Flamingo (Terbaik 3, TL 21)

Flamingo (Terbaik 3, TL 21)

Tantangan Loker Kata 21

Naskah Terbaik ke-3

Flamingo

Oleh : Kepik Merah

Emma mendapati dirinya tersesat di rumahnya sendiri. Di ruangan yang berisi furnitur modern, wanita dewasa itu melangkah sempoyongan. Bisikan-bisikan purba tentang kenangan masa muda yang membara kembali bergema di ceruk hatinya. Ia menarik napas, memijit dadanya yang sesak. Bukan karena ada luka di sana, tetapi kekosongan yang mengisi begitu perih.

Udara terasa lembap, langit di luar rumah perlahan kehilangan sinar matahari sore. Rumahnya sepi. Aroma masakan dari dapur menggantung di langit-langit koridor. Rutinitas ibu rumah tangga, menunggu sang suami pulang kerja dan menyantap makan malam bersama. Atau sesekali menyiram tanaman labu di pekarangan yang tak luas. Entah sejak kapan, mungkin empat atau lima tahun sudah, ia merasa kebiasaan itu terjadi sebagai ritual saja. 

Sore itu, Emma menatap kalender duduk di meja, tersadar bahwa usianya genap tiga puluh. Di cermin besar berukuran setinggi seratus lima puluh senti, ia melihat pantulan perempuan bergaun merah muda—yang entah datang dari mana, tiba-tiba menyodorkan kotak musik bayinya. Lama, Emma membalas tatapannya.

Matahari enggan terbenam. Perempuan bergaun merah muda itu masih di sana, masih memperlihatkan kotak musik kayu di tangannya. Dia ingin Emma mengambil benda itu dengan senang hati. Tangan Emma pun terulur hendak menggapai kotak musik kayu yang kini sengaja dibuka perlahan oleh sosok itu. Denting musik klasik bervolume rendah terdengar. Nadanya memanggil Emma menyelam. Bagai permukaan air tenang, jari tangan Emma tercelup ke dalamnya—cermin itu.

Emma tersentak kaget luar biasa. Ia segera menarik tangannya keluar. Tapi perempuan bergaun merah muda itu tersenyum, tidak berhenti, seakan-akan mendorong Emma untuk segera meraih hadiahnya. 

“Ayolah! Hanya hadiah kecil,” ujarnya.

Emma lebih kaget lagi mendengar sosok itu bicara padanya. 

“Hari ini ulang tahunmu, ingat?” 

Emma mengangguk. “Suamiku saja tak ingat,” desisnya pelan. 

“Ambillah, kau pasti suka hadiahku.”

Emma kenal betul benda berbentuk kotak kecil terbuat dari bahan kayu itu. Bayinya pernah punya satu. Lalu suatu hari, ia menyingkirkannya bersama perkakas lain ke tumpukan kardus di gudang. Bersama kenangan dan traumanya.

Jauh di dasar hati, Emma terdorong untuk menggapai hadiah kecil itu. Ia merasakan sesuatu menggelitik di dalam dirinya. Benang hologram tampak terikat di lengan Emma, menggiringnya lamat-lamat menuju permukaan cermin bening. Begitu ujung jarinya menyentuh permukaan cermin, gelombang air tenang terbentuk, hawa dingin merasuk. Lengan Emma tercelup dahulu, baru wajah dengan mata terbuka dan seluruh tubuhnya. 

Emma terkejut, mendapati dirinya menyelam ke dalam cermin yang sejuk seperti air danau di taman kota. Kemudian cahaya sore meredup di belakang punggungnya, meninggalkan jejak gelombang air lalu hilang. Ia memasuki dunia yang berbeda dan belum pernah ditemui sebelumnya. Bahkan, di sana, ia sulit membedakan antara kenyataan dan ilusi.

Tidak ada pohon, tanaman perdu, atau bangunan. Mata Emma menyapu berbagai anomali jam saku di hadapannya, di dunia yang berwarna perak termasuk tanah di bawah telapak kakinya. Ada bermacam-macam jam saku dengan ukuran berbeda-beda melayang di udara, puluhan, mungkin juga ratusan. Anomali berbentuk kotak, oval, segitiga, bulat sempurna, dan kadang tampak aneh. Suara detaknya terdengar bising, sangat sibuk, dan kacau. Jam saku yang paling dekat Emma, jam saku sebesar panci penggorengan melayang terlipat di udara. Jarumnya berputar berlawanan arah, dengan tempo cepat dan detak yang nyaris tak terdengar saking ributnya. Yang di atas kepala Emma, jam saku sebesar buah apel, tidak memiliki angka, hanya jarum jam yang tertidur dengan suara dengkur.

Ia tersadar satu hal, ia bernapas tapi udara tidak bergerak di sana. Ia bisa menyentuh waktu dan menggelindingnya seumpama bola bekel. Emma mengibas-ngibas bunyi bising jam saku, tapi tak dapat menghentikannya.

Saat mengamati anomali itu, Emma dikejutkan oleh sentuhan perempuan bergaun merah muda tadi di pundaknya. Kotak musik kayu mengapung di tangan kiri perempuan itu. Dia, perempuan itu—yang berpikir sangat mengenal Emma, telah berdiri di hadapan Emma, menatapnya kasihan. Dengan satu jentikan jari, perempuan itu meredam semua suara detak jam saku anomali. Emma menahan napas, menahan rasa terkejutnya yang kesekian kali. Ia butuh jawaban atas semua tindakan yang dilakukan oleh orang asing itu.

“Lihatlah cermin itu, kau akan menemukan sesuatu yang tidak terlihat di duniamu, bagaimana orang-orang melihatmu,” katanya lembut.

Emma berbalik memunggunginya dengan rasa penasaran. 

Di sana, cermin bening yang baru saja membawa Emma ke dunia anomali itu, kini menampilkan pemandangan baru. Wujud diri Emma tampak jujur di cermin. Wajah pucat tanpa pemulas bibir, kusut masai rambutnya yang rontok sana-sini, bergaun tidur lusuh bekas tumpahan susu, dan sandal rumahan yang ia pakai setiap hari. Tak pakai parfum, tak sempat mandi, tubuhnya berbau fermentasi acar bawang. Bayi laki-laki di pelukannya tertidur setelah ninabobo ke-sembilan belas. Orang-orang mencelanya, “Si flamingo buruk rupa.”

Emma meringis, ia mengingat siapa dirinya dalam cermin itu. 

Selang semenit, pantulan wujud Emma di cermin secara ajaib berganti menjadi sosok wanita muda yang jauh lebih menarik. Wajah berseri seorang wanita dengan perona pipi dan lipstik warna persik, rambut ikal bergelombang ditata rapi, bergaun putih tulang semata kaki, sedang menggenggam tas tangan berisi dompet. Wajah itu tampak bahagia. Dia bepergian dari satu pesta ke jamuan lain. Bertemu banyak kenalan, teman kerja, juga menghadiri reuni alumni kampusnya. Orang-orang memuji berlebihan, entah menyebutnya si cantik, si baik hati, si tuan putri, entahlah.

Emma menitikkan air mata. Ia tak kenal wajah yang kedua. 

“Hai! Emma!” seru perempuan bergaun merah muda itu.

“Jika kau punya kesempatan untuk mengubah sesuatu, apa yang ingin kau ubah?”

Emma menyedot ingusnya, juga menyeka pipinya. Ia tidak menyebut keinginan apa pun di mulutnya. Tidak juga mengisyaratkan sesuatu. Ia hanya lelah, belum siap dengan keajaiban. 

Perempuan itu menjentik jarinya. Sekilat cahaya, mereka berpindah ke ruangan lain. Di bawah telapak kakinya, Emma menatap takjub jembatan cahaya kosmik melesat dengan kecepatan luar biasa seperti anak panah terlepas dari busurnya. Kaleidoskop ingatan Emma satu demi satu berkejaran, menyembur dari kepala begitu saja. Gulungan film masa kanak-kanak, remaja, hingga kini ia berumur tiga puluh. Benang-benang hologram ingatan Emma ditenun menjadi permadani cahaya. Di atas permadani itu kemudian tumbuh anak kecambah yang pucuknya perlahan mengepak di atmosfer dan membesar menantang matahari. Dalam hitungan detik, kecambah di atas permadani sudah sebesar pohon beringin tua.

Perempuan itu menjentik jarinya lagi. Mereka telah sampai di ruangan yang familier bagi Emma. Rumah bersalin, dalam kamar nifas dengan bangsal-bangsal yang disekat kain gorden tebal dari langit-langit menyentuh lantai. Hari itu Rabu siang, cerah, dan bau cairan disinfektan begitu menyengat. 

“Makhluk apa itu?” tanya Emma tak lagi menyembunyikan rasa penasarannya. 

Ia menunjuk burung flamingo yang bertengger dekat baby crib, tempat tidur bayinya.

“Itu peri penjaga para bayi.”

Mata Emma terbelalak tak percaya. Burung besar berkaki ramping dan berbulu merah jambu cerah itu dikatakannya sebagai peri penjaga? Anomali apa lagi ini?

“Tugasnya hanya sebentar,” bisiknya. “Paling lama hanya sampai bayi itu berusia tiga tahun.” 

“Bagaimana dia menjaganya? Punya sihir keberuntungan, begitukah?”

Perempuan itu menggeleng. 

“Apa dia melakukan pekerjaan berat? Menangkal hantu?” 

Menggeleng lagi.

“Jadi apa gunanya burung itu di sana, jika dia tidak bisa melakukan sesuatu?” Emma heran.

“Lihatlah sendiri,” katanya terakhir kali.

Perempuan itu tersenyum, kepak sayap kupu-kupu dan debu berlian berguguran di sekitar tubuhnya. Kemudian dia menjentik jari sedetik sebelum menghilang. Detik selanjutnya, Emma sudah terbangun di tubuhnya yang berusia dua puluhan. 

Flamingo merah jambu menawan itu hanya Emma yang dapat melihat wujud mitologi tak kasatmatanya. Burung besar itu memiliki kaki ramping, leher panjang, paruh melengkung anggun, sayap besar, dan ekor pendek. Bulunya lembut seperti gumpalan permen kapas. 

Flamingo itu menyusui bayinya, sama seperti Emma. Kelenjar pencernaan induk flamingo menghasilkan susu merah muda yang dialirkan melalui paruh untuk bayi kecilnya yang baru menetas. Saat merawat bayinya dengan penuh kasih, induk flamingo itu perlahan kehilangan rona cantiknya. Bulunya memucat, warnanya memudar, berubah putih hingga abu-abu kusam, sebab energi dan nutrisi diserap habis oleh bayi mungil kesayangannya. Secara alami, ketika bayinya memasuki tahapan usia yang lebih mandiri, induk flamingo akan mendapatkan kembali warna merah mudanya. Bahkan mungkin lebih cerah dari kemarin. 

Ia ingat semuanya.  

Ingatan Emma menempel di salah satu halaman. Buku terbuka. Emma baru saja melompati kolom waktu yang bergerak ke belakang punggungnya. Ia dibawa melintasi waktu dan mengulang kembali kenangan lima tahun lalu.

Umur Emma dua puluh enam ketika melahirkan bayi pertamanya. Bayi laki-laki berbobot tiga kilo lebih dua ratus gram itu tertidur pulas setelah tiga kali ganti popok dan kenyang menyusu satu jam. Ia menengok jam dinding yang telah menunjuk pukul tiga dini hari, dan dengkuran suaminya terdengar menyebalkan. Kotak musik kayu yang dibeli suaminya, duduk diam di meja perkakas bayi.

Empat puluh hari nifas berlalu. Emma ditinggal sang suami yang mendadak kena mutasi perusahaan. Katanya, upah di kota besar lebih tinggi. Katanya, bayinya membawa keberuntungan. Tapi Emma tidak berpikir begitu. Orang-orang mencibir penampilannya pasca bersalin. Orang-orang mengira suaminya pergi sebab ia tak lagi pandai mengurus diri. Cucian piring dan jemuran basah menjadi dosa maha besar yang dikutuk sang suami pada pagi buta.

Kelebat ingatan dari tempo lama berputar seperti gasing di kepala Emma. Mesin ingatan itu berlarian seperti anak-anak kecil yang saling mengejar menangkap kawan bermainnya. Seperti kunang-kunang yang mengembara dari tempat gelap menuju kuantum cahaya. 

Ia tertegun berada di tengah pusaran gelombang kejut. Tentang rumah yang selalu dibasahi tangisan bayi. Mertua dan saudara ipar Emma yang tak sekali pun berkunjung. Tentang buket bunga yang salah alamat. Gunjingan tetangga bahwa suaminya tidur dengan wanita lain. Tentang gurindam yang dibisikkan para tetua, bahwa bukan salah Emma pernah jatuh cinta lalu sekarat. Juga, tentang selimut hangat dan tabung penyejuk udara yang menjadi saksi. Tengah malam itu, Emma tega membiarkan raung bayinya hampir pucat.

Umur Emma dua puluh tujuh. Tengah malam itu, menuju pergantian hari, ulang tahun pertama bayinya. Sang suami jauh di kota lain, lewat pesan singkat, berdalih mengurus muatan logistik perusahaan, jadi ia tak bisa menelepon seperti biasa. Emma mengulang kembali kenangan pahitnya. Ia duduk di tepi kasur. Badannya kurus. Bajunya bau pesing. Rambutnya rontok berguguran di lantai dingin. Bayinya masih menangis sebelum pukul dua belas. 

Tiba-tiba, waktu berhenti, Emma masih bernapas tapi udara tak bergerak di sekelilingnya. Perempuan bergaun merah muda itu hadir lagi. Di tangannya ada dua kapsul yang harus dipilih Emma salah satu.

“Aku beri pilihan bagus untukmu kali ini. Kedua kapsul ini berisi obat untuk rasa sakitmu. Hanya boleh satu.” 

Emma menggigil mendengarnya. 

“Kapsul putih berisi obat penghilang ingatan. Setelah menelannya, orang-orang yang kau benci akan menghilang. Sudah ada 1.255 orang yang memilihnya. Efeknya luar biasa. Instan.” 

“Orang-orang yang kubenci? Hilang?”

“Ya, mereka yang menyakitimu. Suamimu, mertuamu, ipar-iparmu, dan bahkan tetangga sebelah rumahmu. Kau tidak perlu melihat mereka lagi. Kalau kau tak suka bayimu, itu juga bisa menghilangkannya tanpa rasa sakit,” terangnya meyakinkan.

“Terus? Kapsul yang satunya?” selidik Emma.

“Kapsul merah muda? Oh ya, harus kukatakan sebenarnya. Kalau kau pilih, kau orang ketiga yang beruntung.”

“Baru dua orang?”

Perempuan bergaun merah muda itu mengangguk. “Hanya sedikit rasa sakit, tapi itu membuatmu menjerit, rasanya seperti dua puluh tulangmu dipatahkan bersamaan.” 

Emma mengingat rasa sakit ketika ia melahirkan. Rasanya tidak sama dengan luka tak berdarah di dadanya, kebenciannya. Ternyata, selama ini, ia telah memelihara monster di hatinya, yang menggerogoti setiap inci kewarasannya.

“Kapsul apa itu?”

“Kau lihat gaunku? Cantik, bukan?” 

Emma tersenyum getir. Ia pernah melihat manekin di toko pakaian yang menjualnya. 

“Kapsul ini kuberi nama Flamingo. Kapsul memaafkan tapi tidak melupakan. Setelah menelannya, tulang rusukmu akan dipatahkan satu demi satu, kau bisa tidur panjang saat rasa sakitnya selesai. Lalu kau akan terbangun dengan perasaan bahagia.”

Emma merinding. 

Perempuan bergaun merah muda itu mengulurkan tangannya, meletakkan kedua kapsul di telapak tangan Emma.

“Kapsul putih, tanpa rasa sakit. Kapsul merah muda, sedikit sakit, favoritku.” 

Emma menatap bayinya yang mematung. Beberapa menit lalu dia masih meraung-raung di kasur. Air matanya meleleh di pipi. Kesakitan. Ibunya, hendak membunuhnya. 

Salah satu kapsul ditelan Emma tanpa perlu minum air.

Ia teringat lembar gulungan film kenangan traumanya empat tahun lalu—yang sekarang dia lalui sekali lagi. Ia pun masih ingat bau tanah pemakaman yang mengubur bayinya. Nisan mencatat tanggal kelahiran dan kematian orang-orang yang pernah hidup. Di bawah payung hitam, hujan lebat di luar, air mata para pelayat terasa mendidih. Emma tidak menangis. Hatinya sudah jadi batu. 

Perempuan itu menjentik jarinya dua kali.

Lalu, di tangan Emma kini, tersisa satu kapsul. 

Warna putih.

Perempuan bergaun merah muda itu tak berdusta. Flamingo namanya, dengan sedikit rasa sakit. Dua puluh tulang Emma dipatahkan bersamaan.[] 

Kaubun, 31 Juli 2025

Kepik Merah, penulis prosa, novel dan cerpen, sesekali puisi. Novel pertama naik cetak pada tahun 2020, berjudul Surat dari Mesopotamia, hadiah kecil saat menanti kelahiran putra pertamanya. Sedang giat menulis cerpen, rajin ikut event dan kelas menulis. Masih mengimani bahwa jus alpukat asalnya dari Indonesia.

.

Komentar Juri, Imas Hanifah:

Membaca cerpen Flamingo, saya yakin siapa pun akan setuju tentang betapa besarnya pengorbanan seorang perempuan ketika mereka memutuskan untuk pergi menikah. Namun, jika keputusan tersebut nyatanya tidak sejalan dengan harapan, alias yang didapat adalah pengkhianatan, apa yang akan terjadi? Dan, apakah waktu bisa diputar kembali? Bisakah seseorang diberikan kesempatan untuk mendapatkan takdir yang berbeda?

Di dalam cerpen ini, penulis tidak membebaskan tokoh begitu saja untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, melainkan si tokoh harus memilih. Itulah yang membuat cerpen ini menjadi kian menarik. 

Selain itu, terdapat isu-isu yang dekat dengan realita, yang diangkat dengan cukup baik oleh penulis. Dengan beberapa alasan itulah, Flamingo layak berada di urutan ke-3 terbaik.