Etika dan Agama dalam 99 Cahaya di Langit Eropa 2 yang Membuat Jatuh Cinta
Oleh: Evamuzy
“Hagia Sophia dibangun sekitar 8 abad yang lalu sebagai katedral. Namun, setelah Sultan Ahmed II berkuasa di Turki, Hagia Sophia beralih menjadi masjid dengan dibangunnya menara-menara menarets yang menjulang tinggi ke angkasa. Kini, Hagia Sophia dijadikan museum oleh pemerintah Turki. Museum istimewa. Karena dia satu-satunya museum di dunia yang menjadi saksi bahwa simbol-simbol agama yang berbeda bisa berdampingan mesra di satu rumah ibadah.”
Ini adalah potongan dialog yang disampaikan oleh tokoh Fatma (Raline Shah) dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa 2 hasil tangan sutradara Guntur Soeharjanto yang tayang tahun 2014 lalu. Film penuh pesan yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karangan pasangan penulis muda Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendra. Terinspirasi dari kisah nyata penulisnya sendiri. Bercerita tentang perjuangan seorang istri saat menemani sang suami mengambil gelar S3 di sebuah universitas internasional di Jerman selama tiga tahun. Lalu, membawa Hanum, nama tokoh sekaligus penulisnya yang diperankan apik oleh aktris cantik Acha Septriasa dibawa untuk menapaki jejak sejarah Islam di benua biru ditemani sang suami, Rangga Almahendra yang diperankan oleh aktor Abymana Aryasatya. Sang suami juga tak kalah membuat decak kagum penonton (termasuk saya). Sikap dewasa dan bijaksananya mampu menebar pesan baik bahwa Islam adalah agama rahmatalil alamin, yang membawa cinta dan kasih sayang kepada seluruh manusia di bumi. Islam tidak mengekang dan Islam memiliki larangan yang amat beralasan. Islam yang penuh cinta kasih.
Ah, membahas film satu ini bagi saya memang tak akan ada habisnya. Ada banyak adegan yang membuat senyum muncul, serta kebanggaan menjadi seorang muslim. Sampai-sampai, saya sendiri bingung akan menceritakan bagian mana yang penting dan indah. Kenapa? Sebab saking banyaknya. Setiap bagian ceritanya menggetarkan hati, melahirkan syukur dan bangga. (Ini subjektif sekali, ya. Ah, biarlah.)
Seperti saat kita kembali kepada dialog di awal. Dia adalah dialog yang diterangkan oleh perempuan bernama Fatma. Seorang perempuan berdarah Turki yang ditemui Hanum di kelas les bahasa Jerman. Perempuan berhijab yang menunjukkan kebesaran Islam kepada Hanum. Seperti saat menerangkan sebuah tempat kali ini. Hagia Sophia. Sebuah katedral yang berubah menjadi masjid, lalu kemudian berubah kembali menjadi sebuah museum istimewa dengan keindahan berupa simbol-simbol di dalamnya: lafaz Allah dan Muhammad berdampingan dengan gambar Bunda Maria dalam satu sudut yang sama. Indah, bukan? Bukan untuk menyamakan Tuhan, melainkan bukti bahwa perbedaan agama tak menghalangi manusia hidup berdampingan. Serta bukti nyata bahwa Islam penuh cinta, kasih, sayang dan ilmu pengetahuan serta menerima perbedaan yang ada.
Membicarakan Fatma, mengingatkan saya pada gadis kecilnya di cerita ini yang bernama Ayse. Gadis cantik dan periang yang harus menyusul almarhum sang ayah di usia yang teramat muda. Gadis kecil berhijab itu terkena kanker otak stadium akhir. Kisah hidupnya tak lepas dari mata Hanum, meski keduanya–Fatma dan Ayse–menutup rapat-rapat darinya. Dan perjalanan panjang Hanum mencari keduanya setelah kehilangan kontak, berujung dengan adegan di samping tanah pusara Ayse. Ayse yang menitipkan sebuah kerudung merah sebagai wasiat terakhir untuk Hanum.
Kisah ini juga tak lepas dari romansa. Kepercayaan, kesetiaan dan cemburu. Saat Rangga dituntut bersikap profesional dalam bersosialisasi dengan rekan sesama mahasiswa, lalu datanglah seorang gadis cantik bernama Maarja (VJ Marissa) yang terang-terangan menyukainya. Selalu menanyakan keberadaan dirinya kepada sahabat-sahabat Rangga, meminta tolong urusan kuliah sampai mengajaknya pergi ke pesta dansa. Wow! Lalu Hanum? Jelas dia tahu. Suaminya adalah orang yang terbukti jujur. Namun keduanya sadar hidup di mana. Negara yang menjunjung tinggi kebebasan. Lalu, bagaimana keduanya menyikapi ini? Silakan tonton filmnya.
Lalu, menceritakan tentang sahabat Rangga di kampusnya, mengingatkanku kepada Stephen (Nino Fernandez). Pria Eropa yang menjunjung tinggi kebebasan hidup. Seorang ateis. Greget sebenarnya jika membahas tentang tokoh ini. Bagaimana tidak, dia hobi sekali memberondongkan Rangga dengan pertanyaan-pertanyaan yang kurang penting tentang Islam. Konyol. Tentang kenapa Tuhan (dalam Islam) suka sekali merepotkan manusianya? Harus susah payah salat sampai lima kali sehari, tidak makan seharian (puasa) dan saling berhimpitan di sekitar Ka’bah. Atau pertanyaan yang ditunjukkan langsung kepada Rangga, di mana letak Tuhannya? Namun, Bukan Rangga jika tak punya jawaban baik dan diplomatis.
“Minum?” Stephen menyodorkan kaleng kecil berisi wine. Mendatangi Rangga yang terlihat kedinginan di teras kampus. Jerman sedang pada suhu terendah.
“No, thanks,” tolak Rangga sopan.
“Nggak boleh minum alkohol? Dosa?!” tanya Stephen sedikit mengejeknya. Rangga hanya tersenyum biasa. Tak terpengaruh sama sekali. “Di semua negara Eropa air lebih mahal daripada wine. Para gelandangan saja minum alkohol untuk menghangatkan badan mereka agar tidak mati. Jadi, daripada kau mati lebih baik berdosa.” Stephen kembali menyodorkan minumannya.
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum biasa. “No, it’s okey. Daripada saya mati berlinang dosa, lebih baik saya tidak minum alkohol,” tolaknya lagi.
“Jadi, semua orang yang minum alkohol akan masuk neraka? Setan dimasukan ke neraka karena punya masalah dengan Tuhanmu?” Pertanyaan aneh Stephen berhasil membuat Rangga semakin tersenyum manis. Dia hanya mengangguk mengiyakan.
“Setan dari api, neraka juga isinya api.” Stephen melanjutkan celotehnya. Rangga lagi-lagi hanya mengiyakan. “Jadi, it’s okey. Setan joget-joget di neraka sambil minum wine,” imbuhnya sambil menirukan gaya setan berjoget sambil pegang kaleng alkohol.
“Sini tangannya,” pinta Rangga. Stephen menurut. Memberikan tangan kanannya. Rangga kemudian menepuk tangan Stephen pelan.
“Sakit?”
“Nggak.” Stephen meremehkan tepukan tangan Rangga di punggung tangannya. Lalu, tepukan tangan kedua datang, yang kini lebih seperti pukulan.
“Aw!” Stephen menarik tangannya yang sedikit memerah.
“Sakit?” Rangga memastikan. Stephen mengiyakan. “Tangan ketemu tangan,” imbuh Rangga sambil menunjuk tangannya sendiri dan tangan Stephen.
“Api ketemu api. Panas.” Stephen mencoba menyimpulkan.
Rangga mengangguk. “Analogi sederhana.”
Hmm … bagian ini berhasil membuat saya senyum-senyum. Pintar, pintar.
Dan … inilah tokoh favorit saya di kisah ini. He is Curry Man. Curry Man? Pria Kari? Yuhu! Teman-temannya di kampus memanggilnya demikian. Ini ulah Stephen sebenarnya. Dia terlibat permusuhan dengan Pria Kari ini ketika berebut microwave di dapur ruang belajar mereka. Stephen membenci bau bumbu kari yang menurutnya membuat perut mual setiap kali si Pria Kari memanaskan masakan favoritnya itu. Sebenarnya bukan makanan favorit, hanya saja untuk mahasiswa dengan uang pas-pasan, kari adalah makanan paling murah dan mudah didapat.
Sementara si Pria Kari tak terima saat Stephen memasukan makanan olahan babi ke dalam microwave, pahadal dia tahu bahwa makanan tersebut haram bagi Pria Kari itu. Si Pria Kari sudah mencoba untuk tak terpancing sebenarnya. Dia memilih mengalah dengan membersihkan microwave bekas Stephen memasukan olahan babi. Hingga kemudian dia tak lagi bisa menahan amarah ketika dengan seenaknya Stephen membuang karinya ke tempat sampah. Kadar emosiku bertambah di bagian ini.
Curry Man atau Khan yang diperankan oleh aktor Alex Abbad adalah pria berkewarganegaraan Pakistan. Dia menyebut negaranya adalah negara ranjau. Ayahnya sendiri tewas saat serangan bom menimpa distrik tempat tinggalnya. Khan, pria yang memiliki kekokohan hati dan pendirian. Tidak mudah tergoyahkan imannya. Bahkan ketika dia bersama Rangga dihadapkan pada pilihan: salat Jumat atau ujian yang menentukan kelulusan di waktu yang bersamaan.
Bagaimana? Penasaran dengan kisah Hanum, Rangga, Fatma, Ayse, Maarje, Stephen dan Curry Man atau Khan? Silakan masukkan film ini pada list film yang akan Anda tonton. Atau Anda sudah lama menamatkan kisahnya? Kalau begitu, pasti Anda setuju dengan ulasan saya bahwa film ini punya cerita yang menarik. (*)
Evamuzy, penulis yang masih amatir. Penulis dari kisah seorang gadis biasa-biasa saja bersama tunggangan kesayangannya yang berjudul: Di Atas Roda si Silver.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata