Empat Pemuda Kaya
Oleh : Dyah Diputri
Empat pemuda bertemu ketika asar di sebuah masjid. Setelah menunaikan salat Asar pada hari kesepuluh puasa itu, mereka duduk di teras masjid. Mereka bercengkerama menghabiskan waktu sembari menunggu beduk magrib tiba.
Salah satu pemuda adalah anak seorang politikus di kota tersebut. Dilihat dari penampilannya, ia tak kurang suatu apa dalam kehidupannya. Baju koko bagus dan trendi, wajah bersih terawat, dan datang ke masjid dengan mengendarai mobil pemberian ayahnya. Padahal, usianya sebaya dengan ketiga temannya, masih enam belas tahun.
Di sebelahnya adalah anak seorang pedagang mutiara. Meski penampilannya tak lebih modis dari pemuda pertama, tetapi tasbih di tangannya yang tak henti ia gulir terbentuk dari roncean mutiara hitam asli. Lelaki itu memiliki kumis tipis yang menghiasi wajah sawo matangnya. Ia datang ke masjid dengan mengendarai motor gede.
Pemuda ketiga ialah anak seorang dokter. Bahkan, ia pun mengikuti jejak sang ayah dengan mengambil jurusan ilmu kedokteran pada usianya yang masih muda. Ia hanya menghabiskan waktu sembilan tahun di tingkat SD, SMP, dan SMA. Jadi, sudah setahun ini ia kuliah. Tutur bahasanya juga terkesan intelek, tidak seperti pemuda pertama dan kedua yang berapi-api.
“Kenapa kalian sholat di masjid ini?” tanya pemuda keempat memulai obrolan.
Pemuda pertama menjawab, “Karena di rumahku sedang ada pertemuan rahasia para pejabat. Kebanyakan mereka tidak berpuasa, atau berpura-pura puasa saja. Saat mamaku menyajikan banyak makanan di ruangan kerja Papa, kulihat sekilas mereka makan dengan lahap. Padahal baru pukul dua belas.”
“Mungkin mereka memang puasa setengah hari,” sambung pemuda kedua. Lalu, ia tertawa.
“Terkadang aku heran dengan mereka. Mereka serius membahas banyak hal dan program, tetapi ujung-ujungnya berdebat mengenai pembagian hasil. Kebiasaan, belum bekerja, sudah mikir duit.”
“Bagaimanapun ia ayahmu!” sergah pemuda ketiga. Ia pun tertawa bersusul-susulan dengan pemuda kedua.
Pemuda keempat hanya memandang dengan senyum tipis, lalu ia melanjutkan tanya kepada pemuda kedua. “Kalau kamu, kenapa sholat di masjid ini? Apa di rumahmu juga ada rapat?”
Pemuda kedua menggeleng. Tangannya masih menggulir butiran tasbih. Entah, apa ia benar berzikir atau tidak, sebab sejak beberapa menit yang lalu ia sibuk tertawa. Pemuda itu lantas berujar, “Aku hanya memantau itu … itu!” Ia menunjuk ke seberang sana. “Anak buah ayahku diutus untuk membuka lapak di area bazar takjil.”
“Berjualan mutiara? Mutiaranya bisa dimakan? Berpengaruh ke kesehatan tidak?” Pemuda ketiga yang penasaran itu mencecar pertanyaan.
Tentu saja pertanyaan konyol itu membuat pemuda pertama tertawa. “Kalau mutiaranya bisa dimakan dan bikin awet muda, akan kubeli semuanya. Aku rela batal puasa untuk menelannya bulat-bulat!” Tawanya terdengar semakin kencang.
“Akan kuborong juga sisa dagangannya selama sebulan untuk kujadikan bahan penelitian,” sambung si anak dokter dengan pongahnya.
“Hei, hei, jangan salah pahamlah! Tentu saja ia berjualan takjil. Aku memantaunya, karena sebenarnya ia bukan pegawai yang jujur. Aku pernah memergokinya menyimpan sortiran mutiara untuk dijualnya sendiri. Saat kuancam akan kulaporkan kepada ayahku, dia bilang itu sudah diberikan gratis kepada pegawai. Sialnya, dia benar! Jadi aku yang dimarah-marahi ayahku.”
“Lalu, di bagian mananya dia bukan pegawai yang jujur?” tanya pemuda pertama.
“Ya, dari wajahnya sudah terlihat itu! Orang miskin tampang pencuri, tidak sulit ditandai, Kawan!” ucapnya yakin. Sejenak jemarinya berhenti menggulir butiran tasbih.
“Sudah, sudah. Sekarang giliran kamu,” tunjuk pemuda keempat kepada pemuda ketiga. “Kenapa seorang calon dokter mau berjauh-jauh sholat di masjid kecil seperti ini?”
“Ya … anggap saja aku sedang melakukan penelitian kesehatan kalian. Gimana keadaan kalian setelah berpuasa sepuluh hari ini? Sudah turun berat badan, atau malah naik? Sakit mag sering kambuh, atau malah mereda? Apakah ngabuburit dengan cara mengobrol seperti ini bisa mengurangi rasa lapar, atau malah bikin keroncongan?”
Mereka tertawa bersamaan. “Kenapa tidak kamu teliti sekalian, apakah di masjid ini ada malaikatnya atau tidak?” kata pemuda kedua, disambut tawa menggema yang lainnya.
Hari semakin sore. Di tengah obrolan itu, pemuda keempat pamit masuk ke masjid untuk membunyikan tilawah Al-Qur’an dari MP3 yang kabelnya tersambung ke toa. Sudah menjelang magrib, ia juga harus mengambil wudu untuk nantinya mengumandangkan azan. Namun sebelumnya, ia membantu-bantu takmir masjid lain yang tengah menata kiriman takjil untuk nanti dibagikan kepada jemaah masjid. Sementara ketiga pemuda yang lain tampak pergi meninggalkan masjid. Kalau si pemuda keempat tak salah dengar tadi, mereka berencana mencari restoran untuk buka bersama.
Di tengah perjalanan ketiga pemuda kaya tersebut, mereka kembali mengobrol. Dimulai dari tawa kecil si pemuda pertama. Katanya, “Menurutmu, kenapa anak tadi tidak mau ikut kita berbuka bersama?”
“Karena ia tidak bisa meninggalkan masjidnya. Di sana ada takjil gratis. Atau mungkin ia tidak punya uang lebih untuk makan di restoran.” Pemuda kedua menambahkan.
“Atau ia tidak bisa makan-makanan internasional. Mungkin ia mendengar keluhanku yang ingin makan fettucini malam ini.” Pemuda ketiga tak kalah memberi pengandaian.
“Kalian salah! Jawabannya adalah … karena ia merasa tidak selevel. Sialnya, kenapa masih menjadi teman kita sampai saat ini,” gerutu pemuda pertama.
Mereka terus bicara dan membicarakan pemuda keempat hingga waktu berbuka puasa tiba. Sementara itu, si pemuda keempat yang telinganya seakan-akan berdenging disertai perasaan tidak nyaman, berusaha membersihkan hati. Dengan mengucap basmalah, ia mengumandangkan azan, memakan segelas plastik kolak gratis buatan ibunya, lalu menyilakan bapaknya memasuki mimbar imam.
Dalam hati si pemuda keempat anak pemilik masjid itu berkata, Masya Allah. Sesungguhnya aku yakin Allah menaikkan derajat keluargaku yang telah memelihara rumah-Mu, menyucikan hatiku sebab aku telah berusaha menjaga lisan selama berpuasa sehari ini. Sesungguhnya Allah pun Mahatahu, bahwa aku lebih kaya dari mereka. Insya Allah.
Malang, 22 April 2021
Dyah Diputri. Pencinta diksi yang tak sempurna.
Editor : Lily