Gadis Kecil Berbando Misteri

Gadis Kecil Berbando Misteri

Gadis Kecil Berbando Misteri

 

Oleh Rainy Venesiia

 

Aku terkejut melihat seorang gadis kecil tiba-tiba berdiri di peron dan menatapku dengan tatapan yang sedikit aneh. Sebelumnya, aku tidak melihat seorang pun berdiri di sana, di samping pot bunga seukuran kaleng cat lima kilogram. Atau karena bajunya yang berwarna hijau menutup seluruh tubuhnya, menyamarkan keberadaannya hingga aku menyangka bahwa sosoknya adalah bagian dari daun-daun cempaka yang rimbun?

 

Aku menggosok mataku, berkali-kali memastikan bahwa matanya benar tertuju padaku. Aku juga menoleh ke belakang, barangkali dia sedang melihat dan mengucapkan selamat jalan lewat sorot matanya yang cemerlang itu pada dua orang lelaki dan perempuan yang duduk di belakangku. Namun, sepertinya dugaanku salah. Orang-orang yang duduk di belakangku, di depanku, dan di sampingku, semuanya anteng dengan ponsel, barang bawaan, dan teman seperjalanan mereka.

 

Aku melihat gadis itu tetap berdiri di sana. Dia tak bergerak sedikit pun seakan-akan tak terpengaruh oleh orang-orang yang berlari takut ketinggalan kereta yang tinggal beberapa menit lagi berangkat. Dia masih menatapku tajam. Aku membalas tatapannya, memperhatikannya dengan saksama sambil mengingat apakah aku mengenalnya atau mungkin suatu hari pernah bertemu di tempat yang pernah aku kunjungi. Namun, sampai peluit berbunyi tanda keberangkatan kereta sudah tiba, aku tetap tak mengenalinya. Gadis kecil itu masih menatapku saat kaca jendela bergetar seiring laju kereta dan ketika kereta mulai menjauh hingga aku harus memutar kepala untuk memastikan apakah dia masih menatapku atau tidak, dan dia masih menatapku dengan sorot mata yang tak berubah. Aku terenyak melihat bando hijau di kepalanya. Aku merasa pernah melihat dan memegang bando seperti itu di suatu tempat pada suatu masa.

 

Kereta berlari meninggalkan stasiun, meninggalkan gadis itu yang sekarang entah masih berdiri di sana, atau sudah pergi. Anehnya, hatiku seperti ikut tertinggal di peron, di samping pot bunga dekat pilar. Wajah gadis kecil itu menghantuiku. Matanya yang cemerlang tajam merobek kelopak mataku, lalu bando itu melesat masuk dan menempel pada retina hingga bando hijau yang seperti tak asing itu terus terlihat, bahkan ketika mataku terpejam.

 

Aku menoleh ke jendela, mengintip bayangan wajahku yang terlihat samar di antara rumah-rumah berlarian. Laju kereta ini cepat sekali, tapi seolah-olah tetap di tempat, di stasiun Purwakarta di jalur rel yang sama dan aku melihat ke peron yang sama. Gadis kecil itu ada di sana, berdiri menatapku. Aku mengusap wajah, lalu kembali menatap bayangan wajahku yang tampak samar, hanya mataku yang sedikit terlihat jelas. Jantungku seperti berhenti berdetak ketika melihat sorot mataku sendiri. Sorot mata itu persis sorot mata gadis kecil berbando hijau.

 

“Yi Ae Ri.”

 

Tanpa sadar aku menggumamkan nama itu lagi setelah bertahun-tahun melupakannya. Aku ingat, bukan hanya butuh waktu yang sangat lama agar nama itu hilang dari ingatanku, tapi juga butuh keberanian besar dan air mata yang tak mau berhenti selama kurang lebih satu bulan, juga kepingan hati yang berceceran di jalan yang aku lalui. Saat nama itu benar-benar hilang, aku juga kehilangan namaku. Aku membunuh Yi Ae Ri untuk terlahir kembali menjadi Samha.

 

“Maaf, Nona, ada hadiah untukmu.”

 

Aku menatap pelayan dengan hati waswas. Siapa yang mengirimkan kado cantik warna hijau dengan pita yang warnanya hampir sama hingga melahirkan gradasi hijau yang manis. Sangat manis.

 

“Nona Samha?”

 

Pelayan itu menatapku. Mungkin ingin memastikan jika dia tidak salah orang. Aku mengangguk. Pertanyaan-pertanyaan tentang kado itu aku simpan sejenak saat menerima kado tersebut. Setelah aku mengucapkan terima kasih, pelayan itu pun pergi. Aku memang tidak punya stok kesabaran yang berlimpah seperti ibuku atau saudaraku. Dengan rasa penasaran aku membuka kado dengan tergesa. Aku ingat Yi Ae Ri sering memprotesku jika melihat caraku membuka kado. Begitu pun aku sering mencela caranya membuka kado yang terlampau lambat; membuka pita dan semua selotipnya dengan hati-hati terus membuka kertas kado juga dengan pelan. Takut robek, katanya. Sering kali aku berusaha merampasnya karena tak sabar ingin segera tahu isinya. Namun, dia akan mendekap kado itu segera dan menyuruhku menjauh.

 

Aku tersenyum mengingat kenangan itu. Namun, saat melihat isi bingkisan itu, aku terkejut. Hampir saja kardus berisi bando hijau itu, aku lempar. Bando hijau yang tadi menghiasi kepala gadis kecil di peron stasiun. Tanganku gemetar. Begitu pun lututku. Tubuhku terasa lemas.

 

Yi Ae Ri, kaukah itu?  Bagaimana mungkin? Bukankah aku sudah melenyapkannya?

 

Aku memegang bando hijau itu erat. Aku yakin telapak tanganku menjadi merah karena saking kuatnya pegangan tanganku. Aku mengamati bando milik saudaraku itu. Benar, bando ini miliknya. Milik Yi Ae Ri. Saudaraku yang penakut dan memanfaatkan rasa takutnya itu untuk mengambil seluruh kasih sayang ibuku, cinta ayahku, juga kisah cintaku.

 

Tidak. Tidak mungkin dia kembali. Aku ingat, hari itu ibu membawa abunya  dan memperlihatkan padaku nama yang tertulis di leher guci. Tak mungkin aku salah lihat. Aku yakin sekali. Tak mungkin ibu berbohong tentang kematian putri tersayangnya, lalu berpura-pura sakit merasa kehilangan. Bahkan, ayahku sempat menggila saking tak siap dengan kepergian putri kebanggaannya yang tiba-tiba. Tiba-tiba jatuh di tangga, kepala bagian belakangnya membentur sisi tangga terbawah.

 

Akan tetapi, lihatlah saat aku pergi dari rumah. Tak ada yang berusaha mencariku. Aku berlalu seperti angin saja. Lalu, apa peduliku pada mereka?

 

Aku menghela napas. Untuk apa aku pulang?

 

Aku meremas bando hijau milik adikku. Benda semacam ini tak bisa menakutiku. Aku memasukkannya kembali ke dalam kotak, lalu kuletakkan begitu saja di bangku kereta. Aku bangkit melangkah menuju pintu. Aku akan turun di stasiun berikutnya dan mengurungkan niat menjenguk ayah ibuku.

 

Aku kaget ketika kereta tiba-tiba berguncang. Beberapa detik kemudian tubuhku terpental dan jatuh menimpa sisi bangku. Kepalaku sakit sekali. Samar-samar kulihat adikku mendekat sambil terus melambaikan tangan. Tangan kirinya memegang bando hijau. Bando hijau hadiah dari lelaki yang seharusnya menjadi kekasihku. Pun, bando hijau itu seharusnya untukku.

 

Selesai.

Bandung, 24 April 2021

 

Rainy Venesiia, seorang perempuan yang gemar menulis.

 

Editor : F. Mudjiono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply