Fitriyah C
Oleh: Fitri Fatimah
Tugas mengarang, materi bahasa Indonesia. Kelas IX.
Saya bukannya benci, saya cuma tidak suka pada nama saya. Nama saya terlalu pasaran. Bahkan di kelas ini ada tiga siswa yang memiliki nama yang sama dengan saya. Membuat guru jadinya harus memberi buntut alfabet supaya di absen nama kami tidak tertukar-tukar. Fitriyah A, Fitriyah B, Fitriyah C. Saya Fitriyah C.
Sudah dari kecil memang saya tidak suka nama ini. Saya ingat dulu, ketika menonton sinetron dan ada tokohnya yang saya sukai, yang pasti tidak lepas dari peran protagonis, saya pasti langsung mengadu pada Ibu, bahwa saya ingin mengubah nama saya jadi salah satu mereka: Wulan, Tiara, Indah, dan lain-lain. Hanya saja seberapa pun saya merengek, Ibu tidak pernah menanggapi saya dengan serius. Atau sekalinya serius, dia akan bilang, “Dulu ayahmu sampai memintakan namamu pada seorang kiai. Dan nama adalah doa, ya kan? Jadi Fitri Sayang, kami mendoakan supaya kau jadi gadis kecil kami yang bersih, suci, murni ….” Sambil menyentil ujung hidung saya dengan main-main. Tapi saya masih tetap saja cemberut, bahkan hingga kini. Bahkan saya sampai pernah berpikiran yang tidak-tidak, kenapa saya tidak sakit keras saja, mungkin dengan begitu Ayah akan kembali sowan ke kiai dan memintakan ulang nama untuk saya, yang lebih bagus, yang akan menjauhkan saya dari penyakit. Tapi seperti yang kalian tahu kemudian, saya jarang sakit. Mungkin nama saya memang sangat manjur, saya fitri dari kuman.
Bukannnya apa-apa, hanya saja di kelas tiap ada yang memanggil Fitri, kami bertiga—Fitriyah A, Fitriyah B, Fitriyah C—akan otomatis menoleh semua. Dan saya sebal kalau harus melulu begitu. Apalagi kalau saya sedang enak-enaknya tidur di sela jam istirahat, lalu tiba-tiba harus geragapan bangun gara-gara mendengar nama saya, atau nama yang saya kira adalah saya, disebut-sebut. Lalu saat saya menjawab, “Iya?” si pemanggil dengan senyum minta maaf malah membalas, “Eh, bukan Fitri kamu. Tapi Fitri itu,” sambil menunjuk Fitriyah B.
Sebal. Saya sebal.
***
Saya bingung kenapa saya dipanggil Pak Anas ke depan kelas. Seingat saya saya tidak ada membuat masalah apa pun akhir-akhir ini. Saya menyetor tugas tepat waktu, saya tidak (sempat) tidur di kelas, saya tidak bawa gorengan dan diam-diam menyamilnya ketika pelajaran berlangsung, setidaknya tidak ketika bagian mata pelajarannya, bahasa Indonesia, karena jujur, Pak Anas termasuk guru favorit saya. Jadi sungguh saya bingug, salah saya apa sampai ketika semua siswa dibolehkan keluar untuk menikmati jam istirahat mereka, saya malah dipanggil dan disuruh tinggal. Tak urung jantung saya seperti—mungkin ini ya yang disebut serangan jantung?
Saya berjalan ragu-ragu ke arah meja Pak Anas, ada tumpukan buku yang lumayan menggunung di sana, buku tugas kami. Tadi memang beliau memberi kami tugas mengarang, boleh cerpen, puisi, artikel, atau bahkan curhat, bebas saja, intinya kami disuruh berlatih menulis.Dan saya menulis … curhat. E … apa saya dipanggil gara-gara itu, ya? Benar saja, setibanya di samping meja Pak Anas, beliau menyodorkan buku tugas saya. Mati saya!
“Fitriyah C … sampean tidak suka ya dipanggil begitu?”
Bahu saya langsung merosot. Aduh, memalukan. “Suka kok, Pak,” bohong saya. Kepala tertunduk dalam-dalam.
“Nama adalah doa, itu sampean tahu. Tapi cobak sini ceritakan kenapa sampean sampai tidak suka?” Suaranya ringan, benar-benar bertanya, bukan menghakimi. Saya makin tertunduk, ingin saya segera menjotoskan dahi ke papan. “Karena pasaran?” tebaknya sendiri, sesuai isi tulisan saya. Saya mengangguk.
“E …,” saya memulai, ingin mencoba menjelaskan, “kadang kalau ada teman yang menitipkan barang untuk diberikan pada saya, karena nama saya pasaran, barang itu kadang nyasar-nyasar terlebih dulu ke Fitriyah A, ke Fitriyah B. Kadang sampai barangnya hilang, Pak. Saya … lumayan kesal.”
Aduh, alasan yang kekanak-kanakan.
Takut-takut saya mendongak. Pak Anas tampak menyimak, dan tampak masih menunggu kelanjutan jawaban saya. Buru-buru saya menambahkan, “Tapi saya tidak melulu kesal kok, Pak, pada nama saya. Kadang, kalau sudah menjelang Lebaran, kan nama saya dicetak besar-besar di spanduk, bahkan di iklan sirop, “Selamat Hari Raya Idul Fitri” begitu, saya senang juga kok, Pak. Iya … kadang sih ….” Saya mencoba terdengar tak begitu tak tahu diuntung.
Anehnya Pak Anas tergelak.
Lalu karena merasa mendapat suntikan keberanian, kepalang tanggung dibahas, lebih baik mencemplungkan diri sekalian, Maka dengan nekat saya melanjutkan, “Kadang saya berpikir begini, Pak. Saya pernah dengar soal “Apalah arti sebuah nama[1]”, dan saya ingin sama acuh tak acuhnya pada nama saya seperti dalam ungkapan itu, karena toh yang sejati adalah diri saya, bukan nama saya. Dan lagi pula beberapa orang terdekat di sekeliling saya, bahkan pun tanpa nama, akan tetap bisa mengenali saya. Karena mereka mengenal saya lebih dari sekadar nama. Bahwa tanpa nama yang khas atau unik atau satu-satunya di dunia, saya masih adalah saya, yang memang cuma satu di dunia.”
Karena barusan sambil bicara saya kembali menunduk—lantai kelas tiba-tiba jadi hal paling menarik, anggaplah begitu—maka seusainya saya bicara, ragu-ragu saya kembali mendongakkan kepala, penasaran dengan reaksi Pak Anas.
Beliau tampak mengangguk-anggukkan kepala, senyumnya terbentang lebar.
“Jadi saya tak perlu menjelaskan lagi kan kenapa setelah ini sampean harus berhenti mengeluh soal nama?”
Giliran saya yang tersenyum sama lebarnya, lalu juga mengangguk-angguk, menyepakati.
“Kalau begitu sampean boleh pergi istirahat, Fitriyah C.”
“Siap, Pak!” sahut saya lantang, lengkap dengan salam hormat ala upacara bendera. Norak, ih!
Dan ya, apalah arti sebuah nama. (*)
Catatan:
[1] Ungkapan terkenal dari Shakespeare dalam romannya tentang percintaan Romeo dan Juliet.
Sumenep, 27 April 2018.
Fitri Fatimah, kelahiran Sumenep, suka membaca dan mencoba menulis. FB: Fitri Pei.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata