Gadis Pelupa dan Kuku-Kukunya yang Panjang

Gadis Pelupa dan Kuku-Kukunya yang Panjang

Gadis Pelupa dan Kuku-Kukunya yang Panjang
Oleh: Fitri Fatimah

Akhir-akhir ini saya punya kebiasaan terbangun dengan banyak baret di lengan. Karena saya sangat pelupa. Saya lupa beli obat nyamuk, lupa menyalakan kipas, lupa pakai selimut rapat-rapat, dan juga lupa memotong kuku. Jadinya kuku saya yang—kapan ya terakhir kali saya potong? Nah itu dia, saya lupa. Saya ngomong apa barusan? Oh iya, kuku-kuku saya yang sudah lama tak dipotong, yang kini panjang-panjang, lumayan runcing—semoga saya bukan saudaraan sama kucing—akan tanpa sadar ketika saya sudah tertidur, akan garuk sana garuk sini, mencoba menghalau gatal yang ditinggalkan bekas gigitan nyamuk. Saya mungkin saja menggaruk sepanjang malam sampai tahu-tahu ketika pagi, ketika di kamar mandi, ketika air di gayung saya siramkan ke sekujur tubuh, barulah saya berjengit merasakan perihnya.

Dan itu semua masih terus berlangsung hingga berhari-hari kemudian. Karena saya pelupa.

Sampai suatu siang ketika saya sedang kencan dengan pacar saya, cuacanya sedang terik, jadi saya hanya mengenakan baju lengan pendek waktu itu, lalu ketika sambil asyik-asyiknya saya sedang cerewet bercerita padanya, dia tiba-tiba menyambar lengan saya. Saya kontan berjengit. Perih, aduh. Dia mengerutkan dahi lalu bertanya ada apa dengan lengan saya. Saya bilang saja apa alasannya. Dia menghela napas kasar. Lhoh, kok malah dia yang kesal. Saya dong mestinya. Kan dia yang barusan main tarik. Tapi lalu dia menundukkan kepalanya di lengan saya, dengan perlahan, seolah penuh penghayatan, meniup tiap baret itu.

“Mendingan?” tanyanya sambil mendongak.

Saya menggeleng, nyengir.

Dia memutar mata, mendengus. Tapi kemudian kembali meniup. Saya senang.

Keesokan harinya ketika kami kencan lagi, sambil saya lagi-lagi cerewet bercerita tentang … apa saja, dan dia akan seperti biasa, mendengarkan. Tapi tahu-tahu tangannya meraih lengan saya. Cuacanya masih panas, tapi saya tumben-tumbenan tidak lupa tentang lengan saya yang sedang punya banyak baret, jadi dari rumah tadi saya berusaha menutupinya dengan memakai baju lengan panjang. Dia menyingsingkan lengan baju itu sampai dengkul. Lalu mulai mengoleskan salep. Saya mengerang keenakan oleh sensasi dinginnya. Selesai dengan itu, saya kira berarti selesai, tapi dia masih merogoh-rogoh di saku celananya, dan mengeluarkan pemotong kuku. Dapat dari mana? heran saya. Bawa dari kos, jawabnya. Kok niat banget sih kamu, kata saya lagi dengan senang campur gemas. Saya jadi tak tahan untuk mengacak-acak rambutnya. Diam, katanya, dia sedang berusaha mulai memotong kuku saya. Tapi kan kamu sedang menggemaskan, goda saya. Dia memelototi saya dengan pelototan yang, sungguh, saking seramnya benar-benar bikin saya bungkam.

Saya memperhatikan dia yang memotongkan kuku saya. Dia memotong tiap ujung kuku yang panjang-panjang, lumayan runcing—semoga saya bukan saudaraan sama kucing— itu dengan cekatan, dengan kehati-hatian yang bahkan saya sendiri sebagai si pemilik kuku, tidak pernah sehati-hati itu, seolah-olah dia takut, melencong semilimeter saja nanti akan menyakiti saya. Hati saya menghangat.

Kenapa diam? tanyanya  tiba-tiba. Saya mengangkat alis. Lanjutkan ceritanya, perintahnya. Oh. Tapi saya tidak bisa berhenti memperhatikan. Aduh, kok saya jadi tambah jatuh cinta.

Lalu jadilah pada kesempatan kencan kami setelah-setelahnya, kira-kira jeda seminggu sekali, dia akan membawa pemotong kuku. Membuat saya terus-terusan membatin, “Aduh, kok saya jadi tambah jatuh cinta.” (*)

 

Sumenep, 30 Maret 2019.

Fitri Fatimah, suka membaca dan mencoba menulis. FB: Fitri Pei.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata