Firefly and The Dromits (Part 2)
Oleh : Freky Mudjiono
Kabut masih menyelimuti Lembah Valvey saat Firefly tersentak dari mimpi. Tanpa peduli aroma tajam dari bunga tanaman centruminium–tanaman yang banyak terdapat di lereng bukit–Ia langsung bangkit dan berlari ke luar kamar. Langkah kakinya yang tergesa, membuat lantai rumah panggung di mana ia berada menggemakan bunyi yang memecah kesunyian
Di depan sebuah ruangan yang pintunya tertutup rapat, Firefly berhenti. Ia terlihat sedikit kesulitan meredakan napasnya yang memburu, sehingga seperti perlu meletakkan tangan di atas dadanya yang turun naik. Cukup lama gadis itu berdiri tanpa berbuat apa pun selain menarik dan mengembuskan napas panjang, sebelum akhirnya perlahan membuka pintu di hadapannya … sangat perlahan.
Bola matanya menangkap pemandangan sosok pria yang tengah tidur nyenyak di atas sebuah dipan di tengah ruangan. Terlihat sangat nyaman dengan selimut yang menutupi tubuh kekarnya hingga ke dada. Firefly memutuskan untuk tidak beranjak mendekat, hanya mengamati dari tempatnya semula. Setelah yakin tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Firefly kembali menutup pintu kamar yang terbuat dari potongan kayu isiris. Kayu yang sangat kuat.
Haze memang tidak main-main saat membangun rumah ini. Terletak di tengah hutan, ayahnya itu membangun rumah yang mampu melindungi penghuninya, baik dari serangan binatang buas, maupun dari cuaca ekstrim yang melanda. Kayu pohon isiris memiliki serat yang rapat. Haze bilang, saat musim dingin tiba, mereka bisa tetap tinggal dengan nyaman di dalam rumah yang sebagian besar dinding dan pintunya terbuat dari pohon itu. Sebab itu, Haze tidak mempermasalahkan waktu dan tenaga yang harus dikorbankan lebih banyak demi memotong pohon yang ukurannya besar-besar itu.
Terkadang gadis muda itu merasa heran, bagaimana Haze mengetahui banyak hal dan memikirkan detil-detil yang sama sekali tidak pernah terlintas di benak Firefly. Seperti saat Haze mengajaknya menyelinap keluar dari gerbang kota, lalu berjalan selama berjam-jam hingga kaki kecil Firefly terasa sakit.
“Kenapa kita harus ke sini?” tanya Firefly setengah merajuk karena lelahnya.
“Kita akan membangun tempat persembunyian di sini. Ingat, kau tidak boleh bercerita tentang ini pada siapa pun!” Haze berkata dengan tegas, membuat Firefly mengkeret hingga tidak berani menjawab yang lain selain mengangguk.
“Perdamaian itu hanyalah bualan. Bila persekutuan pecah, kita harus memiliki tempat untuk menyelamatkan diri.” Haze terus berkata sambil menyusun batu-batu yang cukup besar di empat penjuru.
“Menyelamatkan diri?” Firefly kebingungan.
“Kita kaum Odus, akan menjadi yang diperebutkan bila terjadi perang. Mereka tidak akan segan-segan bertindak menyakiti hanya agar kita bersedia bekerjasama.” Haze menghela napas, tatapan matanya terlihat sedih.
Firefly hampir bisa mengira bahwa pria itu tengah menceritakan kejadian serupa yang sesungguhnya pernah ia alami. “Tapi sekarang tidak ada perang. Kaum Dromit akan melindungi kita semua,” ujar Firefly cepat agar Haze tidak merasa khawatir lagi.
“Melindungi atau menguasai?” gumam Haze sendu. Dengan satu helaan napas, ia kemudian membelokkan percakapan dengan menyuruh Firefly membantunya menghidupkan api.
“Hari masih terang. Untuk apa kita menghidupkan api?” protes Firefly. Ia tidak suka pekerjaan menghidupkan api. Percikan dari dua batu api yang digosokkan seringkali mengenai punggung tangannya, rasanya perih.
“Kita harus mengasapi batang-batang isiris sebelum bisa dipergunakan. Sudahlah, cepat lakukan!” perintah Haze lagi.
Dengan terpaksa, Firefly beranjak. Matanya yang berpendar fluoerescent saat terkena cahaya, mencari dengan teliti ranting atau dahan kering yang telah jatuh ke tanah.
“Aku tidak suka lama-lama berada di sini, Haze. Bau tanaman ini mengangguku!” Firefly mengeluh saat mengumpulkan ranting-ranting kering yang berserakan di antara tanaman perdu. Saat menunduk, beberapa kali tanpa sengaja ia menyenggol bunga dari tanaman tersebut. Bunga bewarna kehitaman berbentuk kantung kecil itu mengeluarkan aroma yang aneh, seperti hasil fermentasi. Busuk dan asam yang menyengat.
“Itu Centruminium. Mereka akan melindungi kita dari Widerer. Terus terang, dengan daya jelajahnya yang tinggi, akan sulit bersembunyi dari para Widerer. Aroma centriminium akan menyamarkan bau tubuh kita.”
“Aku tidak bau!” bantah Firefly.
Haze tergelak, lalu mencubit pipi Firefly. “Tentu saja tidak. Tapi kau tahu, hidung Widerer yang panjang, bisa mencium bau obat-obatan yang melekat di tubuh kita.”
Firefly ikut tergelak. Ia membayangkan kaum Widerer yang memang terlihat aneh dengan hidung mereka yang terlalu panjang, sekilas mirip binatang oaks yang selalu muncul di malam hari. Meski sama-sama tinggal di Negeri Dawn, para Widerer memang terlihat mengasingkan diri. Terkadang, mereka seolah tidak perduli dengan kebijakan jam malam. Hingga sering mendapatkan hukuman dari Dromits. Haze pernah bercerita, bahwa Widerer merupakan bangsa pemburu dan penjelajah, mana mungkin mereka betah dikurung terus menerus di balik benteng.
Ah, Haze … Firefly kembali sedih mengingat kenangannya dengan sang ayah. Ia sama sekali tidak tahu, rasa ingin memiliki Arsen membuatnya harus hidup terpisah dengan Haze.
Masih lekat di benak Firefly, betapa terkejutnya ia ketika tanpa basa basi Haze menyuruhnya untuk segera meninggalkan Negeri Dawn.
“Tapi kenapa?” tanya Firefly tak mengerti.
“Kaum Dromits akan segera mengetahui bahwa salah satu dari mereka menghilang. Kau harus segera pergi sebelum proses pencarian dimulai.”
Firefly tak mampu menjawab. Ia hanya bisa terdiam memandangi Haze yang sibuk mengemas barang-barang. Pandangannya lalu beralih ke kamar, di mana Arsen dan ia tidur bersama semalaman. Setelah minum ramuan concupis itu, Arsen sama sekali tak membiarkan Firefly jauh dari pandangannya. Pria itu mabuk kepayang dan Firefly merasa dadanya seakan hendak meledak oleh rasa bahagia.
Namun, melihat wajah tegang Haze yang mengemasi barang sambil berpesan ini itu, Firefly bimbang … ini mulai terasa tidak benar.
“Dengar … Dromits adalah bangsa yang tidak punya hati. Seberapa besar keberhasilan ramuan concupis, mengandalkan keberuntunganmu. Efeknya akan permanen setelah bulan Reomon muncul. Bila sesuatu terjadi sebelum itu, kau … harus bisa melindungi diri. Jangan pernah ragu.” Haze meraih telapak tangan Firefly yang dingin dan meletakkan sebuah belati kecil di sana. Tatapannya dalam seolah meminta Firefly berjanji.
Firefly menelan ludah, hatinya gentar oleh kilatan belati yang mengisyaratkan sebuah pertumpahan darah. Ia paham apa yang dimaksud oleh ayahnya.
Bersambung ….
Part sebelumnya
Firefly and The Dromit (Episode 1)
Freky Mudjiono. Wanita yang sangat menyukai dunia literasi.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata