Gadis Berbando Merah
Oleh: Tri Wahyu Utami
Seperti yang sudah mereka janjikan bersama, mereka akan kembali bertemu di tempat biasa. Di rumah lelaki berkacamata yang baru dikenalnya enam bulan yang lalu, bersama kepindahannya yang mendadak dari kampung halaman. Sejak saat itulah mereka bertetangga—yang rumahnya saling berjauhan sebab berbeda blok—dan perlahan mulai akrab. Saat itu gadis berbando merah sudah bersiap pergi. Ia mengenakan kaus putih berlengan pendek dan rok bermotif garis-garis yang panjangnya selutut. Di tengah jalan, sambil memainkan rambutnya yang menjuntai sebahu, ia mempercepat langkah agar bisa tiba tepat waktu. Akan tetapi, sesampainya ia di depan pintu gerbang, rumah lelaki berkacamata tampak sepi—yang saban hari memang seperti itu, tetapi tidak pernah sesepi ini. Pintu dan jendela tertutup rapat, lampu teras menyala dan gerbang digembok, yang seketika membuat gadis itu celingukan. Sepertinya si lelaki tidak sedang berada di rumah. Tetapi jika benar begitu, bukankah mereka sudah berjanji untuk bertemu? Ah, kalau memang mau dibatalkan kenapa tidak bilang saja?
Pertanyaan-pertanyaan itu langsung berseliweran di benaknya dan ia jadi kesal sendiri. Kesal sebab telah begitu saja mempercayai ucapan si lelaki yang mengatakan bahwa mereka akan bertemu bukan hanya untuk bercakap-cakap, melainkan juga untuk memberinya sebuah hadiah. Dan juga kesal karena sepertinya mereka batal bertemu. Lima menit kemudian, saat si gadis merasa bahwa menunggu hanya akan menjadi hal yang sia-sia, mendadak lelaki yang diharapkannya datang. Menyapa hangat gadis itu setelah rampung menurunkan barang-barang dari dalam mobil. Sedangkan sopir yang mengantarkannya pulang segera pergi begitu mendapatkan beberapa lembar uang, senilai dengan angka yang ditunjukkan argometer di dalam taksi.
“Kelihatannya itu sangat berat. Boleh aku bantu?” tawar gadis berbando merah. Seolah lupa dengan kekesalan yang tadi sempat bercokol di hatinya.
“Ah, tentu saja. Kenapa tidak?” sahut lelaki di sebelahnya. “Pegang ini, dan pastikan kamu tidak akan menjatuhkannya. Oke?”
“Oke.”
Mereka masuk ke pelataran rumah berteras luas milik lelaki berkacamata. Di sana tidak terdapat pohon besar atau tanaman hias, melainkan hanya ada rerumputan yang tumbuh subur dan menutupi hampir seluruh bagian halaman. Semenjak ditinggal mati sang istri, lelaki berkacamata memang tak lagi berminat pada tanaman hias jenis apa pun. Itulah kenapa, perlahan, bunga-bunga yang dulu tertanam indah di pot-pot kecil dekat teras dibiarkannya mati begitu saja. Ia juga menebang habis pohon mangga yang setahun lalu tak lagi berbuah, dan hanya meninggalkan sampah organik berupa daun-daun kering yang jatuh terserak mengotori halaman.
Sudah kotor, merepotkan pula! begitu keluhnya acapkali berjibaku dengan peralatan kebersihan. Dengan segala hal yang harus ia selesaikan seorang diri sebab tak ada siapa pun yang bisa dimintai tolong.
Sebenarnya lelaki itu memiliki dua orang anak. Satu anak telah berumah tangga dan tinggal bersama sang suami yang langsung memboyongnya ke Palangkaraya usai mereka menikah. Sehari setelah lelaki itu dinyatakan sembuh dari sakitnya. Sementara anaknya yang lain masih berstatus mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan di salah satu universitas ternama di luar kota, dan akan pulang ke rumah hanya saat terjadi hal yang penting saja. Seperti menjelang lebaran dan saat ia sudah kehabisan uang untuk membayar sewa kontrakan. Seringnya lagi, untuk membayar makan dan minum teman-temannya di kafe-kafe atau restoran khas tongkrongan anak muda. Jika sudah begitu, maka yang tersisa hanyalah kesepian. Hanya ada lelaki berkacamata dengan rutinitas hidup yang membosankan. Tetapi sekarang tidak lagi, sebab sudah ada gadis berbando merah yang cantik.
“Bagaimana sekolahmu? Apa semuanya berjalan lancar?” tanya si lelaki ketika mereka sedang menikmati semangkuk es krim sambil menonton TV.
“Hm.”
“Kenapa? Kelihatannya kamu sedang kesal.”
Gadis itu menggeleng.
“Oh, ya?”
“Iya.”
“Oke, tapi kalau benar kamu sedang baik-baik saja, kenapa—”
“Ada anak baru di sekolah,” selanya cepat. Lelaki berkacamata diam. Ia sengaja memberi waktu bagi gadis berbando merah untuk melanjutkan cerita.
“Ia suka berbuat onar dan mengejekku.”
“Kenapa?”
“Karena sepatuku … jelek.”
“Kamu malu?”
“Tidak. Tapi aku tidak suka dia menginjak-injak sepatuku.”
Diperagakannya ulah si teman baru yang sombong dan suka mencela. Lelaki berkacamata memperhatikan. Tak satu pun gerakan tubuh gadis berbando merah yang ia lewatkan. Kaki yang mengentak keras lantai, bibir yang terus meracau, dan mata yang bergantian menatap ke arahnya dan benda-benda di sekitar, semuanya tak luput dari pandangan lelaki itu. Ia senang saat gadis berbando merah menatap balik matanya, membuatnya berdecak kagum sebab mata dan hidung mancung si gadis begitu mirip dengan seseorang yang ia sayangi hingga saat ini. Jadi, tersenyumlah lelaki itu dengan perasaan bahagia yang menyusup begitu saja ke hatinya, sampai kemudian … sesak. Tiba-tiba saja dadanya sesak dan ia jadi kesulitan bernapas. Beberapa menit hanya ia lewati dengan berdiam diri. Menyaksikan tingkah lucu gadis itu yang semakin hari semakin menggemaskan saja, juga menyebalkan, sebab kehadirannya mulai mengusik pikiran si lelaki berkacamata.
“Kamu mau menginap di sini?”
Seandainya bisa, ia selalu ingin mengucapkan kalimat itu kepada gadis berbando merah. Menanyakan apakah mungkin bagi mereka untuk tinggal serumah meski hanya sehari saja? Ah, tetapi sayangnya semakin ia ingin bertanya, semakin sulit baginya untuk melontarkan keinginannya itu. Jadi, ia memilih cara lain. Yang lebih memungkinkan untuk dilakukan.
“Kenapa melamun?”
“Ah, tidak. Siapa yang melamun?” kilahnya seraya menyeret tas belanjaan di atas meja, “aku hanya sedang berpikir, apa kamu akan menyukai ini?”
Disodorkannya benda itu dan gadis berbando merah membukanya perlahan.
“Bagaimana? Kamu menyukainya?”
“Wow, sepatu baru untukku?” teriak gadis berbando merah, seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia tampak senang, begitu pun dengan lelaki yang memberikannya hadiah.
“Ada banyak ukuran tapi aku rasa itu yang paling pas untukmu. Warnanya juga hitam, jadi bisa digunakan untuk menggantikan sepatumu yang lama.”
“Wah, ini benar-benar bagus. Terima kasih.”
“Sama-sama, Gadis Manis.”
“Kakek memang baik. Aku janji akan sering-sering main ke sini.”
“Haha, ya sudah. Kalau pulang nanti, jangan lupa bawa juga payung ayahmu yang tertinggal kemarin.”
“Siap, Bos!”
Gadis berbando merah memperagakan sikap hormat seperti siswa yang sedang mengikuti upacara bendera, lantas memeluk-cium lelaki paruh baya yang tersenyum menatapnya. Bagi lelaki berkacamata, itu sudah sangat membahagiakan. Karena melihat gadis berbando merah tersenyum sama menyenangkannya dengan melihat senyum seorang cucu yang ia rindukan.(*)
Malang, 2 Mei 2019.
Tri Wahyu Utami. Gadis yang akrab dipanggil Wahyu dan bisa dihubungi melalui FB dengan nama Triandira.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata