Gadis Berbandana Ungu

Gadis Berbandana Ungu

Gadis Berbandana Ungu

Oleh : Lintang Ayu

 

Tatapan saya masih mengarah pada pemilik mata bundar yang tengah duduk di deretan kursi nomor tiga di tribun sebelah barat. Rasa-rasanya sulit bagi saya untuk sebentar saja mengalihkan dunia saya darinya. Gadis berparas ayu dan berbandana ungu itu tengah tersenyum, sesaat setelah mata kami bersirobok.

Mulut Sitaresti bergerak-gerak, tetapi suaranya tidak sampai ke telinga saya, karena tertimbun oleh yel-yel para cheerleader dan gemuruh tepuk tangan para penonton. Namun, melihat dari caranya membuka mulut, saya yakin dia mengucapkan kata-kata penyemangat untuk saya. Saya tersenyum lalu melambaikan tangan padanya. Senyumannya berkembang menjadi tawa kecil yang membuat wajah ayunya semakin memesona.

Terdengar perintah pelatih agar semua pemain basket tim Poirot Jaya berkumpul. Kami berdiri melingkar di sisi lapangan. Pak Joni berdiri dengan menyilangkan tangan di dada. Laki-laki yang sudah menginjak usia setengah abad itu berada di sisi Pak Rinaldo yang tengah sibuk memberikan instruksi kepada seluruh tim. Pak Rinaldo sedikit mengubah strategi awal. Setelah semua pemain paham dengan apa yang diutarakan pelatih kami, selanjutnya kami berdoa bersama.

Suara gemuruh tepuk tangan para penonton dari tim Poirot Jaya dan tim NAD University semakin membahana, saat satu per satu pemain dari kedua tim memasuki lapangan pertandingan. Riuh rendah yel-yel dan tepuk tangan para penonton membakar semangat para pemain, termasuk saya. Sebelum saya memasuki lapangan, mata saya kembali mencari keberadaan si gadis berbandana ungu. Saya menemukan dia tengah menatap saya dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya. Sitaresti mengangkat tangannya lalu melambaikan tangan memberikan semangat untuk saya.

Sebuah tepukan mendarat di bahu kiri. Saya menoleh. Hanya dengan melihat tatapan mata Pak Rinaldo, saya tahu dia menyuruh saya untuk segera menyusul teman-teman ke tengah lapangan. Saya melangkah memasuki arena perlombaan dengan tekad kuat untuk memenangkan pertandingan ini. Saya tidak mau mengecewakan kekasih saya yang sudah jauh-jauh datang dari Bandung.

Pertandingan segera dimulai. Wasit utama meniup peluit memanggil satu pemain dari tiap tim. Tim NAD University memajukan pemain bernomor punggung lima, sedangkan dari Poirot mengajukan Duta. Keduanya adalah pemain paling tinggi dari tiap tim dan bermain pada posisi center.

Wasit utama memegang bola, melihat sejenak ke seluruh lapangan, lalu melihat ke arah umpire—wasit bantu. Sang umpire mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. Pertandingan siap dimulai.

Wasit sekali lagi meniup peluitnya seraya melempar bola ke atas. Jump ball. Kedua pemain yang berada di tengah lapangan melompat berusaha meraih bola. Bola dikuasai oleh Duta.

Beberapa menit awal Duta masih memimpin pertandingan. Meskipun dua kali menembak, tiga angkanya berakhir dengan kegagalan. Pemuda bernomor punggung tujuh itu masih tetap semangat untuk mencetak angka. Namun, kali ini Duta terlihat begitu gegabah. Entah apa yang membuat permainan pemuda itu serasa belum maksimal. Sering kali dia melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang membuat kekompakan tim Poirot sedikit berantakan.

Duta berhasil merebut bola dari tim lawan. Saya ragu dengan langkah Duta. Benar saja, saat dia hendak melakukan shooting, terdengar peluit dari wasit. Duta melakukan pelanggaran. Pak Rinaldo tampak kecewa dengan keputusan wasit. Menurutnya Duta tidak melakukan pelanggaran sama sekali. Ia pun mengajukan keberatan, tetapi ditolak oleh wasit.

Kini, bola oranye itu berada di tangan lawan. Pemain bernomor punggung lima itu pun bersiap melakukan free throw. Saya menunggu dengan cemas, berharap bola itu meleset. Namun, harapan saya musnah setelah bola itu memasuki ring.

Terdengar riuh tepuk tangan penonton dari tim NAD University. Tatapan saya mengedar mencari keberadaan Sitaresti. Saya pun menemukannya tengah tersenyum ke arah saya. Senyuman manis dari pemilik hati saya itu mampu menambah semangat di dalam diri saya.

Euforia para penonton atas poin untuk tim lawan masih bergemuruh. Namun, tiba-tiba suara tepukan tangan berganti dengan serentetan suara tembakan yang membabi buta. Saya tidak tahu dari mana asal tembakan-tembakan itu. Saya hanya melihat orang-orang berjatuhan terkena peluru. Suara yel-yel pun berubah dengan jerit ketakutan. Orang-orang berteriak histeris seraya mencoba menyelamatkan diri. Untuk sesaat saya masih bergeming di tempat. Saya tersadar saat sebuah tangan kekar menyeret saya untuk segera berlindung.

Sitaresti!

Dari tempat persembunyian, mata saya terus mencari keberadaan Sita. Akan tetapi, lalu-lalang orang berlarian yang mencoba menyelamatkan diri membuat pencarian saya terhalang. Beberapa waktu berlalu tanpa saya menemukan sosok gadis bertubuh mungil itu.

Di mana dia?

Pandangan saya kembali menyapu gedung olahraga NAD University, tetapi tidak juga menemukan keberadaan Sitaresti. Saya harus mencarinya. Apa pun yang terjadi saya harus menemukan kekasih saya.

Saya mencoba keluar dari persembunyian, tetapi dihalangi oleh Aldebaran. Pemain bernomor punggung 9 itu berusaha menarik tangan saya, tetapi dengan tenaga yang saya miliki, saya mampu melepaskan cekalannya dengan mudah.

Saya berjalan sedikit menunduk menuju ke tribun di mana Sitaresti berada. Sebelas langkah berlalu tanpa kendala, saya bisa menghindari serangan peluru. Akan tetapi, saat mata saya menemukan sosok yang saya cari, sebuah peluru berhasil menembus bahu kiri saya. Saya kembali merunduk seraya menekan bahu yang mulai mengeluarkan darah.

Sitaresti menemukan keberadaan saya. Kami bersitatap. Gadis itu duduk merunduk di bawah meja besi yang berada di samping pintu keluar sebelah barat bersama tiga gadis lainnya. Kegelisahan muncul pada sepasang matanya yang bening bundar. Bibir ranum itu bergetar.

Saya berusaha mendekati Sitaresti. Meskipun sedikit kesusahan karena harus menahan rasa sakit di bagian bahu dan mengendap-endap menghindari rentetan peluru yang membabi buta, akhirnya hanya tinggal beberapa langkah lagi saya dapat menjangkau keberadaan kekasih saya yang tengah ketakutan.

Rasa nyeri di bahu kini telah menjalari seluruh tubuh saya. Saya meringis kesakitan. Melihat saya yang tengah menahan rasa sakit, Sitaresti pun beranjak dari tempatnya. Saya memberi kode padanya untuk tetap berada di sana. Untuk sesaat ia menuruti ucapan saya. Namun, saat kaki kiri saya terkena tembakan, Sita segera berlari untuk menolong saya. Saya terlambat, sebelum saya meneriakinya untuk tetap berada di posisinya, tubuh mungil itu telah lebih dulu dihujani peluru. Sita terjatuh tepat di hadapan saya dengan tubuh berlumuran darah.

Sita, apa yang sudah kamu lakukan?

Pandangan Sita mengarah pada saya. Ia tersenyum. Mata bulatnya berkali-kali mengerjap, mencoba untuk tetap terbuka.

Saya berkata padanya untuk tetap membuka matanya. Saya tidak mau dia mati. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa hidup tanpa kamu Sitaresti. Saya memohon padanya untuk tetap terjaga.

Saya mencoba menjangkau tangan Sitaresti. Saya pun mendapatkannya. Mata indah itu kembali terbuka. Bibirnya bergerak-gerak. Entah apa yang ia katakan. Saya menggeser tubuh agar bisa lebih dekat lagi dengannya. Saya mengabaikan lalu-lalang orang-orang di sekitar kami. Saya mengabaikan suara rentetan tembakan yang tidak kunjung usai. Yang ada di pikiran saya hanya satu, Sitaresti. Gadis yang sudah lemas tak berdaya akibat beberapa tembakan bersarang di tubuhnya.

Saya berhasil menjangkau Sita. Dengan mata terpejam, Sita tersenyum. Bibirnya menggumam nama saya lalu mengucapkan kata “i love you”. Matanya kini terpejam sempurna. Deru napasnya sudah tidak terdengar lagi. Dunia saya seakan-akan runtuh. Lalu semua tampak gelap. (*)

 

Lintang Ayu (Dyah Ayu), penulis novel Anak Jadah yang sangat menyukai fiksimini.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply