Gadis Hipotermia, Menaklukkan Hatiku

Gadis Hipotermia, Menaklukkan Hatiku

Gadis Hipotermia, Menaklukkan Hatiku
Oleh : Rachmawati Ash

Rambutnya bergerai, bergelombang. Kakinya berusaha kuat menopang beban tas ransel yang besar di punggungnya. Aku sudah berkali-kali menawarkan bantuan, tetapi hanya senyum dan gelengan kepala yang kuterima sebagai jawabannya.

Gadis keras kepala, terus berjalan menaiki arah menuju ke puncak gunung. Rombongan masih berada beberapa meter di belakang kami. Aku kembali mengingatkan, bahwa perjalan naik gunung tak boleh egois, harus saling menunggu dan jalan bersama-sama dengan regu lainnya. Virza, menoleh ke arahku. mempercepat jalannya. Tekadnya bulat, sebulat matanya yang indah di bawah bulu mata yang begitu lentik. Rambutnya yang diwarna maroon, berkilau saat matahari menyapanya tanpa perantara.

“Aku tidak mau berjalan dengan mereka, lamban, seperti keledai,” jawabnya dengan langkah sempoyongan.

“Tapi kita adalah tim, kita harus selalu bersama, Vir.”

“Aku tidak mau! Aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk bisa melihat matahari terbit dari puncak gunung, kalau aku menunggu mereka, bisa tiga hari lagi impianku terkabul, aku tidak sabar.”

Jawaban seperti ini jelas membuatku muak. Gadis pemarah, selalu punya pendapat yang berbeda dan egois. Aku sebagai pemandu dalam perjalanan wisata naik gunung memang dibayar mahal untuk setiap perjalanan. Aku sudah menghadapi banyak sifat dalam perjalanan.

Terakhir, aku dibuat baper oleh sepasang pengantin baru. Perjalanan naik gunung sebulan yang lalu, sepasang pengantin itu memintaku menjaga jarak sepuluh meter dari mereka. Aku memiliki tanggung jawab besar atas nyawa keduanya, jelas aku tidak bisa melakukannya. Aku tetap berada di sisi mereka, mengarahkan jalan yang benar dan memilih pos istirahat yang nyaman. Hatiku hancur, jiwa jomloku bergejolak. Aku melihat mereka berciuman berkali-kali di depanku. Tidak hanya itu, mereka juga bercumbu dan lupa diri tepat di depan mataku.

Berat hati aku menganggap tingkah mereka adalah wajar. Sepasang pengantin baru itu memang sedang mengadakan perjalanan honeymoon yang sudah lama diimpikannya. Aku hanya bisa memalingkan pandangan ke rerumputan, atau pura-pura melihat pemandangan luas di bawah gunung. Hatiku masih bergejolak. Dosa apakah yang sudah kulakukan sehingga aku harus menjadi pemandu perjalanan bulan madu sepasang pengantin yang membuat hatiku ngilu?

Kali ini, aku kembali bernasib sial. Memandu seorang gadis yang keras kepala dan egois. Tak seorang  pun boleh kalah darinya. Belum setengah perjalanan aku sudah merasa gerah, jika boleh menawar, aku ingin digantikan saja dengan temanku yang lain. Aku lebih memilih menyiapkan kayu bakar, menata penginapan, atau yang lainnya yang tidak melibatkan gadis egois.

Aku mendengar seseorang menjerit ketakutan, dalam hitungan detik suara itu berubah meminta pertolongan. Aku yang sedang menggerutu karena menyesal telah melakukan perjalan ini, tiba-tiba terkejut. Mencari keberadaan Virza, gadis berambut ikal itu tidak ada di sekitarku. Aku segera tersadar, Virza jatuh ke dasar gunung yang terjal. Suara minta tolong itu adalah suara Virza. Segera aku mencarinya. Virza bergelantungan di sebuah akar pohon, wajahnya pucat dan penuh permohonan untuk diselamatkan. Seketika aku menyesal telah mengabaikan mitra perjalanku, sehingga dia terjatuh dan kini nyawanya terancam bahaya.

Dengan susah payah aku berusaha meraih tangan Virza, namun tanah yang kupijak terlalu gembur dan tubuhku pun meluncur ke bawah. Aku tidak berhasil menolongnya, aku justru menangkap tangannya dan membawanya melesat jauh ke dasar jurang. Aku mendengar jeritan yang begitu keras dari mulut Virza, aku memejamkan mata. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, apakah salah satu dari kami akan mati atau kami akan mati bersama-sama. Sial, aku belum sempat meminta maaf kepadanya karena telah berpikir buruk kepada gadis ini.

Hitungan detik, kami mendarat di tanah yang dipenuhi rerumputan. Tubuhku jatuh tepat di atas tubuh Virza. Aku tidak pingsan ataupun terluka, tetapi aku syok karena melihat Virza tidak bergerak, tubuhnya tertekan oleh tubuhku yang jauh lebih besar dan tinggi. Aku mengguncang-guncang tubuhnya, menepuk-nepuk pipinya. Aku merasa takut, memeriksa bagian belakang kepala dan punggungnya, apakah ada darah atau luka di sana. Tidak ada. Aku sedikit lega, kuambil tas ranselnya yang sangat besar dan melemparnya dengan sekuat tenaga.

“Virza, bangun, jangan membuat aku takut!” Aku menepuk-nepuk pipinya.

Virza membuka mata perlahan-lahan. Berusaha duduk dan mengambil kembali tasnya. Kali ini aku merasa sangat lega, meskipun dia tetap terlihat menyebalkan.

“Aduh, kakiku ….” Virza memegangi kaki kirinya, melepaskan kembali tas ranselnya.

“Coba, biar kulihat kakimu.” Aku memeriksa kakinya, pergelangan kaki kiri lebam, aku terkejut saat memijatnya, ada bagian yang kosong. Ya ampun, engsel pergelangan kakinya lepas.

Virza cidera. Ini akan menjadi perjalanan yang lebih panjang lagi. Hari memang belum sore, aku mencoba mencari bantuan. Tapi aku tahu di mana saat ini kami berada, kami terjebak di dasar jurang. Tak seorang pun orang akan menemukan kami jika tidak ada sesuatu yang kami tinggalkan di atas. Aku pikir saat ini hal yang lebih utama adalah menolong kaki Virza, jika sampai malam kakinya belum mendapat pertolongan keadaan akan menjadi sangat kacau. Aku khawatir Virza demam atau terkena efek lainnya saat malam tiba.

Aku meminta izin kepada Virza memberi pertolongan pertama untuk kakinya.

“Virza, ini bukan keseleo atau patah, tapi tulang engselmu lepas, jadi tidak bisa digunakan untuk berjalan.”

Virza menahan rasa sakit, dia tidak menangis. Aku menjadi lega melihatnya tahan banting seperti ini. Coba kalau gadis lain yang mengalami kejadian ini, telingaku pasti sudah pecah karena mendengar tangisnya yang histeris dan kesakitan. Virza menarik tas ranselnya, memeluknya sambil menopangkan dagu di atasnya.

“Apakah akan ada orang yang menolong kita, Zak?” Matanya semakin bulat, bibirnya mengerucut, kaki kanannya digerak-gerakkan dengan lembut.

“Tergantung, apakah rombongan di atas menemukan tanda-tanda di mana kita jatuh atau tidak.” Aku berdiri, memandang jauh ke atas gunung. Hanya pohon-pohon besar dan rimbun yang tampak dalam pandanganku.

“Kamu takut?”

“Aku sudah terbiasa bermalam di hutan seperti ini, bahkan di puncak gunung yang tinggi dan sangat dingin, aku justru mengkhawatirkanmu, Vir.”

Matahari mulai turun, langit memerah di balik gunung. Pikiranku kacau, aku terjebak bersama seorang gadis yang cidera. Aku belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. Aku memutuskan membuat tenda sederhana, mengeluarkan perlengkapan dari dalam tas ranselku. Virza masih diam di tempatnya semula jatuh, aku melihat tatapan matanya kosong.

Hari mulai gelap, aku menyiapkan makanan. Menawarkan pertolongan kepada Virza, barangkali dia ingin buang kecil atau yang lainnya. Bagaimanapun kecelakaan ini merupakan kesalahanku, aku ngelantur, aku tidak fokus mengarahkan jalan kepada mitra perjalananku. Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah, aku tidak profesional dalam menjalankan tugas.

Virza membiarkanku memapah tubuhnya, aku mengambil alih tas ranselnya. Astaga, tas ini tiga kali lipat lebih berat dari tas milikku. Aku membawa tas itu masuk ke dalam tenda, aku akan memeriksa isinya setelah ini.

“Aduh ….” Virza meringis, menahan rasa sakitnya. Dengan susah payah dia mencoba berjalan. Aku membantunya duduk di tenda. Kulihat kakinya semakin membengkak dan membiru. Pasti sakit sekali. Tapi, bagaimana mungkin seorang gadis bisa menahan rasa sakit yang sedemikian rupa?

Virza tidak bicara, dia membuka tas ranselnya. Astaga, aku terkejut, berbagai kosmetik dan alat kecantikan ada di dalam tasnya. Aku tidak bertanya apa-apa. Aku kembali merasa bersalah, aku melewatkan memeriksa isi tas anggota perjalannku. Aku menggeleng-gelengkan kepala, menahan rasa marah karena ada anggota yang tidak mematuhi peraturan perjalanan mendaki gunung.

Virza membersihkan wajahnya–masih diam saja. Dia menjadi aneh saat tidak banyak bicara seperti ini. Setahuku dia adalah gadis pemarah dan selalu bicara tanpa henti. Dia merebahkan tubuhnya, memejamkan mata. Aku mengamati wajahnya, pipinya mulus dan kemerahan, bibirnya tipis menahan rasa sakit yang sangat di kakinya. Lama-lama aku tidak tega melihatnya, aku mengeluarkan selimut dan menutupi sebagian tubuhnya.

Kami tertidur. Aku membisikkan selamat malam di telinganya. Berharap dia tidak membuat ulah lagi setelah kejadian ini. Kemudian aku terlelap di sampingnya.

Aku terbangun karena mendengar Virza mengigau. Aku menyentuh wajahnya, berusaha membangunkannya. Dia demam. Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi, cidera di kakinya menyebabkan tubuhnya menggigil. Aku membangunkannya, memberinya roti sebelum meminumkan obat. Virza tidak membuka mata, aku mulai khawatir. Tubuhnya semakin menggigil, aku ketakutan.

Bukan, ini bukan demam karena cidera, tetapi ini hipotermia–kedinginan di saat-saat tertentu. Aku pernah mendengar beberapa kisah tentang penyakit ini, kedinginan yang menyerang secara tiba-tiba dan tidak bisa diobati. Beberapa temanku mengatakan bahwa cara menyelamatkannya adalah dengan membungkus tubuh dengan selimut lalu memeluknya. Jika tidak berhasil, maka harus ada seseorang yang menyetubuhinya. Aku menelan ludah, kepalaku pening, mataku menjadi berkunang-kunang. Aku berusaha mengusir pikiran jahat di otakku.

Aku membungkus tubuh Virza dengan selimut, menggosok-gosok telapak tangannya supaya hangat. Virza memelukku dengan erat, dadaku  berdebar. Aku menahan napas, merasa takut. Beberapa menit kemudian, aku merasakan tangannya mulai hangat.

***

Kicau burung membangunkanku. Aku menemukan gadis berambut bergelombang itu berdiri di depanku, berjalan tertatih dan menahan rasa sakit. Wajahnya malu-malu, menyodorkan secangkir kopi kepadaku.

“Kamu sudah baikan? Emmm, anu, maafkan yang semalam, aku–”

“Aku yang minta maaf, aku membuatmu ketakutan.” Virza duduk di sebelahku, membuatku salah tingkah, dia seperti habis mandi. Wajahnya bercahaya dan baunya wangi sekali. Oh, memang sepertinya dia habis mandi, mungkin dia menemukan sungai atau sumur di hutan ini. Sebuah tas kecil dan handuk masuk tertenteng di tangannya.

***

Kami masih berharap ditemukan oleh tim penyelamat. Aku memperhatikan kaki Virza semakin bengkak dan membiru. Virza mengelus-elus bagian yang sakit. Aku semakin tidak tega melihatnya. Aku ingin mencari bantuan dan meninggalkannya, tetapi itu tidak mungkin kulakukan.

Aku memutuskan duduk di sampingnya, mencoba akrab dengannya. Virza menatap pohon-pohon yang rimbun di atas gunung. Virza mulai bercerita, bahwa perjalannya adalah untuk pelarian rasa sakit hatinya. Teman-teman kantor mengoloknya, dia satu-satunya gadis yang tidak laku. Usianya hampir tiga puluh tahun, namun belum juga menikah. Temannya juga menyarankan untuk melakukan perawatan wajah supaya segera laku dan menikah.

Seharian kami bercerita, sampai matahari kembali turun dan tenggelam. Virza membuatku tersenyum-senyum, dia mengatakan bahwa hal yang paling membuatnya tidak percaya diri adalah wajah tanpa makeup. Dia meminta maaf kepadaku karena tidak mengikuti peraturan perjalanan. Aku memaafkannya dengan syarat dia harus meninggalkan benda-benda itu besok pagi. Aku akan menggendong Virza mencari bantuan. Aku tidak mau lukanya semakin parah gara-gara tas yang terlalu berat. Virza menyetujuinya dan tertawa, mungkin dia pikir aku becanda.

***

Pagi-pagi sekali aku mengemasi tenda dan barang-barang. Aku melihat Virza merutuk, memilih kosmetik mana yang akan dibawa dan yang akan ditinggalkan. Aku tersenyum melihatnya.

“Kamu tetap cantik tanpa eyeliner, mata bulatmu indah sekali, aku suka.” Aku mengambil tas kecil berisi kosmetiknya. Aku mengatakan yang sebenarnya, bahwa aku menyukai matanya yang bulat dan indah.

Perjalanan dimulai, aku memapah Virza menyusuri hutan yang rimbun. Aku agak repot karena harus banyak berhenti dan beristirahat. Tetapi, pada akhirnya aku menikmatinya. Aku senang melakukan perjalanan ini. Aku meminta Virza bercerita, apa saja. Aku tidak suka melihatnya diam. Dia akan terlihat aneh saat tidak berbicara.

Saat matahari tepat di atas kepala, kami bertemu dengan beberapa orang. Rombongan pemburu hewan liar berpapasan dengan kami. Mereka memberi pertolongan kepada Virza. Rombongan ini juga mengajak kami naik ke puncak gunung melewati jalan pintas. Sungguh, aku yang selama ini bekerja sebagai pemandu perjalanan mendaki gunung, justru tidak tahu jalur pintas yang begitu dekat ini. Kami sampai di puncak gunung tepat saat matahari terbenam.

Aku melihat senyum manis di bibir Virza. Rambutnya yang bergelombang bersinar bermandikan cahaya matahari senja.  Aku melihatnya merentangkan tangan, hidungnya menghirup udara dalam-dalam. Virza seperti menemukan kebebasan dalam hidupnya.

Rombongan pemburu pamit kepada kami. Malam semakin sempurna, aku dan Virza memandang bulan dan bintang-bintang di langit yang luas. Tiba-tiba aku takut, bagaimana jika malam ini Virza kembali diserang hipotermia? Apa yang akan kulakukan?

“Aku janji malam ini tidak akan kedinginan lagi, serius, aku janji.” Virza mengulurkan jari kelingkingnya kepadaku. Aku menatap wajahnya. Ada debar yang berbeda di hatiku.

“Kamu tahu apa kesedihanku selama ini, Vir?”

“Apa? Katakan, kita teman sekarang.”

“Aku sudah berkali-kali mengantar orang ke puncak gunung ini, tapi tak satu pun yang bisa merebut hatiku, aku tak pernah berpikir menahan mereka untuk tetap tinggal, kali ini aku tak mau melakukan kesalahan itu lagi, tinggallah untukku, Vir, jadilah kekasihku.” Aku memandang langit yang luas.

“Meski aku punya penyakit hipotermia?” Virza menyentuh pipiku, aku menoleh ke arahnya. Aku melihat wajahnya semakin cantik, tidak lagi menyebalkan.

Aku memeluk tubuhnya. “Aku siap menghangatkanmu, kapan pun itu.”

“Baik, akan kukatakan kepada teman-temanku, aku punya calon suami sekarang.”

Aku memandang wajahnya, mencium keningnya. “Besok aku akan melamurmu, lihat saja, gadis cerewet.”

Virza memelukku erat, bintang jatuh dari angkasa begitu cepat dan cantik sekali. Aku mengucap doa yang terbaik untuk kami. Tuhan, terima kasih, engkau kirimkan gadis untuk menaklukkan hatiku.

 

Rachmawati Ash. Kecanduan membaca dan menulis romance.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply