Emak

Emak

Emak

Oleh: Fitriani

 

Emak, aku di sini rindu. Rindu belaian kasihmu, panggilanmu, juga marahmu padaku. Aku ingin didekapmu, menjadi sosok yang kecil seperti dulu. Ditimang-timang, diayun-ayun, dan digendong di punggungmu. Aku rindu, Mak. Berkali-kali aku mengucapnya, namun kehadiranmu tak kunjung datang.

Emak, dulu engkau yang mengajariku berjalan, lalu aku menangis setiap tersungkur ke tanah. Aku masih ingat setiap kali menangis, hanya permen kecil, jajanan dari warung di seberang jalan yang akan membungkam tangisku itu. Emak lihatlah anakmu kini, yang sudah berjalan tanpa bantuan dan bisa membaca tanpa mengeja. Sudah bisa menyeka tangis dengan tangan yang dulunya mungil kini membesar.

Kasih sayangmu tiada batas. Menuntunku pada jalan yang benar. Mungkin aku pernah menyakiti hatimu atas perilakuku. Entah marahku padamu, bentakan yang tidak sengaja aku lontarkan atau tingkahku pada dirimu. Namun, kau selalu tersenyum menyembunyikan rasa perih di hati, bahkan pintu maafmu selalu terbuka. Dan aku kini sadar. Mungkin dulu aku pernah membuat dirimu malu di depan orang banyak. Aku menyesal atas semua tindakan cerobohku. Maafkan aku, Emak.

Sejak kepergian Bapak lima tahun yang lalu, kau kini bekerja membanting tulang. Menghidupiku dengan hasil keringatmu. Tangan halusmu berubah kasar. Rambut hitam panjangmu lama kelamaan mulai memutih.  Rasa lelahmu itu bisa kau sembunyikan dengan sempurna di raut wajahmu.

Dulu, tubuhmu mampu menopang berat. Namun usia membiarkan tubuhmu menjadi ringkih. Pandangan yang mulai kabur. Kuping yang tidak lagi menangkap suara lirih. Cantikmu tergantikan keriput di wajah. Tongkat kini menemanimu menjalani hari.

“Nak, kau ingin sukses, bukan? Maka belajarlah. Jangan membuang waktumu untuk hal yang tidak bermanfaat. Berjanjilah, Nak, kau akan menjadi orang suatu saat nanti. Jangan seperti Emak dan jangan pernah meninggalkan kewajibanmu.”

Aku selalu ingat itu, Mak. Tak pernah waktuku terbuang tanpa belajar. Aku selalu menikmati kesepian ditemani buku. Buku bagai keluarga yang tak pernah hilang dalam genggaman. Sinar hidupku terpancar oleh kewajiban lima waktu yang tidak pernah aku tinggalkan. Demi menuju tempat yang sama. Menjalani hari bersamamu dengan damai tanpa terpisahkan untuk kedua kalinya. Jangan bersedih, Mak. Aku yakin kita akan bersatu kembali di sana. Di surga Ilahi.

Emak, pada siapa aku menceritakan semua rasa sedih, duka dan bahagiaku. Hambar sudah hidupku. Kini aku hidup sendiri. Sebatang kara di gubuk kecil penuh kenangan. Sang Kuasa telah memanggil Emak ke alam lain. Memisahkan aku dengan kau. Berkali-kali aku meronta untuk meminta arwah Emak dikembalikan. Tapi semua itu sia-sia. Aku merasa putus asa saat Emak pergi jauh dari penglihatanku.

“Nak, jika Emak pergi, Emak akan baik-baik saja. Emak akan bersama Bapak di surga sana. Jaga dirimu baik-baik.”

Itulah kata Emak di saat ajal menjemput, lalu pergi untuk selamanya. Aku mengiringi kepergianmu dengan tetesan air mata dan seruan para tetangga yang mengucap lafal takziah. Aku tak pernah menginginkanmu pergi jauh, Mak. Cukup hadir di sini menikmati kesuksesan yang pernah aku janjikan. Namun kini kau hanya akan melihatku dari jauh. Membimbingku dari sana. Dan tersenyum melihatku saat menggapai mimpi yang pernah dibangun bersama.

Tubuhmu pada masa itu sangat lemah. Pucat mewarnai sekujur tubuhmu. Perlahan aku mengguyurmu dengan air kembang yang dibantu para warga. Baju putih itu membalut badanmu hingga kapas-kapas dimasukkan menyumpal. Keranda mulai digotong para pelayat menuju tempat peristirahatan terakhir. Tak pernah aku lupakan masa itu. Masa di mana aku kehilangan semuanya.

“Emak, kau sudah tenang, bukan? Aku harap begitu. Kau orang baik dan Allah mengetahui betapa baiknya engkau selama hidupmu. Aku di sini hanya ingin meminta restu untuk melanjutkan kuliahku, dengan ini aku yakin aku akan meraih kesuksesan dan menggapai mimpiku.”

Suara parauku meminta restu, lalu menyerukan ayat-ayat suci untuk menenangkanmu. Tanpa sadar air mata berjatuhan di atas batu nisan. Membasahi rerumputan yang mulai tumbuh meninggi. Langkah kakiku mulai menjauh dari tempatmu. Tenanglah di sana, aku selalu berdoa untukmu.

Aku pulang, Emak. Pantaulah dari jauh agar aku akan menjadi orang.  (*)

Fitriani, seorang pelajar yang berasal dari Kebumen.

FB: Any Fitriani

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita