lembut di kotak obat, lekas menuju putrinya dengan setengah berlari.
Di teras rumah, Galuh sudah duduk di lantai. Sepasang sepatunya sudah dilepas, tasnya pun bertengger di salah satu pilar tempatnya bersender. Kakinya berselonjor menunggu bantuan sang ibu.
“Waalaikumussalam, Sayang. Kau siap?” tanya ibunya. Baskom berisi air hangat dengan kain yang tersampir di tepiannya, diletakkan di sisi kanan kaki Galuh. Gadis kecil itu mengangkat ibu jari, mengangguk mantap dan senyum.
Pelan-pelan, ibunya membasahi kain dengan air hangat, lalu diusapkan perlahan pada luka-luka di kaki Galuh yang menempel, menembus dan mengering di kaus kaki. Galuh meringis sedikit, tetapi digantinya cepat-cepat dengan senyuman saat melihat ibunya menatap iba.
“Besok jangan pakai kaus kaki dulu, ya,” sarannya sambil terus mengusapkan kain basah agar kaus kaki bisa terlepas dari luka. Ini dikerjakannya setiap kali masa kambuh putrinya datang.
Galuh menggeleng. “Malu.”
Ibunya paham betul, Galuh memang tegar, tetapi tetap tak siap jika dirinya menjadi bahan olokan teman-teman. Wanita itu menghela napas panjang. “Baiklah. Oh, iya, bagaimana sekolah Galuh hari ini?”
“Galuh senang, Bun. Airin tadi senyum lagi sama Galuh.”
“Oh, ya?”
“Iya, tadi Bu Sasti ngasih contoh soal pembagian. Hanya satu nomor, siapa paling cepat dan benar menjawab di papan tulis akan dapat bonus nilai. Bunda pernah ngajarin Galuh berhitung ini, jadi Galuh bisa cepat mengerjakannya. Tapi Airin kebingungan, terus karena Galuh malu buat nulis di papan tulis, karena nanti temen-temen lihat tangan Galuh, jadinya jawaban Galuh kasih ke Airin. Airin maju, dapat nilai dan tepuk tangan dari teman-teman. Setelah itu, Airin mau tersenyum lagi ke Galuh sebentar.” Galuh bercerita dengan antusias.
“Lain kali jangan seperti itu.”
“Bunda marah?”
“Bunda cuma nggak suka. Membantu teman memang baik, tapi yang sudah Galuh lakukan itu sama sekali tidak membantunya. Itu malah nanti bikin Airin malas. Galuh bisa kasih jawaban itu ke Bu Sasti langsung. Datangi mejanya.”
“Bunda nggak ngerti rasanya nggak punya teman!”
Ibunya terdiam. Sakit. Keduanya merasakan rasa sakit yang tak ada satu manusia pun bisa mengukur kadarnya.
***
“Tujuh belas tahun Nabi Ayub diasingkan, lalu baru diberi kesembuhan. Dia seseorang yang sangat penyabar.” Galuh berkata dengan sepasang matanya menerawang, menatap tak fokus langit-langit kamarnya yang berwarna biru muda. Buku cerita tentang Ayub alaihisalam baru saja selesai dibacakan ibunya untuk kedelapan kali. Masih di atas ranjang kecil Galuh, masih sebagai cerita pengantar tidur, dan masih menjadi kisah kesayangan gadis kecil itu. “Tujuh belas tahun itu lama, Bun?” tanyanya kemudian.
“Lumayan.” Ibunya merapikan selimut Galuh, ikut berbaring sambil menepuk-nepuk pelan tubuh Galuh dalam selimut, lalu berkata lagi, “Nabi Ayub menjalaninya dengan ikhlas dan juga selalu berdoa, jadi waktu sepanjang itu dirasakannya cepat.”
“Bun.”
“Ya.”
“Apa Galuh juga harus menunggu sampai tujuh belas tahun untuk sembuh? Atau malah Galuh tidak akan pernah sembuh?
“Jangan bilang begitu. Yakinlah, Tuhan memberikan sakit sepasang dengan obatnya. Kau akan sembuh. Jangan khawatir, ya.”
Dokter yang selama ini menangani sakit Galuh hanya bisa memberikan antibiotik, obat-obatan lain, dan catatan daftar larangan makanan untuk mencegah keadaan lebih buruk. Jika sudah masanya ruam-ruam itu tumbuh, tak ada satu butir obat pun bisa mencegahnya. Seperti sekarang ini, sampai-sampai suhu tubuhnya selalu hangat, tidak bisa bergerak atau berjalan cepat, dan tentu tak kuat untuk mengikuti pelajaran olahraga di sekolah. Dengan alasan itu pula, Bu Sasti—wali kelasnya di sekolah—memutuskan merumahkan Galuh untuk sementara.
“Tapi minggu depan sudah ujian akhir semester, Bu. Galuh pasti sedih kalau tidak bisa mengikutinya,” kata ibunya saat bertemu Bu Sasti di ruang guru. Wanita itu mendapat panggilan dari sekolah untuk membahas tentang Galuh yang harus dirumahkan.
“Galuh bisa mengikutinya di rumah. Nanti saya antar soal ujiannya setiap sepulang sekolah.”
Ibunya pasrah. Hatinya yang terluka bertanya-tanya: apakah putrinya harus merasakan diasingkan seperti tokoh dalam cerita kesayangannya? Ayub alaihisalam.
***
Buku cerita Ayub alaihisalam baru saja diganti sampul plastiknya. Galuh sering menyelipkannya di antara buku-buku pelajaran dalam tasnya—sebagai teman jika dia merasa bosan sebab tak banyak yang mau bicara dengannya, atau saat jenuh membaca buku pelajaran. Dia juga pernah membacakannya untuk bocah-bocah kampung yang duduk-duduk di pos kamling saat pulang sekolah. Baju serba panjang menemani hari-hari gadis yang kini tengah duduk di bangku SMA itu.
“Maaf, ya, Bun,” katanya di suatu pagi di meja makan. Duduk menghabiskan sarapan bersama ibunya.
“Untuk yang mana?”
“Uang Bunda selalu habis lebih banyak, karena harus beli bahan seragam lebih lebar.”
Ibunya hanya tersenyum, seperti menganggap kata-kata putrinya itu adalah sebuah kalimat penghibur. “Kalau begitu, pahala Bunda juga lebih banyak.”
“Aamiin.” Galuh tahu, ibunya memang setegar itu.
Duduk di depan meja belajar di dalam kamarnya, membaca buku pelajaran dan buku cerita adalah rutinitas Galuh sebagai remaja. Luput dari cerita tentang asyiknya jalan-jalan di pusat perbelanjaan dengan teman sebaya, obrolan keseruan film saat baru saja keluar dari bioskop, atau aktivitas menciptakan tawa lainnya.
“Luh, kali ini juga kamu nggak ikut turun ke air?” Seorang teman mendatanginya di kursi panjang tepian kolam renang. Galuh memang selalu mangkir dari pelajaran berenang. Dia menggeleng, menatap kakinya yang masih terbungkus sepatu olahraga. “Oke, aku tahu. Ya sudahlah, syukuri saja.Untung masih punya kaki,” kata temannya lagi, lalu beranjak pergi.
Bibir Galuh dipaksa membentuk senyum. Dia meyakinkan dirinya sendiri, mungkin yang dimaksud temannya barusan adalah sebuah kalimat penghibur.
“Wahai Ayub di surga, tolong sampaikan kepada Tuhan, agar mewariskan kesabaranmu kepadaku. Aku hanya takut, takut menjadi kalah sebelum semuanya selesai,” pinta Galuh dalam hati.
***
“Angin dan musim berganti. Kicau burung Bulbul dan gemeresik daun-daun pohon Bidara, pertanda mereka berselawat, membawakan kabar baik. Berkat kesabarannya, Tuhan menyembuhkan penyakit Ayub. Istrinya yang datang di waktu fajar, terkejut sekaligus terharu mendapati suaminya sehat kembali. Bahkan lebih segar dan gagah dari sebelum sakit.”
Dokter yang terkenal ramah itu tersenyum menanggapi kekhawatiran ibu pasiennya. Bocah perempuan dengan ruam-ruam di kaki sepanjang lutut.
“Saya sudah lelah, Dok. Takut penyakit anak saya tidak bisa diobati,” kata ibu pasien, sambil menatap iba anaknya di pangkuan.
“Jangan bilang begitu. Yakinlah, Tuhan memberikan sakit sepasang dengan obatnya. Dia akan sembuh. Jangan khawatir, ya.”
Tangan dokter itu lincah menggerakkan bolpoinnya di atas kertas resep. Tangan dengan bekas-bekas luka samar-samar. “Silakan. Minum obatnya dengan rutin dan semoga lekas sembuh, ya, Anak Manis,” katanya sambil menyerahkan secarik kertas.
Pasangan ibu anak itu pamit dan keluar dari ruangan dokter. Meninggalkan sang dokter wanita yang kini tersenyum tipis sambil mengingat cerita hidupnya, sambil menatap buku cerita Ayub alaihisalam di rak buku ruang praktiknya. Dia, dokter dengan papan nama di meja: Dr. Galuh Prameswari, Sp. KK. (*)
Brebes, 22 April 2020
Note:
*) Ada beragam pendapat ulama soal lamanya sakit Ayub alaihissalam. Dari tiga, tujuh, sampai tujuh belas tahun.
**) Kalimat dalam tanda petik dua (“) di paragraf awal dan akhir adalah narasi ulang dari Sirah Nabawiyah.
Evamuzy. Gadis yang ingin menjadi Ibu, lalu membacakan dongeng untuk anak-anaknya.
Komentar juri:
Kisah inspiratif yang mengutip kisah Nabi Ayub alaihisalam, di mana kesabaran menjadi alasan bagi setiap tokoh untuk terus bertahan di tengah cobaan.
Di cerita ini, pembaca disuguhkan dengan akhir yang mampu membuat kita terharu sekaligus bangga. Bangga akan kemampuan penulis yang bisa memberi pesan moral dalam setiap ceritanya.
Good job. 😀
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata