Empat Gigi Sulung, Anak Sulungku
Oleh: Pupud Tatifa
Aku hitung sudah genap 20, lengkap sudah satu set gigi susu anak sulungku–Damar. Sebagai ibunya, aku bangga. Pencapaian anakku, tentu tidak lepas dari perjuanganku yang sehari-hari mengasuh Damar tanpa asisten. Aku ingat betul, bagaimana demam dan rewelnya dia ketika pertama kali mengalami teething. Erupsi gigi, membuat gusinya bengkak, memerah dan badannya demam. Semua itu, dia ekspresikan dengan rengekan, air mata dan cengkraman tangan yang tak mau lepas dari pelukanku.
Ibu mana yang tidak nelangsa, saat melihat wajah sendu anak dipelukan? Rumah rapi, tapi hati pilu. Tiba-tiba, aku rindu segala keruwetan yang dia ciptakan. “Damar sembuh, ya, nggak apa-apa kok main berantak-berantak lagi,” bisikku padanya yang sudah terlelap, usai tiga jam menangis. Aku kecup keningnya pelan, kubisikkan doa, Robbi habli minassholihin, lalu kutiup ke ubun-ubunnya dan kuseka rambut depannya yang berkeringat.
Syukurlah, keesokan pagi, Damar sudah kembali ceria dan mengobrak-ngabrik mainannya. Aku yang biasanya langsung mengomel, lebih santai menemaninya sambil tersenyum. Ternyata begini, kenikmatan menjadi ibu. Rumah rapi, anak sakit, itu benar-benar menegangkan bagi seorang Ibu Baru.
Ketika dia tertawa lepas, tampak dua garis putih muncul dari gusinya yang kemarin memerah. Dua gigi seri atas, menjadi gigi perdananya. Biasanya dua gigi seri bawah lebih dulu tumbuh, namun ini gigi seri atas. Enggak apalah, yang penting sehat. Karena nafsu makannya belum kembali seperti sedia kala, kubiarkan dia sering-sering menyusu meski aku sedang hamil dua bulan.
Tidak mudah memang menjalani Nursing While Pregnant. Tetapi aku yakin, jika Tuhan sudah menakdirkan, berarti aku mampu menjalaninya. Meski, banyak yang berkomentar, “Kok gitu sih, kasihan bayinya, bla bla bla.”
Mereka tidak tahu, jika jauh di dalam hatiku, bukan hanya kecamuk kasihan, rasa di jiwaku lebih dari itu. Kekhawatiranku lebih besar dari beratnya mendengar kalimat-kalimat mereka. Tetapi, aku tidak boleh tenggelam dalam kebaperan, lebih baik aku memperjuangkan tiga nyawa ini.
**
Tepat di usia Damar satu tahun, aku mengkhitannya, dan kehebohan pun terjadi, “Ini nanti gimana kalo dia lihat itunya beda sama teman sebayanya?” Dan masih banyak lagi kalimat yang memekakan telingaku.
Lah, emang main sama teman pakai acara saling nunjukin “itunya”? Itu cuma kalimat yang kulontarkan dalam hati. Aku memilih hanya memberi senyum, dari pada menjawab pertanyaan mereka. Tak perlu kujelaskan, seberapa berpikir kerasnya aku dan suami sebelum memutuskan mengkhitan Damar. Browsang-browsing, tanya ke banyak orang yang sudah mengalami, konsultasi ke beberapa tenaga kesehatan dan Ustadz. Bahkan memilih tempat khitannya pun, penuh dengan pertimbangan matang.
Di sinilah kuambil hikmah, bahwa mengomentari hidup orang itu tidaklah penting, apalagi tidak diminta. Mending diganti doa. Maafkan aku, ya, Rabb, yang dulunya memang suka bicara nyablak. Dari pengalaman hidup, aku belajar tentang kehidupan dan menahan ucapan. Apalagi lebih sedihnya, jika kalimat tak mengenakkan, datang dari cyrcle terdekat.
Let’s move on, mending aku berjuang merawat luka khitan Damar. Luka yang ketika sudah kering, kembali basah karena tanpa sepengetahuanku, dia menuju kran dan main air. Akhirnya, aku memandikannya di sling cucian piring agar tidak terlalu ekspresif. Posisinya yang tinggi, sukses memaksa dia berhati-hati. Aku pun lebih nyaman, dengan kondisi perut yang mulai membesar.
Demi kesembuhan Damar, untuk sementara dia tidak memakai diaper. Jadilah dia ngompol dan pup sembarangan. Dan masih ditambah acara mogok gosok gigi selama dua pekan lebih. Akibatnya, muncul sedikit goresan karies kuning di empat gigi seri atasnya.
“Wah, sikat gigi barunya ada gambar jerapah. Lucu,” rayuan gombal yang kesekian kalinya kulontarkan, demi dia mau gosok gigi.
Daaan berhasil! Dia kembali mau kubantu gosok gigi. Lega hatiku, melihat penampakan kuning-kuning di gigi, bisa aku rontokkan. Untung masih berupa jigong tebel, belum melukai email giginya. Dalam waktu lima pekan, urusan drama khitan pun beres. Luka mengering dan gigi kembali putih. Aku bisa kembali fokus pada kehamilanku yang memasuki bulan ke tujuh.
**
Dua pekan pertama usai melahirkan, Damar kutitipkan pada ibuku. Titip segala-galanya, termasuk tidur, mandi, makan, dan semuanya full dengan neneknya. Kondisiku yang masih belum pulih setelah lahiran dengan bayi kedua, tidak mungkin menghandle semuanya dengan detail. Ternyata, dua pekan, dia kembali mogok gosok gigi. Kali ini, kondisi empat gigi serinya benar-benar karies, kuning dan emailnya tergores.
Tapi bukan saatnya menyesali keadaan. Aku tetap harus berterima kasih pada ibu yang sudah membantu mengasuh Damar. Kalau tidak, bisa dibayangkan susahnya hari-hariku mengurus dua bayi dalam kondisi baru melahirkan. Bisa jadi, bukan hanya syndrome post partum, aku bakal kena baby blues. Demi kewarasan, masih banyak hal yang bisa kusyukuri, daripada fokus pada satu kesedihan. Meski adalah PR besar, memperjuangkan 4 gigi Damar yang terancam gigis, istilah bahasa Jawanya.
Mau bagaimana pun juga, gigi susu memang lebih rapuh karena akan tergantikan gigi dewasa. Namun, kerapuhan yang patut dirawat dan diperjuangkan, itulah gigi susu. Pernah suatu ketika, anak temanku ditabrak motor dengan kejadian yang sangat tiba-tiba dan cepat. Terseret dalam posisi tengkurep, mukanya mencium aspal dan langsung dibawa ke IGD terdekat untuk mendapat pertolongan.
Ternyata, selain mendapat penanganan luka dari dokter umum. Anak ini juga harus mendapat penanganan dari dokter gigi karena ada giginya yang patah. Malam itu juga, dokter meminta orang tuanya untuk mencari patahan giginya guna disambung kembali.
Itulah salah satu pengalaman, yang membuatku berjuang untuk 4 gigi anak sulungku. Jika tidak bisa dikembalikan seperti sedia kala, minimal bisa dipertahankan. Aku ajak dia gosok gigi setiap mandi dan sebelum tidur, juga kuberi makanan dengan tekstur yang bervariasi untuk merangsang pertumbuhan gigi dan rahang yang lebih baik dan kuat. Damar dan adiknya pun, tumbuh besar dan ceria.
Empat gigi seri Damar, masih bertahan hingga sekarang–usia 3 tahun 9 bulan. Meski sudah mulai berkarat dan keropos. Namun, keempatnya masih kokoh menempel di gusi. Patut diacungi jempol perjuangan ini, aku dan Damar yang begitu kooperatif.
“Dek, kalau nggak gosok gigi, giginya nanti yusak lho. Kalo yusak, bisa ompong lho. Ini gigi Kakak gini, soalnya dulu nggak mau gosok gigi,” ucap Damar sambil meringis, menunjukkan 4 giginya yang berkarat itu.
Damar bergitu paham pada diri sendiri. Bahkan bisa menasihati adiknya, menggunakan kalimat yang persis dengan kalimat yang aku sampaikannya. Soundingku untuk membesarkan hatinya, agaknya bisa dia terima dengan baik.
“Wah, giginya Damar ompong yang depan! Hahaha.” Seketika Damar berlari ke kamar dan menangis.
Celoteh di video call itu, terdengar jelas meski aku sedang sibuk mencuci di dapur. Kali ini aku tidak bisa memberikan pembelaan pada Damar, karena aku sedang tidak disampingnya. Pembelaan yang biasa aku berikan, seketika ada yang melontarkan kalimat yang mereka sebut itu kudangan, tetapi sebenarnya hanya sebuah kalimat miskin manfaat alias ledekan.
Hatinya memang selembut itu. Bahkan, aku bicara dengan nada lebih keras dari biasanya saja, dia sedih, apa lagi diledek seperti itu. Kutinggalkan cucian piring dan kupeluk Damarku, erat. Dia terisak, tanpa sepatah kata, tubuhnya makin erat memelukku. Anak 3 tahun, tentu tak banyak kata yang bisa dia rangkai, tetapi semuanya terbaca melalui matanya.
“Kenapa? Kakak sedih?” kataku lirih dan dia hanya mengangguk.
“Sedih kenapa? Cerita sama Bunda.” Bukannya menjawab, tangisannya malah tumpah.
“Uuuh, anak Bunda sedih. Sini Bunda peluk, biar nanti kalo sudah tenang, bisa cerita.” Suara tangisnya makin menjadi dan dia memperbaiki pelukannya lebih erat lagi seolah mengharap pertolongan untuk menyembuhkan hatinya.
Selang sepuluh menit, tangisannya mulai mereda. Aku mengambil celah untuk kembali bicara padanya. Aku memang tidak bisa mengembalikan 4 giginya yang berkarat, namun aku yakin bisa mengobati hatinya yang sedang terluka.
“Bun, Bun, Bunda …, a a a aku nggak ommm poong. I i i ini gi gi gi giku masih a a ada,” serunya di antara isak tangis.
“Iya, giginya Kakak Damar masih ada. Cuma rusak dikit yang 4 depan atas, soalnya dulu pernah nggak mau gosok gigi. Tapi, sekalang kan sudah nulut gosok giginya. Sudah yaaajiiin. Sudah ngajarin Dedek juga.” Aku gunakan nada kekanakan, berharap dia melupakan sedihnya dan merasa aku paham apa yang dia rasakan.
Aku hentikan kalimatku, menunggu isak tangisnya mereda. Aku tetap memeluknya. Ini golden moment, harus dimanfaatkan dengan baik untuk memberi asupan penguatan mental yang baik.
“Iiini, giginya Kakak sama giginya Dedek, namanya gigi susu. Nanti, kalo Kakak udah gede lagi, kita-kira 6 tahun, giginya ganti baru lagi. Gigi yang ini nanti lepas. Terus tumbuh deh, gigi baru, yang lebih putih, lebih kuat, dan lebih besar. Kayak gigi ayah bunda.” Aku tunjukkan gigi seri Damar di depan kaca, mencoba menyakinkannya dengan nada penuh semangat.
“Nanti yang coklat ini, lepas?” tanyanya penasaran.
“Iya. Ganti gigi baru. Teruuus, nanti kalo ada yang bilang lagi gigi Kakak ompong, bilang Bunda ya, siapa yang bilang. Terus, bilang ke orangnya, kalo gigi Damar nggak ompong, gigi Damar cuma rusak dikit. Damar juga rajin gosok gigi pas mandi dan mau bobok. Bilang gitu ya.” Sambil kukepalkan tanganku, menggenggam tangannya agar hatinya ikut kugenggam.
“Gigi Damal, nggak om-ompong, Kek. Gigi Damal, cuma yusak ditit. Damal juga yajin gosok gigi. Gitu ya Bun, bilangnya?” Damar menatapku lekat.
“Betul!” aku acungkan jempol kananku dan kusunggingkan senyum ceriaku.
Dia terluka, bukan cuma karena kalimatnya. Dia terluka karena yang mengucapkan adalah kakeknya sendiri.(*)
Pupud Tatifa
Seorang ibu dengan dua anak, yang sedang belajar mengekspresikan isi otaknya dengan menulis dan mencoba berbagi melalui tulisan, agar lebih bermanfaat.
Editor: Lutfi Rosidah
Link gambar: https://pin.it/4sGIxWh