Gadis Kecil dan Sepotong Roti di Taman

Gadis Kecil dan Sepotong Roti di Taman

Gadis Kecil dan Sepotong Roti di Taman
Oleh : Siti Nuraliah

Suatu sore, aku baru saja selesai mata kuliah dan memutuskan untuk tidak segera pulang ke kos. Aku memilih untuk memberikan asupan gizi terlebih dahulu untuk otakku yang setiap hari dijejali materi yang membuat kepalaku terasa mendidih. Akhirnya, tibalah aku di sebuah taman bunga yang katanya baru diresmikan seminggu yang lalu.

Aku mengambil tempat duduk yang berada di bawah pohon rindang, cukup sejuk untuk suasana sore yang masih cerah dengan sinar matahari yang masih menyorot menuju barat. Aku membuka bungkusan kecil berisi roti hangat dengan selai cokelat. Baru saja roti itu hendak menyentuh mulutku, telingaku mendengar sesuatu.

Suara perut lapar membuatku refleks menengok ke sebelah kanan.

“Boleh bagi rotinya, Kak?” tanya seorang gadis kumal dengan rambut kusut yang diikat berantakan.

Aku menurunkan tangan dengan perlahan. Dan memotong roti itu menjadi dua.

“Boleh. Adek belum makan, ya?” tanyaku basa-basi. Sebab aku sudah tahu dari raut wajahnya yang pucat. Dia mengangguk dan meraih sepotong roti yang kuberikan.

Aku diam. Belum mau menyuapkan sepotong lagi roti yang berada di tanganku. Kuperhatikan setiap gerakan gadis kecil itu. Sadar diperhatikan olehku, dia mendongak.

“Maaf, Kak. Aku sangat lapar sekali. Dari kemarin belum makan.”

“O, ya? Kalau begitu, ini sepotong lagi untuk kamu saja. Kakak tidak begitu lapar.” Kusodorkan sepotong lagi yang tersisa kepadanya. Tapi gadis itu menahannya.

“Sudah cukup, Kak. Sekarang aku butuh beberapa teguk minum saja,” ucapnya.

Aku memberikan sebotol air mineral yang isinya tinggal setengah. Hatiku terenyuh. Setelah gadis itu meminum hampir habis setengah isi botol, dia hendak buru-buru pergi tapi aku menahannya. Aku ingin tahu mengapa gadis sekecil dia sangat memprihatinkan. Bukankah, sekecil itu—kutaksir usianya masih tujuh atau delapan tahunan–mestinya dia sekolah, bukan mengamen. Aku bertanya dengan pelan-pelan. Takut menyinggung perasaannya. Namun, alih-alih mendapatkan jawaban, matanya malah berkaca-kaca, aku menjadi merasa bersalah. Gadis itu meninggalkanku, yang masih banyak tanya.

Matahari semakin turun ke barat, jam di tanganku menunjukkan pukul setengah lima. Aku bergegas memakai kembali ransel yang tadi kulepas lantaran berat. Isinya buku-buku tebal dan satu novel yang belum selesai kubaca. Aku melirik sepotong roti yang tidak jadi diambil oleh gadis itu tergeletak di kursi kayu. Aku meraihnya, tidak baik membuang-buang makanan. Kumasukkan ke dalam saku gamis, dan pergi meninggalkan taman.

Di dalam kos, teman satu kamarku mungkin sedang pergi membeli lauk untuk makan malam. Hari ini cukup gerah, bahkan sangat panas. Jadi aku memutuskan untuk segera mandi. Namun, ternyata sial, kerannya tidak mau mengeluarkan air. Untung aku sudah salat Asar di musala kampus. Aku kesal, handuk yang sudah di pundak kukembalikan ke jemuran di luar. Kuhempaskan dulu tubuh di kasur, merenggangkan otot-otot kaki yang pegal. Terdengar suara langkah di luar. Mungkin itu temanku datang. Dan ternyata dia bukan membeli lauk untuk makan malam.

Temanku baru saja laporan kepada pemilik kos kalau air tidak mengalir ke kamar kami. Kalau sampai air masih tidak menyala sampai magrib, mau tidak mau kami harus menumpang wudu sekaligus ikut mandi di masjid yang terletak di ujung gang. Itu pun kalau tetangga kos kami tidak mau berbagi air.

Karena mau ke masjid letaknya jauh, akhirnya kami mencoba meminta tolong ke kamar kos sebelah. Pemiliknya menyilakan kami, kami pun tahu diri. Hanya ikut wudu dan gosok gigi saja tidak jadi ikut mandi. Sebab jika ikut mandi, temanku yang hobi berlama-lama di kamar mandi itu bisa-bisa mengosongkan satu bak mandi.

Pukul enam lewat lima menit, baru saja aku selesai salat Magrib, ada tiga panggilan tidak terjawab dan satu pesan WhatsApp dari Mama.

Assalamualaikum. Mil, Nenek masuk rumah sakit. Beliau koma. Sebelumnya, Nenek nanyain kamu terus. Besok kamu pulang dulu, ya. Nanti dijemput Pak Toni pagi-pagi. Mungkin sampai ke sana jam 10. Wassalam.

Aku tidak berpikir apa-apa lagi. Langsung kukemasi barang-barang yang mau dibawa pulang. Tak kuhiraukan perut yang mulai berbunyi. Dan aku ingat, aku masih punya sepotong roti di saku gamis yang digantung di balik pintu.

***

Pukul setengah sepuluh pagi, Pak Toni sudah sampai. Temanku mengantar sampai depan gang. Dia terlihat sedih. Entah sedih karena simpati kepadaku, entah sedih karena kutinggal dan tidak ada teman untuk menemaninya malam-malam menonton drama Korea.

Jalanan mulai macet, di depan ada lampu merah. Suara klakson saling bersahutan, pasti pengemudinya tidak sabar ingin lebih dulu; pengendara motor saling menyalip ingin cepat sampai lantaran cuaca sangat panas. Aku beberapa kali mengingatkan Pak Toni untuk tetap hati-hati. Aku mengedarkan pandangan ke luar, mencari-cari tukang asongan untuk membeli minum. Tidak ada tukang asongan di sini. Aku malah melihat seorang bapak-bapak berambut gondrong menyeret seorang gadis kecil dari jalanan dan membawanya ke pinggir trotoar di samping bangunan kumuh. Gadis itu menyodorkan gelas plastik di tangannya. Mobil sudah kembali berjalan, aku dapat melihat samar-samar siapa gadis kecil itu. Dia gadis kecil yang meminta sepotong roti di taman. (*)

Banjarsari, 23 November 2020
Siti Nuraliah. Perempuan sederhana, kadang suka menulis kadang suka membaca.

Leave a Reply