Gadis Kecilku

Gadis Kecilku

Gadis Kecilku

Oleh : Sri wahyuni

 

“Assalamualaikum, Mamah….” 

Nampak anak gadisku yang baru pulang sekolah menyembul dari balik pintu. Remaja kelas dua SMP itu mendekat lalu mencium tanganku takzim dan hendak duduk disebelahku. Aku menahan tangannya dan mendorongnya pergi.

“Ganti baju dulu kak, bau asem.”

Aku tersenyum jail sambil menutup hidung pura-pura kebauan. Dia mengangkat sebelah tangannya dan berusaha mencium ketiaknya memastikan.

“Mama ih, mana ada bau asem? Orang bau asap knalpot gini.” Dia tertawa, akupun ikut terbahak mendengar kelakarnya.

Gadisku beranjak menuju kamarnya yang bersebelahan dengan ruang keluarga mengganti seragam sekolahnya dengan baju rumah. Dia kembali duduk di sebelahku yang sedang memegang ponsel, sambil memelukku dari samping. Biasanya ada maunya  jika dia mulai bersikap manja seperti ini.

“Mah….” 

Aku menoleh melihat wajah hitam manisnya, dia tampak ragu-ragu melanjutkan kalimatnya. Tampak senyum malu-malu menghiasi wajahnya.

Aku meletakkan ponsel di atas meja lalu menggeser dudukku sempurna berhadapan dengannya.

“Adek mau bicara apa sih? Mamah jadi penasaran lho ini.” Pancingku dengan mengerjapkan mata di hadapannya sok imut.

Tolet … tolet … tolet …!

Suara tukang bakso menghentikan obrolan kami.

“Mah, mau bakso.”

“Ok, sip!”

Gadisku berlari ke depan memanggil tukang bakso, Aku mengekor di belakangnya setelah meraih dompet dari atas meja.

“Bakso dua, Bang. Lengkap, pedes nampol!” 

Anak gadisku begitu menikmati bakso yang dipesannya, sesekali menyeka ingus yang keluar dari hidungnya.

“Mah…” Dia memanggilku lagi setelah menyerahkan mangkok bakso ke Kang Bakso. 

“Hmmm…, ada apa kak?”

“Gak jadi deh.” Putriku tersenyum lebar menampakkan deretan giginya yang rapi. 

“Tadi ada tugas dari sekolah, mau di kerjakan sekarang saja biar nanti malam bisa santai.”

“Iya, semangat belajarnya. Fighting!”

Dia melangkah masuk meninggalkanku duduk di teras sendiri. Sekarang aku yang penasaran, kira-kira apa yang mau disampaikan putriku.

Aku beranjak dari teras menuju kamar putriku, pintu kamarnya sedikit terbuka, aku bisa melihatnya sedang duduk di meja belajar. Tangannya sibuk menulis tapi aku tahu itu bukan buku pelajarannya.

“Adek…” Aku menyembulkan kepalaku dari balik pintu. Dia menoleh, menutup buku bersampul biru yang memiliki gembok itu. Buku hadiah ulang tahunnya tahun lalu.

“Iya, Mah. Ada apa?”

“Kotak makan siang sudah kamu taruh wastafel?”

“Belum.” Dia tersenyum lebar lagi menampakkan deretan giginya.

“Sini, biar Mamah bawa sekalian, nanti keburu bau kalau tidak segera dicuci.”

Gadisku membuka tas sekolahnya lalu mengeluarkan kotak makan siangnya, aku tersenyum melihat kotak transparan itu bersih, tandas tak bersisa. 

“Terima kasih, Mah.” Dia tersenyum lagi. Aku lega, dia baik-baik saja, artinya dia bahagia dan tidak ada sesuatu yang perlu aku khawatirkan.

Kekhawatiran itu sering datang, karena aku seorang ibu tunggal, aku berpisah dari suami sejak anakku masih sekolah dasar. Suami meninggalkanku, memilih pergi dengan mantan kekasihnya. Mungkin bukan mantan, aku ragu, mungkin saja dia tidak pernah putus dengan wanita itu.

Sejak resmi bercerai, suami tidak pernah menunaikan kewajibannya untuk membiayai putri kami. Aku membiarkannya, lagipula aku juga tidak sudi meminta apapun darinya. Sudah cukup luka yang aku terima, aku akan buktikan bahwa aku bisa tanpa dia. 

Hal yang paling berat saat itu adalah ketika aku harus menjelaskan kepada putri kecilku kenapa ayahnya tidak lagi pulang ke rumah. Aku menatap bola mata kecilnya, kemudian memeluknya. Ku elus pundaknya dengan lembut sambil berbisik ditelinganya bahwa ayahnya harus pergi jauh dan tidak bisa kembali ke rumah lagi.

Aku tak sanggup membendung air mataku lagi, perlahan aku mengurai pelukan kemudian putri kecilku menghapus air mataku. Bibir mungilnya mengucapkan kata yang membuatku terharu.

 “Mamah jangan nangis, kan ada aku.” 

Aku memaksakan diriku untuk tersenyum di hadapan putri kecilku. Aku akan kuat dan tegar demi dia. Perjuanganku tidak sia-sia. Putri kecilku tumbuh menjadi gadis periang dan berprestasi di sekolah. 

Aku melangkah ringan menuju wastafel, mencuci kotak makan putriku, lalu bersiap memasak makan malam. Malam ini aku buatkan ikan bakar kesukaan putriku, ditemani nasi hangat, sambal dan lalapan. Makan lesehan di atap sambil melihat bintang, pasti menyenangkan.

Tengah asik menikmati ikan bakar, putriku berkata lirih, “Mah, Ayah apa kabarnya ya?” Aku terdiam sejenak, terkejut, kenapa tiba-tiba dia bertanya tentang ayahnya. Dadaku berdenyut nyeri mengingat laki-laki yang pernah menyakitiku itu.

“Kenapa tiba-tiba adek tanya Ayah?”

“Gak ada apa-apa, Mah. Cuma tanya aja.”

Aku diam tidak menjawab pertanyaannya, dia pun sama, diam. Kami asik dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang dipikirkan gadis kecilku di hadapanku ini. Akhirnya kami melanjutkan makan dalam keheningan.

Setelah selesai makan dan mencuci piring, anakku pamit ke kamarnya. Aku mengangguk mengiyakan. Aku kembali ke atap berbaring di karpet melihat bintang, hal yang paling kusukai apalagi ketika hati dan pikiranku sedang tidak baik-baik saja. 

Berlalu beberapa saat, hatiku semakin tidak tenang. Pertanyaan putriku begitu mengusik hatiku. Aku bergegas turun ke lantai bawah, langsung menuju kamar putriku. Dia sudah terlelap, memeluk guling kesayangannya. Aku duduk ditepi ranjang, mengamati wajah gadis kecilku. Waktu begitu cepat berlalu, sekarang dia sudah sebesar ini. Kukecup keningnya dengan sayang, lalu membetulkan selimutnya.

Ketika hendak beranjak, mataku tertuju pada kertas folio di atas meja belajar. Mataku mengembun membaca tulisan diatasnya. Sebuah puisi berjudul Ayah.

 

Baiti jannati, 15 Februari 2022

 

Bionarasi : Emak anak tiga yang super biasa, yang masih semangat belajar menulis untuk mewujudkan impiannya.

 

Editor: Nuke Soeprijono

Sumber gambar: Pinterest

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply