Gadis yang Menunduk di Bawah Lampu Taman
Oleh : Vianda Alshafaq
Aku sangat membenci waktu. Entah, ia selalu tepat waktu. Aku benci tepat waktu. Tak ada yang lebih tepat daripada waktu dan tak ada yang lebih pahit dari waktu.
***
Sudah tujuh kali aku mengelilingi taman. Dari titik awal hingga kembali lagi ke sana, berputar-putar menyusuri lingkaran raksasa ini, seperti roda sepeda yang kukendarai. Tidak ada yang aneh. Semuanya masih sama. Bunga-bunga yang mekar dan gugur, sepasang kekasih yang duduk dan bersenda gurau di kursi taman, anak-anak kecil yang berlarian dan bermain bersama orang tua mereka, dan seorang gadis yang menunduk di bawah lampu taman yang mati dengan jaket cokelat tebal dan berbulu putih di pinggir topinya.
Ini hari kelima aku melihatnya di sana. Masih dengan jaket yang sama dan sebuah tas hitam yang dia sampirkan di bahu kiri. Dia menunduk, menatap semut-semut merah yang saling berbincang di bawah sana.
“Entah apa yang sedang semut-semut itu bicarakan?” mungkin begitu pikirnya.
Ah, kenapa aku harus memikirkan gadis itu? Sudahlah!
Aku kembali mengelilingi taman. Sembilan, sepuluh, sebelas, atau entah sudah yang keberapa kali. Namun, gadis itu masih di sana. Bahkan, pita hitam malam akan segera melahap bumi, menelannya dengan cepat, dan menenggelamkan semua kebisingan pada keheningan. Keheningan yang memabukkan. Keheningan yang membinasakan.
Seperti biasa, aku melenggang pulang. Meninggalkan aroma taman yang selalu kurindukan. Pelukan anginnya yang mendamaikan ketika aku mengitari lingkaran raksasa ini mulai terasa jauh dan dingin. Teriakan anak kecil dan panggilan orang tua mereka mulai memudar, digantikan kebisingan klakson di tengah kemacetan jalan raya. Ah, selalu begini.
Bagaimana dengan gadis itu? Apa dia sudah pulang dan meninggalkan semut-semut merah yang sedang bertualang mencari makan?
Entah kenapa setiap aku pulang dan meninggalkan taman, aku selalu memikirkan gadis itu. Pikiran itu selalu datang di tempat yang sama, di bawah lampu jalan yang menerangi gang menuju rumahku. Tepat ketika azan magrib berkumandang dari musala di seberang jalan. Selalu begitu, selalu di waktu itu.
“Apa aku harus melihatnya?” ujarku bertanya pada diri sendiri sembari menuntun sepeda memasuki gang menuju rumah, “namun, kenapa juga harus kulihat? Toh, aku juga tidak kenal dia.”
Aku meneruskan langkahku menuju rumah. Rumah bata dengan sejuta kenangan yang pernah diukir waktu di dindingnya.
***
“Kau sudah makan?” tanyaku pada sebuah pigura yang terpajang di dinding.
Namanya Aini, kekasihku yang ditelan waktu enam tahun lalu. Ya, ditelan waktu hingga menguburnya di lubang kubur yang kelam. Dia tidak cantik, tidak juga manis. Dia adalah Aini, mata dan arah pandangku. Tak ada yang istimewa darinya selain aku yang jatuh hati padanya berkali-kali, meski tanpa sebab. Tak ada seulas bulan sabit di wajahnya untuk menarik hatiku. Tak ada rona merah yang disapukan di pipinya. Tak ada gincu merah nyalang di bibirnya. Tak ada ekspresi apa pun di wajahnya kecuali mata cokelat yang dingin. Aini, gadisku tanpa ekspresi dan reaksi.
“Ah, apa kau masih makan di lubang sana?”
Aku menyeruput secangkir kopi yang kupegang di tangan kiri. Menikmati pahitnya yang menohok, seperti kenyataan yang terjadi dalam hidupku. Lalu aku beralih menuju jendela. Menatap malam yang semakin garang, dengan gerimis dan kilat yang sesekali menembak dari awan. Ah, silau!
Kubiarkan mataku menyapu sejauh yang ia mampu. Mengamati lampu-lampu yang entah dari mana saja asalnya, melirik daun-daun yang sesekali bergoyang ditiup angin, dan menerawang jauh ke depan sana, di mana waktu berdiri dan menjentikkan jarinya untuk mengakhiri sebuah pertemuan. Waktu adalah perpisahan. Waktu adalah kematian, untukku.
“Aini, apa malam ini ada yang mengalami hal serupa dengan kita?”
Ah, aku lupa. Kau sudah tidak bisa menjawabku. Sudahlah, lebih baik aku tidur. Barangkali aku bisa menemuimu di taman esok hari.
Aini, aku masih berharap waktu selalu tepat waktu, seperti katamu di taman sore itu.
***
Lagi, aku mengelilingi lingkaran raksasa ini tepat ketika jarum jam menunjuk angka 4. Seperti biasa, aku mengamati setiap sudut taman ini. Bunga-bunga yang kuncup dan mekar, yang gugur dan layu. Para balita yang berlarian dengan memampangkan delapan gigi susunya. Beberapa pasang kekasih masih sama, bercengkerama dengan bahagia dan tertawa seolah-olah mereka adalah yang paling bahagia di dunia. Di bawah lampu taman yang mati, seorang gadis menunduk menatap semut-semut merah yang berbaris entah untuk apa. Lagi-lagi, dengan pakaian yang sama, aku melihatnya. Sepertinya jaket cokelat dan berbulu putih di bagian pinggir topinya adalah seragam gadis itu ketika ke taman. Tak ada yang berubah, benar-benar persis seperti biasanya.
“Apa aku harus menghampirinya?”
Kukayuh sepeda dengan santai dan menuju gadis itu. Entah bagaimana, tapi rasanya aku ingin menghampirinya. Seperti ada sesuatu yang menarikku ke sana. Seperti hari-hari lainnya yang selalu kuabaikan. Setelah aku berada tepat di depannya, aku berhenti mengayuh dan turun dari sepedaku.
“Halo,” ujarku berbasa-basi.
Bagaimanapun, aku dan gadis ini adalah dua orang asing yang tak saling tahu.
Gadis itu hanya diam. Matanya masih mengamati semut-semut merah yang berbaris di bawah sana. Ah, apa semut itu jauh lebih menarik dibanding sapaanku?
“Kenapa kau selalu berdiri di sini?”
Gadis itu masih menunduk, mempreteli semut-semut itu. Aku sedikit kesal. Wajar saja ‘kan kalau aku kesal? Melihat tak ada respon dari gadis itu, aku segera mengambil ancang-ancang untuk pergi mengelilingi taman ini lagi.
“Kau sungguh tak ingin bicara atau sekadar membalas sapaanku?”
Gadis itu mengangkat wajahnya dan menatapku tanpa ekspresi. Ah, gadis ini seperti mayat hidup saja!
“Waktu adalah perpisahan. Waktu adalah kematian. Tak ada yang lebih tepat waktu daripada waktu itu sendiri.”
“Aini,” ucapku sambil menatap gadis itu.
Dia tiba-tiba tumbang dan menghantam semut-semut merah yang berbaris di bawah sana sembari sesekali saling menyapa.[*]
Vianda Alshafaq, seorang mahasiswa yang sedang lelah dengan tugas-tugasnya. Bisa dihubungi melalui akun Facebook: Vianda Alshafaq
Editor : Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.