Freedom
Oleh : Mega Yohana
But, whoever treasures freedom like the swallow has learned to fly ….
Lagu itu samar-samar terdengar di telingaku. Berulang-ulang, tiap pagi gadis itu akan memutar lagu tersebut. Hanya satu lagu itu, dia replay hingga matahari merangkak naik mencapai pucuk pepohonan. Setelah lagu berhenti, dia akan membuka jendela dan duduk di sampingnya, membaca buku atau menatap ke kejauhan. Ketika matahari mencapai puncak, dia akan meninggalkan jendela. Saat matahari hendak terbenam, dia akan keluar untuk memberiku makan dan minum, lalu masuk kembali dan menutup jendela.
“Stop complaining!” said the farmer who told you a calf to be. Why don’t you have wings to fly with like the swallow so proud and free?
Aku tertawa. Hahaha! Betapa lucunya lirik lagu itu, menanyakan kepada sapi mengapa dia tidak memiliki sayap seperti burung layang-layang yang terbang dengan bebas. Memangnya, memiliki sayap menjamin si burung bakal bebas di langit? Huh, manusia. Mereka ingin terbang seperti burung, maka mereka membuat pesawat. Ingin terbang seperti capung, maka membuat helikopter. Mereka merasa terpenjara dan tidak bisa terbang dengan bebas, tetapi mereka tidak sadar sering memenjarakan burung-burung.
Aku memiliki sayap, tetapi aku bahkan tidak bisa terbang bebas. Dibandingkan manusia, bukankah aku yang benar-benar terpenjara? Aku terlahir untuk terbang di langit, untuk mengepakkan sayap dan menjelajahi angkasa. Akan tetapi, pada kenyataannya aku hanya bisa bertengger di sini. Tiap pagi mendengarkan lagu tentang kerinduan untuk bebas. Berulang-ulang, dan terus berulang. Sementara, aku terkurung dalam sangkar kecil ini.
Sebuah mobil mendekat dan berhenti di sudut halaman. Seorang laki-laki turun dari mobil. Di tangannya, dia membawa sebuah pigura. Dari sini, dapat kulihat sayap-sayap indah terentang di dalam pigura. Ada tiga pasang sayap dengan corak berbeda tetapi sama-sama indah yang berjajar di dalam pigura. Aku memalingkan muka sebelum laki-laki itu memasuki rumah.
Laki-laki itu tinggal di sini. Tiap beberapa waktu, dia akan membawa pigura berisi berbagai jenis serangga. Kupu-kupu, kumbang, capung … berbagai-bagai isi pigura yang dia bawa. Terkadang, dalam satu pigura hanya ada satu serangga besar seperti kupu-kupu yang miliki sayap lebar. Terkadang pula, satu pigura memuat tiga hingga enam serangga.
Suatu kali, aku mendengar percakapan laki-laki itu dengan temannya yang menanyakan alasan dia menyukai serangga hingga mengoleksi.
“Sewaktu kecil, ayahku kerap mengajakku mencari serangga saat liburan,” tuturnya sembari tersenyum. “Sejak beliau tiada, aku merasa ayahku tetap di sini ketika melihat binatang-binatang ini. Itu membuatku merasa tenang.”
Laki-laki penyuka serangga dan gadis di jendela itu bersaudara. Hanya mereka yang tinggal di rumah ini. Dulu, rumah ini ramai. Namun, sekarang tinggal mereka berdua di sini. Laki-laki itu sibuk bekerja, sementara si gadis terus bermuram durja. Laki-laki itu mengoleksi berbagai serangga dalam pigura, sementara si gadis terus mendengarkan lagu tentang kerinduan akan kebebasan. Dan, aku … tetap berada di dalam sangkar.
Telah berapa lama aku berada di sini? Aku tidak ingat. Bagaimana rasanya terbang bebas di angkasa? Hahaha, aku bahkan tidak tahu apakah aku pernah terbang bebas sepanjang hidupku. Aku menetas di dalam sangkar, dipindah ke sangkar lain, dan tumbuh di sangkar yang lain lagi hingga berada di sini, tergantung di dalam sangkar di teras rumah ini.
Langit menggelap, matahari sebentar lagi akan terbenam. Si gadis jendela keluar. Namun, tidak ada makanan burung di tangannya. Dia berdiri di hadapanku, memandangiku lekat-lekat.
“Kau ingin terbang, ya?” tanyanya.
Aku memandanginya. Itu pertanyaan yang aneh. Dia mengulurkan tangan untuk membuka pintu sangkar. Matanya terus menatapku.
Kulihat pintu sangkar yang terbuka, lalu wajahnya yang muram. Apa dia bermaksud melepaskanku?
Kucoba melompat turun dari tenggeran, lalu melompat ke pintu sangkar. Gadis itu masih memandangiku. Namun, kali ini dia tersenyum.
Kurentangkan kedua sayapku dan melompat keluar. Sekuat tenaga kukepakkan sayap. Beberapa kali aku kehilangan keseimbangan, tetapi kucoba terus terbang. Akhirnya, aku bisa terbang tinggi.
Beginikah rasanya terbang?
Udara dingin menerpa, tetapi aku terlindung bulu-bulu yang hangat. Matahari menyala oranye kemerahan di ufuk barat dan aku terus mengepakkan sayap. Mungkin, manusia tidak seburuk yang kukira.
But, whoever treasures freedom like the swallow has learned to fly…. (*)
Dalam Keheningan, 01072020
Mega Yohana, sesekali menulis dan sesekali menyunting naskah.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata