Enam Perspektif Tentang Pohon Apel

Enam Perspektif Tentang Pohon Apel

Enam Perspektif Tentang Pohon Apel

Suatu hari—barangkali kau sedang berjalan-jalan di suatu tempat—tanpa kau sadari ada sebatang pohon apel yang dahannya menjuntai keluar dari pagar sebuah rumah dan kepalamu menubruknya, tepat ketika matamu terpaku kepada seorang gadis yang  menurutmu sangat … tipemu.

Ia tidak cantik, penampilannya mungkin biasa menurut orang lain, tetapi luar biasa bagimu. Kau telah lama memimpikan wanita seperti itu untuk kau jadikan pendamping. Pada hari berikutnya, kau membenturkan kepalamu dengan sengaja ke dahan yang sama untuk mengenang gadis yang mencuri hatimu itu. Gadis berbaju kurung yang tampak begitu biasa-biasa saja. Tanpa sepatu berhak tinggi. Tanpa perhiasan yang bling-blingnya menyilaukan mata.

Tahun-tahun setelahnya, kau gampang murung setiap melihat buah apel yang berbaris di pasar, dan dengan susah payah kau menolak hasratmu untuk kembali ke sebuah tempat di mana kau membenturkan kepalamu dengan sengaja ke sebatang pohon apel. Sejujurnya kau mulai ragu, apakah gadis yang kau lihat pada hari itu benar-benar ada atau hanya halusinasimu.

Sesungguhnya kau melupakan fakta yang lain, bahwa sebuah pohon apel yang tidak mau lari dari pikiranmu itu adalah bagian dari sebuah kebun dan bagi pemiliknya, apel-apel yang membuatmu bersedih itu adalah harapan bagi dapurnya untuk mengepul setiap pagi. Ketika ia melihatnya, ia terbayang beras, telur, dan ikan bakar pesanan anak perempuannya yang berusia lima tahun. Apel-apel itu juga menjadi harapan untuk membelikan seragam sekolah baru untuk ketiga anaknya yang hendak masuk SD, SMP dan SMA. Sementara kau terus saja memandang ke ujung jalan dan membentur-benturkan kepalamu ke dahan pohon apel.

Pada lain hari, seseorang keluar dari rumah dan berhenti sesaat di bawah pohon apel itu dan mengenang hari-hari di kala sang ayah dan ia yang berumur sepuluh tahun membawa pulang bibit. Ayahnya baru saja wafat seminggu yang lalu. Di sana ia berbisik, “Ayah, kita berhasil.” Perasaannya bercampuraduk antara sedih dan bangga. Baginya, apel adalah kenangan.

Pada hari lain, seorang anak kecil kebetulan lewat di sana sepulang sekolah. Ketika melihat pohon apel itu, ia teringat kepada Newton, seorng ilmuwan yang baru saja diceritakan guru IPA-nya di sekolah. Sambil membayangkan Newton yang duduk di bawah pohon apel sambil memikirkan teori gravitasi, ia bertanya-tanya, apa kira-kira yang akan melintas di pikirannya jika ia yang duduk di bawah pohon apel itu. Ia pun berencana untuk duduk di sana esok.

Sementara di belahan dunia yang lain, seorang fotografer buta hendak memfoto apel yang ada di sana. Ia menganggap warna sebagai aroma; Merah sama dengan harum. Ia menganggap cantik sebagai tekstur; Cantik sama dengan licin dan utuh. Sebelum ia menjepretkan kameranya, apel tersebut hanyalah objek. Ia diperhatikan dan diperlakukan bak seorang putri. Setelah apel itu menjadi gambar di lembaran kertas foto, ia dikenang sebagai nilai.

Dan ketika foto apel itu—dengan cara tertentu—sampai pada seseorang, mungkin yang terlintas di benaknya tak lebih dari pertanyaan ringan saja:

“Ok, itu apel. Lalu?”(*)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita