Emerald
Oleh : Ridwan Hasan Pantu
“Apa lagi yang kau harapkan di sana, Nak? Pulang saja. Sekolah di kampung butuh pendidik. Kau bisa gunakan ilmumu di sini.” Masih jelas teringat ucapan Mamak di telepon waktu itu. Bagai air sejuk penawar dahaga. Namun, aku masih mengharapkan air kehidupan kota. Walau keruh. Entah mengapa.
“Saya tidak mau di kampung, Mak. Pokoknya tidak,” ucapku terpaksa. Aku tahu, aku telah membuat kecewa hati Mamak.
Aku melangkah lalu berdiri di depan bingkai jendela kamar kos. Mataku menikmati teater kehidupan kota. Mendengar bising laju roda-roda. Menghirup dalam-dalam polusinya.
“Tante Rahima sudah terangkat jadi kepala sekolah. Dia menawari kau mengajar di sekolahnya. Uang satu juta sudah beliau kirim untuk ongkos perjalananmu kemari. Jangan kau kecewakan dia. Kau sudah dia anggap seperti darah dagingnya sendiri.” Kata-kata Mamak bagai isi surat perintah Yang Dipertuan Agung. Tak elok rasanya menolak.
Ada kalanya putar haluan bukan berarti menyerah, namun menemukan impian baru. Impian yang kusemat dalam kantong harapan. Harapan yang menggandeng tanganku hingga ke sini. Di atas kapal pelayaran—milik perusahaan pemerintah—yang dibangun di galangan kapal Jos L. Meyer, Papenburg, Jerman, 21 tahun yang lalu. “Tilongkabila” terpampang di badan kapal. Kapal yang mengantarku menuju kehidupan baru.
Aku melangkah menyusuri tangga logam dingin bercat putih yang mengarahkanku ke atas. Beberapa sekoci tergantung di samping kapal saat aku menjejakkan kaki di geladak. Arus udara semakin kuat menerpa tubuh, mendorong tubuh ringanku ke sana kemari. Langkahku tersaruk seirama tiupannya, seolah mengajak berdansa. Mengacak-acak rambutku. Aku tersudut di palang pembatas kapal, mencengkeram kuat salah satu besinya. Aku menoleh ke samping. Ternyata seorang gadis juga tak luput dari keisengan angin laut. Namun dia bergeming. Gadis itu lebih tenang daripada aku.
Aroma laut semakin terasa tone-nya kala senja telah berada di pengujung. Panggilan azan yang melantun di HP menutup tirai senja. Aku beranjak untuk menunaikannya. Dengan tergesa aku melangkah menuju tangga tepat di samping gadis itu bersandar. “Permisi,” kataku saat berpapasan dengannya. Gadis itu sedikit menghalangi jalan. Dia menatapku. Ada yang aneh terlihat di wajahnya. Bukan senyumnya, namun matanya. Iya, kedua bola matanya tidak seperti ras Asia pada umumnya. Sedikit berwarna hijau. Aku memandangnya hingga berlalu.
“Kasihan sekali ibu itu. Barangnya hilang semua. Cuma baju di badan yang tersisa.” Aku mencuri dengar percakapan dua orang di sebelahku saat merebahkan tubuh di matras busa biru yang sudah tidak empuk. Dua lembar baju untuk menopang kepalaku, sebuah tas ransel tersandar di sampingku, dan sebuah gitar yang tidur di dalam sarungnya. Tempat yang cukup layak bagiku.
Tempat penumpang pemegang karcis kasta ekonomi. Tempat isitrahat penumpang tanpa sekat. Berbaur bersama hingga terasa dekat. Dari dengkuran yang seirama suara mesin, hingga lengkingan tangis bayi kami maklumi.
Aku bangkit lalu menoleh ke arah ibu malang itu. “Kenapa bisa hilang, Pak?” tanyaku kepada bapak paruh baya—yang masih terlihat segar—yang duduk di sampingku. Jaket parasut kukenakan saat dingin mengelus permukaan kulit.
“Katanya dia seperti linglung, tidak tahu kenapa barangnya dia berikan sama orang yang tidak dia kenal,” jawabnya lalu menyesap kopi hitam yang sedari tadi di genggamannya.
Aku merenung meresapi musibah yang menimpa ibu malang itu. Lalu perlahan terlelap.
Suara terompet kapal membahana memenuhi udara di atas laut yang tenang. Kapal berbobot masif ini berhenti lalu merapat mencumbu dermaga di sebuah pulau penghasil aspal di tenggara Sulawesi. Waktu baru menunjukkan pukul delapan pagi namun suhu terasa sedikit panas. Saat transit seperti ini, kehidupan seolah dimulai kembali.
Sebagian penumpang turun membeli keperluan perjalanan atau buah tangan. Sekadar mengganti suasana, atau sekadar menjejak tanah agar tak lupa. Namun aku enggan mengikuti mereka. Aku masih berdiri menantang terpaan angin di anjungan. Tak bosan memandang takjub laut di permukaan. Riak lembutnya seolah memiliki perasaan. Kadang tenang, teduh membuai; kadang mengamuk, bergejolak, membadai. Namun dia jinak dan bersahabat kali ini. Biru gelap menandakan kedalaman yang menyimpan rahasia.
Ada yang menarik perhatianku saat sebuah sampan kecil yang dikayuh beberapa bocah mendekati kapal. Beberapa penumpang kapal melempar sesuatu ke permukaan laut. Seketika beberapa anak tadi melompat ke dalam laut dan menghilang untuk beberapa saat, lalu muncul dengan tangan memegang benda pipih berwarna perak—yang kuyakini sebagai koin—seolah menunjukkan keberhasilan. Tubuh hitam mereka mengilat terbias sinar mentari. Gigi putih mereka terlihat bersinar serupa koin perak yang mereka temukan.
Pemandangan itu seketika menyeret ingatanku ke masa lalu. Masa remaja saat Marni, gadis kecil dari suku terapung di Kabupaten Tojo Una-Una, mengajarku cara mengapung di permukaan laut. Dia menarik tanganku ke pinggir laut yang agak dalam, lalu melepasku begitu saja. Aku panik seketika. Wajahku pucat tak berdaya serupa tikus got yang akan tenggelam. Kedua tanganku mengepak-ngepak menampar permukaan air. Marni si gadis duyung cekikikan melihatku. Laut seolah menarikku ke bawah. Entah sudah berapa teguk air asin itu masuk ke dalam kerongkonganku. Lalu hanya gelap.
Aku tersadar saat terbatuk-batuk mengeluarkan air laut yang mengisi lambungku. Aku bangkit lalu duduk di atas pasir putih hangat. Marni duduk di sampingku. Kulihat dia menyeka pipinya yang rebas. Matanya memerah terlihat sedih. “Minta maaf, Ka,” katanya menyesal. Kumaafkan. Namun tak kukatakan. Aku yakin dia telah menolongku dari bencana itu, lalu melakukan sesuatu pada tubuhku hingga aku tersadar.
Aku tersenyum. Entah di mana gerangan dirinya sekarang.
“Tidak turun, Kaka?” Suara renyah perempuan terdengar menyurai lamunanku.
Aku menoleh. Rupanya perempuan itu. Gadis pemilik mata hijau. Dia berdiri tepat di sampingku. Mencengkeram palang besi pembatas. Kulit putihnya sedikit menggelap karena paparan sinar UV. Penampilannya tidak seperti gadis kebanyakan di kapal ini. Dress abu-abu sederhana terlihat pas di tubuhnya.
Aku sedikit bingung saat mengetahui gadis bermata hijau itu bukan dari ras Kaukasia, namun masih sebangsa rupanya. Semuanya sama, hanya retina yang berwarna tak biasa.
“Tidak,” jawabku, menoleh padanya lalu seketika memalingkan pandangan ke laut. Aku tak sanggup menatap matanya. Hanya sesekali meliriknya jika dia berbicara.
“Kaka mau ke manakah?” tanyanya penasaran, masih memandangku lekat. Dia menyelipkan pipet minuman oranye di kedua bibir ranumnya, lalu menyesapnya.
“Mau ke daerah asal nama kapal ini.” Menoleh padanya lagi lalu kembali memandangi laut. Sebenarnya aku enggan berbicara saat ini, namun entah mengapa aku terus menjawab semua pertanyaan yang dia lontarkan.
“Tilongkabila di Gorontalo kah?” tebaknya semangat.
“Ya,” jawabku tersenyum.
“Ngomong-ngomong softlens-nya bagus,” kataku sambil menatap kedua mata zamrud itu. Dia mengerutkan dahi, seperti tak paham dengan ucapanku. “Itu … matanya.” Aku menunjuk kedua mataku lalu ke arah matanya. Dia hanya tersenyum tanpa kata. Ingin kutanyakan tentang keaslian kedua mata uniknya, namun kuurungkan.
“Minum, Kaka?” Dia menyodorkan minuman berwarna oranye di gelas plastik. Bukan yang sementara dia minum, namun minuman baru. Entah bagaimana minuman itu seperti tiba-tiba ada di tangannya.
“Terima kasih.” Aku menerimanya. Namun belum kuminum.
“Kaka suka sekali pandangi laut. Kaka suka berenang?”
Aku hanya tersenyum lalu menyesap dalam-dalam minuman rasa jeruk yang sudah tidak dingin itu.
“Di tempatku, semua orang suka berenang,” katanya tersenyum seolah-olah mengetahui rahasia tentangku yang tidak tahu berenang.
Tanpa kusadari tiba-tiba dia sudah berdiri di balik palang pembatas kapal. Kedua tangannya mencengkeram palang besi. Tubuhnya menghadap ke laut lepas. Memandang ke bawah, lalu tersenyum menoleh ke arahku.
Aku mematung. Kedua tanganku ingin menggapai, bermaksud menahan tubuhnya, namun tak sempat. Dia tiba-tiba melompat ke laut. Kucondongkan tubuh di pembatas. Mataku fokus mencari gadis itu di permukaan laut. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan koridor. Aneh, tak ada seorang pun penumpang yang kutemui. Aku menoleh lagi ke bawah.
“Ayo, Kaka … ayo turun.” Terdengar suara teriakan dari bawah. Gadis itu mengapung di permukaan laut. Tangannya melambai-lambai memanggilku.
Anggota badanku seperti bergerak sendiri. Tiba-tiba aku sudah berdiri di sebelah pembatas lalu dalam sekejap melompat. Setelah beberapa lama kepalaku muncul di permukaan laut lalu menarik napas dalam-dalam. Gadis itu menarik tanganku. Aku merasa ada yang aneh. Air laut terasa hangat, tubuhku mengapung, aku bergerak lincah di permukaan laut. Aku menoleh sekeliling laut. Perempuan itu berenang menjauh. Dia menoleh lalu tersenyum seolah mengajakku. Aku mengikutinya. Kapal baja itu semakin menjauh.
Pulau eksotis dengan pasir putih hangat menyambut kami. Gadis itu menarik tanganku menuju bale-bale di pinggir pulau. Tiang penopangnya berada di air. Kilauan gerombolan ikan berwarna perak yang berenang di bawahnya menyilaukan mataku. Aku duduk bersisian dengannya. Tak pernah aku merasa rileks, damai, dan tenang seperti ini.
“Namanya Adek siapa?” tanyaku sembari menatap mata memesona itu. Entah mengapa aku berani menatapnya lekat. Dia menjawab dengan bahasa yang tidak kumengerti.
“Nama siapa?” Kuulangi pertanyaan. Gadis itu masih terus berbicara tanpa henti dengan bahasa yang tak kupahami. Aku menggelengkan kepala.
Saat menoleh ke arah laut, tiba-tiba mataku menangkap sebuah benda mengapung dan hanyut di laut. Benda itu melintas di hadapanku. Sepertinya aku mengenalinya. Tak salah lagi, itu tas ranselku. Aku hendak mengambilnya namun arus cepat membawanya pergi menjauh. Tiba-tiba suara seperti cekikikan hewan terdengar di arah belakang. Mataku menangkap seekor hewan berbulu abu-abu seperti boneka di cabang pohon. Apakah itu koala? Apa benar yang sedang kulihat itu? Sungguh pemandangan langka. Namun hal yang lebih mengejutkan ternyata hewan itu memegang gitar. Itu gitarku. Aku mengenalinya dari stiker yang tertempel di body-nya. Hewan itu seketika menghilang bersama gitarku ke dalam pepohonan lebat. Aku hanya terdiam.
Kurebahkan tubuh di atas bale bambu. Gadis itu menatapku dengan senyum manisnya. Aku seperti tidak peduli dengan barang-barangku. Kupejamkan kedua mata sambil menghirup dalam-dalam udara pantai. Meresapi kedamaian yang jarang kurasakan.
Percikan air hangat tiba-tiba menerpa kelopak mata dan wajahku. Perlahan aku membuka mata saat pipiku terasa ditepuk. Aroma miyak kayu putih tajam menusuk hidung. Aku mengerjap-ngerjap lalu menoleh ke sekeliling. Beberapa wajah terlihat menatapku. Aku mengucek kedua mataku, lalu bangkit, duduk di sisi tempat tidur dalam ruangan serba putih. Kepalaku pening.
“Adek lama pingsan di koridor atas,” kata bapak paruh baya yang kukenal.
“Barang-barangmu juga sudah tidak ada, Dek. Torang so tidak perhatikan lagi”. Dia mengusap lenganku. Seketika aku sadar telah kehilangan semua kecuali apa yang ada di tubuh ini. (*)
Serambi Madinah, 25.01.2020
Ridwan Hasan Pantu. Penulis yang masih belajar merangkai kata ini mengajar di salah satu SMP di Gorontalo. Membaca dan menulis adalah salah satu kegiatannya di waktu luang. Sangat senang jika ada yang ingin menambahkan teman di FB.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata