Galat
Oleh : Sehrish Tanzila
Udara pengap ini menambah rasa sesak di dada. Entah sudah berapa lama aku tertidur di atas ranjang lusuh ini. Rasa pusing dan mual masih menggerayangi tubuh. Aku tidak ingat sama sekali apa yang kulakukan, sebelum akhirnya terbangun di ruangan ini. Bahkan, aku tak tahu sedang berada di mana.
Tanganku meraba-raba pinggiran dipan. Perlahan aku bangkit dari posisiku meski rasa pusing masih membuat penglihatanku sedikit kabur. Semakin berusaha mengingat, semakin terasa mau pecah kepala ini.
“Berengsek!” Seseorang mendobrak pintu. Seorang pria bertubuh besar, penuh dengan tato di lengan. Dia berjalan tergesa mendekatiku lalu menerkam leherku dengan sebelah tangannya. “Kau apakan adikku, hah?”
“A-ad ….” Aku tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Cekikan pria itu sangat kencang. Kedua tanganku pun tak sanggup melepaskannya.
Pria bertubuh besar itu menyeretku ke sudut ruangan. Betapa terkejutnya diriku, melihat seorang gadis meringkuk dengan tangan gemetar. Bajunya terkoyak di beberapa bagian. Ada banyak memar yang membekas di kulit putihnya.
“Lihat! Ini hasil perbuatanmu.” Pria kekar itu kembali berteriak hingga membuat telingaku berdengung.
Mataku menyipit, melihat sosok gadis yang mengenaskan itu. Tubuhnya semakin bergetar ketika kupandang. Ponsel di genggamannya pun jatuh ke lantai. Kepalaku semakin berat, aku sama sekali tak bisa mengingat apa pun.
“Bajingan!” Pria itu kembali menghantam wajahku hingga tubuhku tersungkur. Dia kembali mendekatiku lalu menarik kerah bajuku. “Kau harus terima akibatnya!” Itu kalimat terakhir yang kudengarkan sebelum kesadaranku hilang.
***
Remuk. Itu yang pertama kurasa kala kembali membuka mata. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Perlahan penglihatanku menajam ke satu sosok yang terbujur kaku di depanku. Seorang gadis yang terakhir kulihat. Aku merangkak mendekatinya dengan sedikit tertatih.
Melihat kulitnya yang memucat, segera aku periksa nadinya. Gadis ini mati. Aku sedikit mengingat tuduhan pria kekar yang menghajarku sebelum diriku tak sadarkan diri. Dia menuduhku. Segera aku menyapu pandang ke ruang bercahaya temaram ini. Kosong, hanya ada kami berdua di tengah ruang kumuh ini, ruang berbeda dengan yang terakhir kulihat.
Sial! Sebenarnya siapa gadis malang ini? Ada seutas tali di lehernya, masih terlihat merah darah bekas jeratan. Berarti belum lama dia mati. Aku meraba saku bajunya, tapi tak menemukan apa pun. Seharusnya, ada ponsel yang sempat kulihat tadi. Ah, tapi jelas sudah diambil para biadab tadi.
Saat aku berusaha berdiri, seseorang mendobrak pintu. Dia tertawa terbahak sambil berjalan memasuki ruang. Sebelah tangannya membawa belati komando yang terdapat bercak darah segar di bagian tajamnya.
“Wah! Gadis malang. Sudah kuduga, kau bakal menghabisi gadis itu setelah kau cincang kakaknya.”
“Kakak?” Otakku berputar mengingat kejadian sebelumnya. Pria kekar yang menghantamku, dia menyebut dirinya sebagai kakak mayat gadis ini.
Pria itu tertawa. “Ini yang aku suka darimu. Pembunuh kelas kakap yang berwajah polos.”
“Jangan sembarang bicara! Aku tidak pernah membunuh siapa pun!”
Aku mulai waswas saat pria tadi mulai mendekat. Bagaimana bisa aku dituduh lagi, sementara aku juga korban di sini. Ekor mataku menangkap celah di sebelah kiri. Kubiarkan pria asing itu terus mengoceh dengan tuduhan tidak masuk akalnya.
Tepat saat dia mengarahkan ujung pisaunya di depan wajahku, kuambil kesempatan itu untuk melumpuhkannya dengan satu gerakan. Aku segera berlari keluar sebelum, pria itu bangkit dan mengejar. Aku tidak mau terbujur kaku seperti gadis tadi.
Aku berlari sekuat tenaga di lorong gelap, menahan segala rasa remuk di tubuhku. Tanpa arah, aku hanya berlari ke depan mencari jalan sekenanya. Bangunan ini begitu mengerikan, seperti bekas rumah susun yang sudah lama tidak dihuni.
“Berhenti, Bajingan!” Rupanya pria itu sudah menyusulku. Matanya nyalang, pisaunya pun tak kalah mengerikan dibanding mata pria itu.
Aku berbelok ke arah tangga lalu melihat satu pintu ruang yang terbuka. Saat kutengok belakang, pria itu belum berhasil menyusul, kugunakan kesempatan itu untuk bersembunyi ke ruang dengan pintu terbuka tersebut. Napasku sudah mau putus. Tidak bisa jika berlari lagi.
Pintu aku kunci dari dalam. Sambil mengatur napas, pamdanganku mengedar, mencari celah lain untuk melarikan diri. Tetapi, aku malah melihat daging berserakan di atas ranjang lusuh. Aku berjalan mendekati ranjang perlahan. Betapa terkejutnya diriku mendapati penggalan kepala kakak gadis yang mati tadi. Otakku pun mulai menginformasikan bahwa ruangan ini merupakan ruang pertamaku saat terbangun tadi.
Kakiku melemas. Tubuhku ambruk. “Benarkah aku yang membunuh mereka semua?” Semua logikaku mulai bergeser. “Tidak mungkin.” Aku berusaha melawan semua asumsi di otakku.
“Bryan! Keluar kau! Aku tahu kau ada di dalam sana!” Pria pembawa belati tadi menggedor pintu ruang persembunyianku.
Dalam kebingungan, aku melihat sebuah ponsel yang pernah kulihat sebelumnya. Ini ponsel mayat gadis tadi. Segera kuhidupkan lalu kutekan 911 untuk mencari pertolongan. Belum sempat aku bicara dengan petugas 911 di telepon, pria tadi telah berhasil mendobrak pintu. Ponsel terjatuh, aku kembali mengambil ancang-ancang untuk kabur kembali.
Saat kucoba dengan teknik sebelumnya untuk kabur, gagal. Pria itu lebih waspada sekarang. Dia meringkusku, bahkan memborgol kedua tanganku. “Aku sudah mengincarmu sejak lama, akhirnya tertangkap juga.” Pria itu tertawa lalu mengepulkan asap rokok di udara.
“Aku bukan penjahat!” Aku membela diri karena memang kenyataan bahwa diriku bukan penjahat seperti kata dia.
Pria itu tertawa kembali. “Dasar pengidap penyakit mental.” Dia merogoh saku jaketnya lalu mengambil ponsel. “Tadi kau mau hubungi 911, kan? Tidak perlu repot, kawanan polisiku sebentar lagi datang menjemputmu.”
“Siapa kau?”
Bukannya menjawab, pria itu hanya mengeluarkan sebuah lencana kepolisian dari saku dalam jaketnya. Mataku hampir keluar melihatnya. Jadi, dia polisi?
***
Pembunuh dengan gangguan mental? Sejak kapan? Apa benar semua pernyataan Detektif Mark? Aku benar-benar merasa sehat. Tidak pernah sekali pun melakukan tindak kejahatan, terlebih membunuh. Tapi, perkataan Detektif Mark waktu itu begitu mengusikku. “Kau tidak pernah ingat semua kejahatan yang pernah kau lakukan karena penyakitmu. Kau berbahaya.”
Apakah semua itu benar? Apakah aku pengidap gangguan mental yang membuat orang lain dalam bahaya? Benarkah?
“Tahanan nomor 935 ada tamu.” Seorang sipir membuka pintu sel tahananku.
Aneh, ini pertama kalinya dalam setahun, ada kunjungan untukku. Siapa? Apa dia Detektif Mark yang menjebloskanku ke penjara?
Aku berharap, jika benar aku pembunuh, setelah keluar nanti akan membunuhnya. Mau masuk penjara lagi pun tak masalah. Berani sekali dia memisahkanku dengan Lyn—istriku yang tengah hamil tua. Ah, mungkin anak kami sekarang sudah belajar berjalan. Malang sekali dia, membesarkan anak tanpa suami. Bahkan, Lyn tidak pernah tahu aku masuk penjara. Mark bangsat!
“Hai, Bryan! Apa kabar?”
Pria bersetelan jas warna hitam itu melepas topinya. Aku bisa melihat bagaimana wajah berserinya menyembunyikan banyak misteri. Dilihat dari penampilan dan bahasa tubuhnya, aku yakin dia bukan orang sembarangan. Lantas, mengapa dia mencariku? Seingatku, kami tak saling mengenal.
Aku duduk di depannya rasa penasaran yang menyelimuti. “Anda siapa?”
“Ayo, kita bekerja sama menjebloskan monster Mark ke dalam penjara.” Tentu saja kalimat itu membuatku sedikit tercengang.
“Kau dituduh sebagai pengidap penyakit mental, bukan?” Aku masih diam, menunggu orang itu melanjutkan kalimatnya. “Dialah pembunuh sebenarnya, namun dia selalu berhasil menjebak orang polos seperti kau dan kakakku untuk beralibi.”
“Hah?” Aku tercengang dibuatnya.
Dia tertawa miring. “Jika kau rindu istri dan anakmu, tawaranku ini sangat menarik, bukan?”(*)
Sehrish Tanzila. Perempuan yang senang mengisi waktu luang dengan rebahan.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata