Flora, Aku, dan George
Oleh: Arika Wulandari
Pilihan Gambar: Gambar 1
Terbaik ke-4 Lomba Cermin Lokit
#Menerjemahkan_Gambar
Tidak seperti toko bunga lainnya di Semarang yang terpusat di Jalan Dr. Soetomo, toko bunga Flora berada di Jalan Pemuda yang merupakan jalan utama dan sangat lebar. Ia seperti terjepit di antara gedung-gedung moderen yang menjulang tinggi. Meskipun begitu, di sana terdapat beberapa bangunan kuno bergaya Eropa dan ini membuatku membayangkan bahwa jalan ini dahulu adalah sebuah kawasan elite.
Di ujung jalan terlihat sebuah gedung kuno yang dibiarkan terbengkalai dan sudah ditutup permanen. Hotel Inna Dibya Puri yang di masa lalu dikenal sebagai Du Pavillon. Meskipun sudah rapuh di sana-sini, tetapi masih menyisakan jejaknya sebagai hotel mewah dan pernah menjadi tuan rumah pameran terbesar se-Asia Tenggara, “Koloniale Tentoonstelling” pada tahun 1918. Jangan membayangkan nama Indonesia tercatat dalam sejarah dunia, karena saat itu, Indonesia belum lahir. Hanya ada Nederlandsch Indie, Hindia-Belanda.
Berseberangan dengan Flora, toko tempatku bekerja, ada bangunan kuno yang masih berdiri kokoh. Toko Oen, sebuah toko kue legendaris. Sebagaimana dahulu, saat ini pun tetap sebagai toko kue dan resto, sepertinya generasi berikutnya bertekad meneruskan usaha kuliner ini.
Memiliki jendela dari kayu jati yang lebar, nyaris selebar pintu, ditambah dengan langit-langit yang tinggi, membuat ruangan tetap sejuk walaupun tanpa pendingin udara. Meja kursi kuno yang terbuat dari besi dan anyaman rotan diletakkan di dekat jendela sehingga pengunjung dapat dengan bebas melihat ramainya lalu lintas di sepanjang jalan itu sambil menikmati kudapannya.
Menu yang disajikan tetap menu ala rijsttafel, jamuan khas Hindia-Belanda, seperti huzarensla, poffertjes, kroket, wafel, nasi goreng, omelette, dan beberapa aku tidak tahu namanya. Semuanya itu membuatku menelan ludah berkali-kali hanya dengan melihatnya saja, karena tak akan cukup uangku untuk membelinya.
Bekerja di toko bunga membuatku berkhayal akan bertemu pangeran tampan dan kaya raya bak dongeng Cinderella yang sudah kuhapal ceritanya sejak aku masih duduk di SD. Bagaimana tidak? Siapa orang yang akan membeli bunga dengan harga yang menurutku mahal, kalau tidak orang kaya? Apalagi kalau sudah dirangkai, tidak sedikit uang yang harus dibayarkan.
Akan tetapi, kenyataannya, hanya orang-orang tua yang senang menghiasi rumahnya dengan bunga segar yang rajin datang ke Flora, lalu remaja-remaja ABG pada hari Valentine. Atau panitia penyelenggara sebuah acara yang memerlukan bunga segar untuk dekorasi ruangan dan hotel yang sudah bekerja sama dengan Tante Riana. Selebihnya, aku hanya sendirian menjaga toko ini. Tidak ada pemuda impian yang datang.
Sesekali, Tante Riana, pemilik toko datang untuk mengontrol tokonya. Dia lebih sering berada di supermarket tanaman hias dan tanaman organik miliknya di Bandungan. Namun, semua yang berhubungan dengan operasional Flora diaturnya melalui telepon. Itulah sebabnya bunga di sini selalu lengkap, segar dan tidak pernah terlambat tiba di toko. Melihat Tante Riana yang sukses mengelola beberapa toko, aku pun ingin menjadi seorang wanita pebisnis yang andal.
Ah, aku bingung dengan diriku sendiri. Kadang ingin menjadi kaya raya secara instan dengan bertemu pangeran, kadang ingin menjadi wanita yang sukses dan mandiri secara finansial. Padahal aku hanya gadis yang sangat biasa saja, hanya tamatan SMA, tidak kaya, juga tidak cantik yang membuat pangeran mau melirik.
Hari ini, sungguh sangat melelahkan dan ini akan berlangsung selama sebulan. Dalam penanggalan Jawa, beberapa bulan dianggap sebagai bulan baik untuk melangsungkan pernikahan dan sekarang adalah waktunya. Saat seperti inilah pesanan buket, rangkaian bunga meja dalam keranjang atau vas, dan rangkaian bunga dalam pigura akan merajai penjualan.
Aku keluar dari toko untuk sejenak melepas lelah, kulihat sudah ada George menungguku. Aku menyandarkan punggungku dan mengangkat lalu menempelkan sebelah kaki ke dinding distro di sebelah kanan Flora.
“Kau sudah lama menungguku, George?”
George seolah tahu jam istirahatku dan selalu setia menungguku di situ. Dia tidak menjawab pertanyaanku, hanya diam memandangku saja. Tentu saja dia diam. Mana ada kucing berbicara? Aku rasa, George adalah kucing rumahan karena bulunya bersih berkilat. Entah milik siapa dan siapa namanya, aku tidak tahu. Karena dia kucing jantan, jadi, aku memberinya nama George. Dia sangat setia.
Cirebon, 21 September 2022
Arika Wulandari, seorang ibu penggemar teh yang sedang belajar menulis.
Komentar juri, Berry:
Terkadang, kamu hanya ingin beristirahat dari segala kesibukan dan mencari tempat yang nyaman untuk mengendurkan syaraf dan otot yang tegang, lalu berkelana ke lautan pikiran yang luas dan dalam. Tokoh, meski mengaku sebagai tamatan SMA saja dan tidak cantik—ia rendah hati—sesungguhnya adalah seorang pengamat yang tekun terhadap lingkungan sekitar dan dirinya sendiri. Pada titik tersebut, ia tidak tahu apa yang ia inginkan dan apa yang harus dilakukan, kecuali menjalani kehidupan yang berembus dengan sadar. Ia seorang realis yang tahu, bahwa hidup ini adalah tentang dirimu, pekerjaan (yang membuatmu bisa mandiri), dan seorang teman yang setia dan bisa dipercaya.
Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)