Gagak Hitam di Kepalaku

Gagak Hitam di Kepalaku

Gagak Hitam di Kepalaku

Oleh: Dhilaziya

Ini adalah tahun ketiga aku tinggal hanya berdua dengan Ibu yang telah mencapai usia yang diberi label lansia. Sebuah gelar prestisius di mana tidak setiap orang bisa meraihnya. Penamaan spesial yang tak bisa diminta pemakaiannya, yang mana aku sendiri tak tahu akankah kelak mendapatkan sebutan itu atau tidak, membuatku harus siap dengan kondisi yang serba tiba-tiba dan tak terduga. Tadi pagi, misalnya. Sesampainya di tempat kerja, bahkan belum sempat kuletakkan tas apalagi menyantap bekal sarapan, kejutan pertama sudah menghampiri. Tak sempat aku makan pagi di rumah, jadi kupikir lebih baik jika menyambi memakan hasil olahanku semenjak subuh sambil memeriksa berkas. Namun, aku dikejutkan dengan dering ponsel di saku blazer yang getarannya membuat perut kiriku terasa geli.

“Besok, hari Kamis. Ibu harus kontrol mata. Kamu daftar online hari ini, ya. Biar gasik. Jangan besok, ntar dapet jatah ketemu dokternya sore, takutnya hujan kalo sore.”

Aku sama sekali tidak membantah, tentu saja, hanya langsung meminta Ibu memfoto surat perintah kontrol dari dokter pada sesi berobat sebelumnya. Agar aku bisa mengetahui nomor rekam medik berikut kartu asuransi milik ibuku.

Kemudian aku terbenam pada pekerjaanku, sambil merasa bebanku bertumpuk-tumpuk. Sambil membayangkan apa-apa yang harus kulakukan besok. Diawali dengan mengonfirmasi pendaftaran online ibuku, menjemput kemudian memulangkan beliau lagi ke rumah, karena entah mengapa ibuku hanya merasa nyaman bepergian denganku saja. Ditambah sepulang kerja, aku harus kembali ke rumah sakit untuk mengambil obat, dan itu bisa saja berarti antrean yang lama dan menjemukan. Bertemu dengan orang-orang bermuka suram, berperilaku penuh duka lara, terkadang dihiasi tangis dan ratapan kecemasan begitu mengetahui vonis dokter yang baru didengar. Sesekali juga kerisauan akan harga obat yang mungkin melampaui jumlah uang yang dibawa, lalu disambung dengan percakapan mengira-ngira apakah bisa sekiranya obat ditebus separuh atau bahkan sepertiga atau seperempatnya terlebih dulu. Biasanya jika percakapan kemudian dilangsungkan dengan apoteker, akan disambut dengan himbauan agar segera ditebus kekurangannya, demi si sakit agar mendapatkan pengobatan yang selayaknya.

Aku merasa malang dan jahat sekaligus. Mungkin memang aku sejahat itu atau karena kelaparan yang membuatku berpikir begitu, entahlah. Yang jelas, setelah bekal sarapanku yang akhirnya melesat melewati kerongkongan pada pukul sebelas siang, aku merasa jauh lebih riang, dan mulai mengkalkulasi ulang jadwal esok hari agar tetap bisa mengurus Ibu tanpa keteteran pekerjaanku, tanpa pula menggerutu tentang berat beban hidupku.

Lima belas menit menjelang jam pulang kerjaku, Ibu kembali menelepon. Kali ini beliau memintaku mampir ke ATM, mengambilkan uang milik Ibu, tentu saja. Ibu memerlukan sejumlah uang untuk membayar ongkos tanam padi yang memang dikerjakan hari ini. Ibu tak bisa mengoperasikan kartu ATM-nya, berulang kali sudah kuberikan tutorial dengan mencontohkan langsung, tetapi tetap saja yang terjadi sekeluarnya dari ruang sempit yang aromanya kadang tak kusukai, adalah ibuku menyatakan diri tak paham, tak ingin tahu, dan lebih mudah menyuruhku saja. Kenapa harus repot jika bisa santai? Ah, sebuah quotes yang telah lama diamalkan ibuku dan kian marak masa sekarang setelah pandemi berkuasa.

Antrian panjang di sudut depan sebuah kantor bank menyambutku. Awal bulan, dan sepertinya rekening mereka yang sedang berdiri di depanku tengah gemuk dan butuh diet. Beberapa tampak riang, beberapa yang lain tetap sekusut kertas yang diremas dengan keras. Mungkin yang harus mereka lakukan di mesin yang sedang ditunggu giliran penggunaannya adalah membayar beragam cicilan. Sekali lagi aku merasa perlu menempeleng kepalaku, agar tak sibuk menduga hal buruk, terlebih tentang orang lain.

Ada sekitar lima belas orang yang berdiri di depanku, dan aku menghitung kisaran waktu yang mungkin akan dibutuhkan untuk sampai pada giliranku. Jika satu orang butuh minimal dua menit, maka selama setengah jam ke depan tak ada yang bisa kulakukan selain mendongak, mendengkus, dan memainkan ibu jari di layar ponsel. Sialnya, beberapa orang butuh waktu lebih dari lima menit, melakukan beraneka transaksi, berulang kali menarik struk tapi tak kunjung menarik kartu ATM-nya keluar. Memunculkan lebih banyak dengkusan dan sesekali omelan, “Lama amat, ngapain aja, sih! Nggak liat apa yang ngantri banyak gini!”

Serapah itu diucapkan beberapa kali lewat bisikan yang kadang ditanggapi cengiran orang yang berdiri paling dekat, dan lebih sering mengapung percuma tanpa dihirau.

Sejurus lalu, seorang perempuan datang. Dia turun dari motor matic-nya lalu ikut mengantre di belakangku. Perutnya yang besar, membuat dia mengambil jarak lebih jauh dariku. Ikut berdiri tanpa alas kaki, kelihatannya dia begitu karena punggung kakinya membesar. Perempuan muda bercat rambut pirang di bagian kiri itu menjawab dia tengah hamil delapan bulan, dan kakinya membengkak sejak pekan kemarin, saat ada yang menyapa lalu bertanya. Beberapa perempuan bergantian memberi saran yang segera saja membuat antrean tak lagi sunyi seperti ketika menghadiri perkabungan.

Sebuah gerakan tak terduga, dari lelaki muda yang berada paling dekat dengan pintu ATM. Dia mendekati perempuan hamil yang masih asyik berbincang, kemudian mempersilakan perempuan yang ujung daster birunya bergerak-gerak ditiup angin sore menggantikan antreannya, menunaikan apa yang menjadi keperluannya lebih dulu, segera karena pengguna ATM sebelumnya telah membuka pintu. Semringah wajah perempuan berperut gendut itu ketika melangkahkan kaki polosnya, setelah mengucapkan terima kasih yang disambut si pemuda dengan senyum simpul sekadarnya.

Aku pernah mendengar cerita serupa, terjadi di luar negeri, ketika seorang pria melakukan hal semacam itu, para pengantre lain mengikuti tindakan si pelopor. Ikut mundur dan kembali menempatkan diri di belakang si pemuda baik hati. Sehingga urutan antrean tak berubah, kecuali si ibu hamil yang diperlakukan istimewa oleh semua orang. Lalu aku mencebik. Di sini, orang takkan berlaku begitu. Lebih baik adu teriak mempertahankan antrean, bahkan yang lebih sering terjadi adalah baku hantam berebut siapa yang lebih dulu. Kembali burung gagak berkaok di kepalaku.

Tatkala pintu ATM kembali terbuka, dan mengantarkan si perempuan hamil yang tertatih menuruni undakan teras kantor bank, laki-laki paruh baya di posisi paling depan berjalan ke ujung antrean, lantas menggamit lengan pemuda yang berdiri di belakangku, dan menggandengnya ke depan pintu ATM. Si pemuda tampak enggan, tetapi suara-suara orang di depanku, bernuansa sama. Meminta pemuda itu menerima yang memang seharusnya miliknya.

Aku merasa berada di tengah sekumpulan orang-orang istimewa, di mana aku pun juga unik dan tak biasa. Sebab, kukira hanya aku yang sibuk berusaha membungkam kaok gagak di kepalaku.

#DZ. 01122020

Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply