Elok
Oleh: Diah
Elok terlalu mengagumkan untuk disebut sebagai gadis biasa. Bagian paling menarik di wajahnya adalah sekitar matanya. Hal paling menarik lainnya adalah lesung pipinya. Lainnya lagi adalah alisnya, juga bibirnya, juga kulitnya. Aku tidak menemukan celah kekurangan utuk kecantikan Elok. Barangkali memang dari ujung kaki hingga ujung rambutnya telah diciptakan sempurna.
Lainnya tentang Elok yang paling aku sukai adalah cara bicaranya. Terutama pada gerak bibirnya, lalu pada suaranya yang lembut sekaligus jenaka. Tidak ada kesan sombong dalam setiap kalimatnya. Sebaliknya, dia begitu pintar menghargai.
“Apakah Elok juga akan menghargai dirinya sendiri?”
Aku mendengus sebal mendengar pertanyaannya. Sudah kukatakan sebelumnya, jangan menyela sebelum cerita tentang Elok ini selesai.
“Berapa hari akan selesai?”
Aku menghela napas, berapa hari? Ah … tidak mungkin selama itu. Aku sudah mempersipakan cerita ini hanya akan menjadi cerita singkat. Aku sudah latihan untuk hanya menggunakan waktu lima belas menit bercerita. Oh, tapi seharusnya bertambah karena kamu menyela. Ini memakan waktu satu menit … kurang sedikit. Sialan kamu!
Elok begitu rupawan.
“Ceritakan hal lain tentang Elok selain rupanya!”
Apa yang mau kamu dengar? Dia mempunyai begitu banyak kelebihan. Nanti akan aku ceritakan semua, tetapi bagian rupanya yang sempurna itu masih belum selesai. Aku mau menceritakan bentuk rambutnya yang indah. Rambutnya yang bergelombang panjang, tebal, dan hitam. Dia layak menjadi bintang iklan sampo.
“Aku sudah mengetahui semua itu. Katakan hal lain yang belum aku tau.”
Bersabar dan dengarkan dulu, aku akan ceritakan semua itu. Tapi kamu harus tahu kalau Elok mempunyai kuku-kuku yang bentuknya panjang. Orang-orang menyebut itu sebagai kuku pete, bukan kuku jengkol. Kuku jengkol bentuknya hampir bulat, pendek-pendek dan lebar. Kuku Elok itu panjang dan tidak begitu lebar.Warnanya putih bening, cocok sekali dengan kulitnya yang putih dan lembut. Tapi aku lebih suka menyebutkan sebagai kuku Elok, sebab hanya Elok yang akan memiliki kuku seindah itu. Pete itu sangat bau dan pahit. Elok terlalu berharga untuk mendapat julukan pemilik kuku pete.
Lagi, jari-jari Elok sangat panjang dan lentik. Lipatan-lipatan di setiap pembatas ruas-ruas jarinya saja indah, apalagi bagian yang mulus dan bersih dari bulu. Ada sebuah tanda luka di jari telunjuknya, tetapi itu menambah estetika jari Elok. Aku sering membayangkan ketika dia menjadi penari, jari-jarinya akan bergerak gemulai, lalu setiap mata yang melihatnya akan mengikuti gerakan jari itu. Oh, tidak, tidak. Bagaimana penonton hanya fokus pada jarinya sementara bagian Elok yang lain tak kalah mengagumkan. Kami, aku dan para penonton itu, mungkin akan memerhatikan betul-betul setiap detail gerakannya. Bahkan gerak dari satu helai rambutnya.
“Cukup! Ceritakan tentang prestasi Elok saja. Apakah prestainya semengagumkan paras cantiknya?”
Aku mengangguk-angguk keras. Tentu saja begitu. Dia seorang aktivis kampus. Di semester ini dia sudah sering diundang sebagai pembicara di berbagai acara. Kamu tahu karena apa? Karena dia pemenang dua puluh lebih perlombaan tingkat nasional dan internasional. Dosen-dosen jurusannya begitu membanggakan Elok. Ketika dia presentasi di Jepang tahun lalu, para juri bertepuk tangan. Dia melakukan student exchange ke Malaysia dan Korea Selatan. Sudah ada dua jurnal yang dia terbitkan. Nilai persemesternya tidak pernah mengecewakan.
Tahun depan dia pasti lulus. Nanti Elok akan melanjutkan studinya ke universitas terbaik dunia. Dia punya beberapa tujuan, Oxford University, Harvard University, Seoul National University, atau Stanford University.
“Dia belum tentu bisa.”
Kenapa harus tidak bisa? Dia begitu pintar dan mengagumkan. Dia pasti bisa melewati rangkaian tes untuk masuk ke sana.
“Oke, baiklah. Sekarang ceritakan yang lain, bagaimana kehidupannya sebagai aktivis kampus?”
Kamu coba lihat dulu wajahku ini. Apakah ada cahaya kekaguman yang terpancar dari wajahku? Senyumku begitu tulus, kan?
“Hm … iya.”
Artinya aku benar-benar serius soal Elok. Dia sungguh mengagumkan. Elok menjadi Kepala Divisi Humas di organisasi tertinggi kampus. Pantas saja, setiap anak Humas diutamakan yang mempunyai wajah cantik. Elok ini, sudah cantik juga pintar. Katanya, kemampuan negoisasinya sangat keren. Aku tidak pernah ragu dengan itu. Dia memang akan membius setiap lawan bicaranya dengan kalimat-kalimat manisnya, juga suaranya.
“Aku juga bosan mendengarnya. Ceritakan saja bagian fashion Elok.”
Aku mengedarkan pandangan sebelum bercerita. Bagus, tidak ada orang lain. Tidak boleh ada yang mendengar tentang ini atau fashion Elok akan ditiru.
Elok pantas mengenakan pakaian apa pun. Bahkan saat warna-warna pakaiannya memiliki empat warna berbeda, dia tetap cantik dan mengagumkan.Tapi ingat, aku tidak suka jika nanti kamu akan meniru cara berpakaian Elok. Kamu tidak pantas.
“Ayolah, aku tidak mungkin bisa meniru cara berpakaian Elok atau cara berpakaian manusia mana pun.”
Aku tersenyum lega. Tapi kamu harus tahu satu hal, aku sangat menyukai bagian ini. Anting Elok. Antingnya selalu berbentuk kecil mungil, tetapi saat rambutnya dikucir kuda, atau saat rambutnya disingkap ke belakang telinga, atau saat rambutnya terbang karena angin, anting itu selalu bersinar. Dia sangat cocok di telinga Elok. Sangat cantik. Aku pernah—.
“Berhenti, Elok! Berhentilah! Aku benar-benar bosan mendengar celotehmu itu.”
Kamu yang memintaku bercerita setiap saat tentang Elok. Kamu juga mencintai Elok.
“Aku mencintai Elok. Tapi bukan Elok yang penuh kesempurnaan seperti ceritamu itu.”
Elok hanya satu, dan dia sempurna. Tidak ada Elok lainnya.
“Kamu kenal aku?”
Kamu satu-satunya temanku, yang mau mendengar ceritaku tentang Elok setiap hari.
“Bukan. Aku ini logikamu. Aku berusaha membuatmu sadar. Ayo, Elok, sadar. Mereka sedang menunggu Elok. Bukan Elok yang penuh kesempurnaan. Tapi Elok itu kamu. Elok yang sudah di DO karena nilamu tidak memenuhi standar tiga semester ini.”
Sialan, kamu! Minggat dari sini! Minggat dari kepalaku!(*)
05/11/2020
Diah, seorang perempuan yang menyukai keheningan.
Editor: Imas Hanifah N