Gadis Kepang Kuda
Oleh: Yuliawanti Dewi
22.21 WIB
Aku kembali pulang telat. Harusnya aku membawa tugas pekerjaanku itu ke rumah. Tetapi, ah sudahlah. Tugas-tugas ini di rumah belum tentu dapat diselesaikan. Karena rumah itu tempat istirahat bukan tempat bekerja, menurutku.
Suasana kantor begitu sepi. Tidak biasanya. Ke mana orang-orang? Apa mereka sudah pulang? Kulihat jam di tanganku. Baru juga setengah sebelas malam. Biasanya ia ada di sini, Pak Herman—satpam kantor tempat bekerjaku masih berjaga di posnya. Ke mana mereka? Ah sudahlah, untuk apa aku memikirkan hal yang tidak perlu.
Jarak kantor tempatku bekerja dan rumah tidak terlalu jauh. Aku hanya memerlukan waktu 25 menit saja dengan berjalan kaki. Jalanan begitu lengang. Aku selalu pulang malam bahkan pernah lebih dari jam ini tetapi belum pernah merasa sepi seperti ini.
Apa karena hari ini … astaga! Hari apa ini?
Aku berjalan dengan cepat tepat saat aku mengetahui bahwa malam ini merupakan malam Rabu. Aku lupa tentang ini. Kenapa orang-orang kantor tidak memberitahuku? Sial!
Malam Rabu adalah malam yang mencekam. Konon, 5 tahun yang lalu telah terjadi kecelakaan tragis yang melibatkan seorang gadis berusia 7 tahun. Gadis itu meninggal tepat di pertigaan sana. Pertigaan yang beberapa langkah lagi akan aku lewati.
Haruskah aku melewatinya?
Rasanya aku ingin kembali saja ke kantor. Kakiku berjalan dengan gemetaran. Bulu kudukku mulai merinding. Aku sudah memutuskan untuk melewati jalan itu karena jika kembali ke kantor, aku tidak tahu apa yang akan terjadi di sana.
Aku berjalan dengan langkah tergesa. Pandanganku kufokuskan ke depan. Tak ada niat sedikit pun untuk melihat ke belakang atau ke samping. Aku memang tak memercayai mitos, namun sepertinya hari ini aku harus percaya. Sebab, di depan sana, di bawah pohon akasia yang berdiri tegak menyeramkan itu, ada sesosok makhluk mungil berpakaian putih dengan bercak darah di seluruh tubuhnyayang tengah berjongkok seakan sedang mencari sesuatu.
Jangan dilihat, jangan dilihat!
Aku terus berjalan ke depan. Berusaha tak mempedulikan sosok itu. Aku tahu, ia bukan manusia. Aku berjalan melewatinya. Degup jantungku sudah tak bisa terkontrol. Aku ingin berlari tetapi kaki ini terus bergemetar. Aku ingin segera sampai ke rumah. Aku menyesal kenapa tidak pulang dari tadi. Sungguh! Penyesalan selalu terjadi di akhir.
Matahari terbenam hari mulai malam,
Terdengar burung hantu suaranya merdu …
Deg!
Kedua kakiku tiba-tiba tidak mampu untuk digerakkan. Ada apa ini? Kenapa?
“Taraaa, Kakak kena!”
Seketika aku tak mampu berkata-kata. Gadis itu kini tepat berada di hadapanku. Dengan mata bolong dan wajahnya yang mengerikan. Gadis itu menyeringai. Ia memegang tangan kananku dengan tangan kirinya.
Dingin. Tangannya begitu dingin.
“Mari bermain petak umpet. Kakak yang ngumpet, ya. Jika aku menemukan Kakak, maka Kakak harus bernyanyi untukku. Hihihi.”
Ti—tidak!
Kuhempaskan tangannya itu, dan berlari menjauhinya. Aku harus segera pergi. Jangan sampai ia mengajakku bermain!
“Kakak mau ke mana? Nina ingin punya teman. Nina ingin bermain.” Gadis itu tiba-tiba sudah kembali berada di depanku. Aku kaget setengah mati. Lantas aku berteriak namun suaraku seakan tercekat di tenggorokan.
Aku kembali berlari, berlari dan berlari. Tak peduli beberapa kali aku terjatuh karena kakiku yang bergemetaran dengan dahsyat.
“Hayo! Kakak tidak bisa pergi dariku begitu saja. Karena Kakak sudah masuk ke dalam lingkaranku. Hihihi,”
Tidak! Gadis itu kembali berada di hadapanku. Aku berlari kembali, tapi tetap saja ia muncul kembali.
Apa yang harus kulakukan?
Aku capek sekali. Kakiku sakit. Aku berhenti sejenak entah di jalan mana. Kurasa hantu Nina itu sudah tidak mengejarku lagi. Syukurlah. Aku menutup sejenak mataku. Jantungku masih berdetak kencang. Kakiku masih bergemeteran. Aku takut sekali.
Sebuah tangan dingin menyentuh pipiku. Spontan aku membuka mata dan terlonjak kaget. Kenapa dia bisa ada di sini?
Gadis kecil itu tersenyum mengerikan, “Ketemu! Akhirnya aku menemuman Kakak, hihihi,”
Aku berniat untuk kembali pergi, tetapi apa ini? Ta—tangan siapa ini?
“Jangan tinggalin Nina. Nina kesepian.” Gadis itu … sejak kapan ada di sampingku? Bukankah tadi dia masih di depan sana. Atau apakah yang diucapkannya itu benar, aku sudah masuk ke dalam lingkarannya. Ti—tidak mungkin!
“Nina ingin tidur bersama Kakak.”
“Ti—tidak. Kau ini sudah mati. Tidurlah dengan tenang!” ucapku ketakutan.
Tuhan, aku belum siap untuk mati.
“Nina sudah memilihmu, Kak. Kakak harus tidur menemani Nina. Hihihi,”
Air mataku mulai mengalir membasahi kedua pipiku. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Menurut mitos, jika seseorang menyanyikan lagu “Nina Bobo” kepadanya, maka si penyanyi akan ikut tertidur alias mati.
“Bernyanyilah untukku atau aku akan membunuh Kakak.” Gadis itu menyeringai. Tiba-tiba pisau berlumuran darah sudah berada di tangan kanannya.
Aku tidak bisa diam saja. Pasti ada cara untuk keluar dari lingkarannya. Aku harus mencari solusi agar keluar dari sini. Aku tidak boleh mati konyol bersamanya. Tidak boleh!
“Nina bobo … oh nina bobo, kalau tidak bobo digigit …,” aku mulai bernyanyi.
Tubuhku tiba-tiba lemas. Mataku perlahan menutup. Samar-samar kulihat gadis itu tertawa menyeramkan. Apa lagu ini akan membawaku kepada kematian?
Ah! Aku mengingat sesuatu. Aku menarik napas panjang, dan menatap dirinya dengan tenang.
“Aku akan menyanyikan lagu ‘Nina Bobo’ untukmu. Tapi, aku ingin kau duduk di sampingku,”
Hantu itu tidak mencurigaiku apa-apa. Ia duduk di sampingku. Kepalanya menyender begitu saja di lengan kiriku.
Ini saatnya!
Perlahan aku menyanyikan lagu itu. Suara angin malam dan burung hantu membuat jantungku kembali berdetak hebat. Aku tidak boleh menyerah. Rencana ini harus berhasil.
Sambil terus kunyanyikan lagu itu, tangan kananku perlahan mengambil pisau yang tergeletak di samping si gadis kecil. Aku berani melakukan itu karena gadis ini mulai memejamkan matanya. Meskipun aku merasakan efeknya juga, tetapi aku harus menahan mataku untuk tidak tertidur. Aku harus mengambil pisau itu terlebih dahulu.
Berhasil!
Pisau itu kini sudah berada di tanganku. Sekarang waktunya aku melaksanakan rencana selanjutnya.
“Kalau tidak bobo ….”
Cleppp!
Gadis itu spontan membuka matanya. Meskipun tak ada bola mata di matanya, tapi aku tahu gadis itu tengah melihat ke arah bola mataku.
“A—apa …,” ia berkata dengan terbata-bata dan mencoba melepaskan pisau yang kutancapkan di dadanya. Tapi sayang sekali, pisau itu telah aku lepaskan terlebih dahulu dan berjalan menjauhinya.
Gadis itu bangkit dan berjalan menuju ke arahku. Darah di dadanya terus mengalir. Tanganku gemetar melihatnya.
“Kembalikan pisau itu!”
Gadis itu semakin mendekat. Aku tidak punya waktu lagi. Langsung saja aku melakukannya.
Cleeppp … Cleeep … Aaaaaaa!
Aku melempar pisau itu entah ke mana. Sakit, sakit sekali. Pandanganku tiba-tiba saja menghilang. Kutusuk bola matamu dengan sempurna. Darah segar membanjiri kemejaku. Air mataku berubah menjadi merah.
Gadis kecil itu tiba-tiba berteriak. Seakan ada sesuatu yang menariknya dan menghilang. Ia menghilang. Aku tak lagi mendengar suaranya. Syukurlah.
****
Sudah dua bulan sejak kejadian itu, akhirnya aku bisa melihat kembali dan menjalani aktivitas seperti biasa. Mataku berhasil di operasi dan tidak mengalami hal-hal yang buruk. Aku senang sekali. Dan gadis itu, Nina, sekarang sudah tidak pernah terlihat lagi. Malam Rabu bukan malam yang menakutkan lagi. Ia sudah kembali ke asalnya. Ia sudah tertidur dengan damai. Namun, masih ada yang membuatku penasaran dengannya. Tentang bayangan sekilas. Bayangan sekilas yang muncul ketika tangan dingin itu menyentuh pipiku. Saat itu aku melihat seorang gadis kecil tersenyum manis dan mengatakan sesuatu yang membuatku berani untuk menusuk kedua mataku demi keluar dari lingkaran si hantu kecil Nina.
Aku yakin dia adalah Nina sendiri. Nina yang berada di alam sana. Nina yang menderita akibat kecelakaan maut yang tidak ada seorang pun bertanggung jawab tentang itu. Nina, dia gadis kecil yang malang.
Semoga kamu bisa tidur dengan tenang.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita