Faith

Faith

Faith
Oleh : Esa Nara

“Lights will guide you home ….”

Aku tidak percaya Tuhan, tapi jika dengan berdoa kepada-Nya dapat membuat Darren siuman dari koma, maka tentu akan kulakukan. Jadi itulah sebabnya mengapa sekarang aku berada di kapel rumah sakit; menyilangkan jari sambil memohon kesembuhan kawan karibku itu.

Darren dan aku sudah menjalin persahabatan sejak masih duduk di pre-school hingga kini kami di tingkat sebelas. Rumah Darren berada tepat di sebelah timur rumahku—memungkinkan kami menghabiskan banyak waktu bersama; ketika mengerjakan tugas dan proyek sekolah, sekadar bermain atau bahkan acara BBQ yang rutin diadakan keluarga kami tiap akhir pekan. Kami juga pergi ke gereja yang sama. Bedanya Darren dengan kesadaran penuh, sementara aku semata karena paksaan ibu.

Suatu hari Darren berkata bahwa aku terlalu muda untuk menyatakan diri sebagai ateis, saat itu kami duduk di kelas tujuh, dan pernyataan itu dituturkan dalam percakapan perdana bersama kawan baru kami—Khaled. Seorang murid pindahan, bocah muslim taat dari keluarga imigran Yaman.

Aku menolak gagasan Darren mentah-mentah, berkata, “Ini masalah keyakinan, bukan? Jika kalian bisa percaya kepada Tuhan di umur lima tahun, maka itu artinya aku juga bisa tidak percaya di umur yang sama.”

“Tapi ateis itu pikiran orang dewasa, Sean.” Darren bersikukuh. Sementara Khaled tertawa menyaksikan kami yang menurutnya sama saja bersikap seperti para orang dewasa.

Perdebatan itu tidak berlanjut karena bel berbunyi, menandakan jam istirahat makan siang telah berakhir. Tapi sebelum Mrs. Geller memulai kelas fisikanya siang itu, aku berbisik pada Darren bahwa salah satu alasan ia selalu mendapat nilai C pada mata pelajaran tersebut ialah karena Darren lebih percaya pada Tuhan daripada sains. Yang mana membuatku tersenyum puas karena tanggapan yang bisa ia berikan hanya sebuah desisan untuk menyuruhku segera tutup mulut.

Aku memang selayaknya para ateis lain yang menuhankan ilmu pengetahuan di atas segalanya, bahkan walaupun aku tentu tak secerdas para ilmuwan tersebut. Hanya saja, entah mengapa otakku memang sulit untuk percaya kepada sesuatu yang tak dapat terjelaskan secara ilmiah.

Pernah kudengar sebuah pendapat yang berbunyi: beberapa orang akan percaya keberadaan Tuhan ketika kematian mendekat. Suatu hari di bulan Januari saat suhu musim dingin berada di angka terendah, aku pernah hampir mati karena tak sengaja tercebur ke dalam danau saat bermain ski di atas lapisan es yang tau-taunya pecah. Tapi tak sekilas pun wajah Tuhan muncul dalam proyeksi kepalaku seperti yang terjadi dalam buku dan novel, adegan film atau kisah pengalaman spiritual di acara reality show di televisi. Saat itu aku bahkan tak bisa berpikir; hanya bisa merasakan air es yang terasa bagaikan ribuan pisau tajam yang mengiris seluruh tubuh. Aku hanya tak pernah menyangka bahwa bertahun-tahun setelahnya, pernyataan yang kupikir telah gagal terbukti itu, ternyata datang bukan berasal dari pengalamanku sendiri melainkan melalui Darren.

Tulang rusuk patah, paru-paru bocor, limpa robek, dan kerusakan pada otak akibat kecelakaan lalu lintas yang Darren alami pagi tadi sudah cukup untuk membuat dokter datang pada keluarga Darren dengan berujar lesu dan prihatin, “Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkannya.”

Tubuh Mrs. Collins—ibu Darren—seketika merosot ke lantai diiringi tangis meraung. Sedangkan ayah dan adik perempuannya—Heather, hanya bisa memegangi sembari berpelukan dan ikut terisak.

Aku melirik Khaled di sampingku yang matanya sama basahnya dengan mereka. Sementara aku sendiri tak menangis. Bukan karena masalah harga diri sebagai laki-laki, entah mengapa rasanya air mataku tak bisa keluar walau sebenarnya aku sangat ingin. Dadaku terasa sesak melihat tubuh sahabat karibku itu yang tersambung dengan begitu banyak selang dan alat-alat medis, kondisi yang biasanya hanya kulihat di film-film. Namun kini kusaksikan dengan mata kepala sendiri.

Lantas ketika aku dan Khaled meninggalkan ruang tunggu ICU, ucapan dokter tadi kembali menggaung dalam ingatanku justru ketika kami melintasi sebuah pintu dengan papan penanda “kapel”.

“Hanya keajaiban yang dapat menyelematkannya.”

Tak ada yang namanya keajaiban dalam sains. Jadi apakah itu artinya aku harus percaya bahwa ada kekuatan lain tak kasat mata yang turut ambil andil menggerakkan kehidupan?

Ketika aku akhirnya membuka mata setelah selesai berdoa, aku melemparkan pertanyaan pada Khaled yang duduk menemaniku di sana, “Apa yang membuatmu percaya pada Tuhan?”

“Karena memang sudah seharusnya.” Ia menjawab singkat.

Aku mengernyit, meliriknya sekilas lalu berkata, “Itu tak menjawab pertanyaanku.”

“Dalam ajaran agamaku, memercayai Allah adalah hal wajib. Jika kau tanya mengapa, maka aku hanya akan bilang bahwa hatikulah yang menerima untuk mengakui pernyataan itu dengan kesadaran penuh,” jelasnya panjang lebar. Tapi aku masih tak bisa mengerti.

“Bagaimana jika aku bertanya lagi mengapa hatimu bisa meyakini seperti itu?”

Khaled tertawa pelan. “Terkadang tak semua hal harus menggunakan logika, Sean. Kita manusia memiliki hati dan perasaan.”

Untuk beberapa lama tak ada lagi percakapan. Kami hanya duduk di sana memandang lurus ke arah kaca patri bermotif Yesus Kristus dan para murid-Nya di sanctuary. Lalu ketika aku baru saja hendak bertanya apakah agama Khaled tak melarangnya untuk berdiam diri di tempat peribadatan agama lain, ia lebih dulu menyahut. “Seperti yang barusan kukatakan, tak semua hal bisa dijelaskan dengan logika, salah satunya tentang Tuhan.”

Di hari-hari biasa aku akan dengan tanggap menjawab apa saja opini perihal ketuhanan yang disampaikan Darren dan Khaled. Tapi saat ini lidahku seperti kehilangan fungsinya. Mungkin karena pikiran yang tengah kalut akan situasi yang tengah berlangsung atau barangkali karena sesuatu yang sering disebut Khaled sebagai “hidayah”. Entahlah.

“Keterikatan yang kau rasakan dengan keluargamu, dan juga Darren,” ujar Khaled lagi, “kupikir itu bukan sesuatu yang dapat dijelaskan dengan sains.”

Aku masih bergeming, merasa cukup untuk menjadi pendengar saja.

“Keluargamu dan Darren tentu lebih dari sekadar menempati salah satu ruang dalam kepalamu, bukan?” sahutnya retoris. “Aku yakin mereka ada di sini, Kawan.” Khaled menuntaskan ucapannya sambil menepuk dada kiriku.

Aku tersenyum, lantas menekuri perkataan Khaled lama. Tentu saja, keluargaku, Darren juga Khaled sendiri adalah orang-orang istimewa yang memiliki ikatan kuat denganku. Dan dengan malu aku mengakui dalam kepalaku, bahwa perkara hati benar ialah sesuatu yang begitu abstrak untuk dapat ditelaah dengan ilmu pengetahuan. Bahkan dalam psikologi sekalipun. 

“Lagipula … Isaac Newton dan Albert Einsten sendiri percaya pada Tuhan.”

Sontak aku tertawa pelan, aku menduga-duga apakah Khaled hanya hendak menyebutkan fakta perihal keyakinan dua ilmuwan tersohor di dunia pada Tuhan, atau mungkin juga ingin menyindir statusku sebagai seorang ateis yang bahkan bukan siapa-siapa di dunia sains.

Lalu dalam ketermenunganku, tiba-tiba wajah Blaise Pascal muncul dalam ruang memoriku beserta kata-katanya yang dahulu kubaca dalam sebuah buku perihal taruhan akan eksistensi Tuhan. Bahwa jika keberadaan Tuhan tidak dapat dipercaya, maka seseorang harus bertaruh bahwa Tuhan itu ada, karena toh kita tidak akan rugi dan kehilangan apapun jika kita hidup sesuai dengan perintah-Nya.

Dahulu kata-katanya tersebut kuanggap begitu konyol, bahkan sekarang pun aku masih sedikit menyangsikan. Sayangnya buku tersebut terbit secara anumerta, sehingga aku tak mungkin bisa mendebat ilmuwan matematika tersebut. Namun biar begitu, sekali lagi kupandangi sanctuary. Lantas berusaha untuk menampilkan seulas senyum kemudian kembali memejam mata dan menautkan jemari. 

Jika saat ini aku belum cukup pantas untuk bisa berdoa secara langsung, maka aku akan menitip doaku pada Pascal agar menyampaikannya pada Tuhan. (*)

 

Esa Nara. Seorang pencipta fiksi yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta secara konkret. 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply