Elliana dan Allera

Elliana dan Allera

Elliana dan Allera

Oleh: Uzwah Anna

Dua perempuan cantik—Elliana dan Allera, berjalan menuju pasar. Bibi dan keponakan yang terpaut usia sepuluh tahun itu serupa kakak adik.

“Bibi lihat di sana.” Allera menunjuk sebuah toko, “bukankah itu merupakan perlengkapan make up paling tenar tahun ini?

Elliana hanya tersenyum, mengangguk. Padahal, sejatinya seperangkat make up itu sudah keluaran lama. Namun, kali ini dia malas berdebat dengan keponakannya. Percuma. Karena diberitahu pun, gadis bawel itu akan tetap menyangkal dan mempertahakan argumennya, meski salah.

“Bibi cobalah yang ini?” Allera mengangkat blush on berwarna merah darah tepat di depan Elliana. Tangannya hampir saja membubuhkan pewarna pipi itu ke wajah bibinya. Untung saja Elliana segera menghindar dan dengan gerakan cepat mengunci tangan keponakannya.

Merengek seraya menghentak-hentakkan kaki, Allera memohon kepada adik kandung dari ibunya itu, “Bibi, ayo coba. Aku ingin tahu bagaimana warnanya jika menyentuh kulit.”

“Kenapa tak kau poleskan saja di pipimu, Gadis Manja?” Elliana menyingkir. Sengaja menjauh dari keusilan gadis bertahi lalat di dagu itu.

Berjalan meninggalkan Ellera yang sibuk memilih make up, lantas langkah Elliana terhenti begitu saja ketika menatap sebuah gaun berwarna merah yang sengaja dipajang pada etalase butik.

“Pasti aku akan terlihat sangat anggun jika mengenakan baju ini di pesta,” ucapnya dalam hati.

Gadis berkulit cokelat tersebut masuk ke dalam butik, mengamati lantas meminta izin kepada penjaga toko untuk mencobanya. Namun, sebelum sampai di ruang ganti, Allera segera merampas gaun di tangannya.

“Sepertinya ini pas untuk ukuranku. Biarkan aku mencobanya.” Belia tak tahu diri itu meninggalkan Elliana begitu saja menuju kamar ganti. “Terima kasih, Bibi,” teriaknya seraya berlalu.

Kurang ajar!

Di perjalanan pulang, keusilan Allera belum juga berhenti. Ketika bibinya mengambil bitterballen (kue bulat dengan isian sayur) dan akan menyuapkan ke mulut, gadis tengil itu langsung menyergap dan menelannya, tanpa dikunyah. Saat membeli kalung cantik, tiba-tiba keponakannya itu mengeluarkan uang dan memberikannya kepada penjual, lantas berkata, “Kalung cantik ini milikku.” Senyumnya mengembang seperti orang tak berdosa.

***

“Kami pulang …,” sapa Elliana kepada Ayahnya yang tengah duduk di beranda rumah.

“Apa besok ada pesta? Kenapa kau belanja sebanyak ini, Elli?” tanya Aaron, ayahnya. Lelaki beruban itu heran dengan tangan putrinya yang diganduli bermacam kantung berbagai ukuran.

“Ini bukan belanjaanku, Ayah. Milik Alle,” jawab Elliana dengan wajah sedikit muak. Sementara yang punya barang belanjaan bukannya turut membawa masuk ke dalam rumah, justru langsung bermain dengan tiga ekor kelincinya.

***

Sore hari.

Elliana keluar membawa secangkir teh dan spekulaus kukjes (kue loyang berwarna cokelat). Dia menyuguhkannya kepada Aaron yang sedang duduk di beranda rumah.

“Elli, duduklah sebentar. Ayah ingin bicara denganmu,” pinta Aaron. Elliana langsung menghentikan langkahnya untuk kembali masuk rumah.

Melihat kakek dan bibinya, Allera meninggalkan kelinci, lantas menuju ke beranda.

“Duduklah.” Lelaki dengan berewok kelabu itu menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. Meminta si bungsu duduk berdekatan dengannya.

Ketika menekuk kaki dan siap duduk, tiba-tiba Allera menyerobot, Elliana sedikit terpental ke samping. Untung tak terjerembab ke lantai.

“Aku yang di tengah.” Senyum merekah dari dua baris bibir tipis Allera.

Menyebalkan!

Elliana bermuka masam. Tangannya gatal. Ingin sekali menjitak gadis nakal itu. Tapi urung. Dia takut kena marah oleh ayahnya.

“Alle, harusnya kau menghormati bibimu. Jangan asal serobot begitu,” tegur Aaron kepada cucunya yang sangat manja itu.

“Aku cuma ingin duduk di samping, Kakek. Itu saja. Boleh, kan?” Dia merebahkan kepala di lengan kakeknya. Tak ayal hal tersebut membuat Aaron urung marah.

“Ayah ingin bicara apa?” Elliana membuka suara. Mencoba tak acuh dengan sikap tengil keponakannya.

“Begini,” Aaron, lelaki bijak itu selalu memulai percakapan dengan pendahuluan singkat, “Ayah rasa umurmu sudah cukup dewasa. Jadi, Ayah ingin menjodohkanmu dengan Deildra.”

Elliana membelalak mendengar nama yang baru saja disebut oleh ayahnya, “Deildra? Duda teman Kakak ipar itu, bukan?”

“Kau tahu, Elli?”

“Tahulah. Dia mantan suami temanku, Ayira.”

Mata Allera membulat. Sepertinya gadis manja itu tertarik dengan topik yang diperbincangkan, dia turut bersuara, “Terus sekarang Bibi Ayira ke mana?”

“Sudah meninggal. Makanya Deildra jadi duda,” terang Elliana.

“Kalau begitu, Paman Deildra itu masih muda, bukan?”

Mengesah, Elliana menjawab malas, “Seumuran dengan ayahmu, Alle.”

“Duren, dong!” ucap Allera bersemangat.

“Kalau kau mau, ambil saja,” tawar Elliana kepada keponakannya. Dia kesal karena selama ini putri dari kakaknya itu selalu menyerobot apa saja yang akan dimilikinya. Jadi, mumpung kali ini dia tak menginginkan Deildra, maka bungsu dari dua bersaudara itu sengaja memberikan kepada keponakannya.

Lagi pula, gadis mana yang mau dijodohkan dengan pria dekil nan kurus kerempeng itu. Apalagi sekarang statusnya sebagai duda.

“Alle, Deildra buatmu saja. Aku ikhlas,” ucap Elliana seraya berdiri. Dia masuk rumah meninggalkan ayah dan keponakannya.

***

Hari yang ditentukan telah tiba.

Bagaimanapun juga Elliana tak dapat menolak permintaan Aaron. Jadi terpaksa dia menerima perjodohannya dengan seorang duda, Deildra.

“Bibi, hari ini kau cantik sekali,” puji Allera kepada bibinya. Senyum polos mengembang dari dua baris bibir tipis yang sudah dipoles gincu berwarna merah muda.

Mengembuskan napas berat, Elliana menatap malas keponakannya. Padahal sebenarnya bukan ucapan itu yang ingin diterima olehnya. Dia ingin gadis tengil itu mengucapkan kalimat, “Bibi tendang saja bokong Paman Deil.” atau, “Cekik saja duda itu biar Bibi lepas dari perjodohan.”

Namum sayang, hal itu hanya sebuah harapan belaka, tak akan pernah terjadi, sebab perjodohan sudah di depan mata.

Lagi, Elliana menghirup napas panjang. Meringankan beban.

Rombongan Deildra telah datang. Aaron menyambut bahagia calon menatunya tersebut. Berjinjit-jinjit, Allera keluar dari kamar bibinya menuju ruang tamu. Lantas mengintip. Dia penasaran seperti apa rupa calon pamannya kelak. Namun, karena terlalu banyak tamu, jadi dia tak dapat memastikan mana pria yang bernama Deildra.

“Elli, keluarlah, Nak. Calon suamimu telah datang,” pinta Aaron kepada putri bungsunya.

Dengan wajah masam gadis berambut hitam legam itu keluar. Menjinjing bagian gaun bawahnya agar tak terinjak. Benar kata Allera, malam ini, meski dengan perasaan dongkol setengah mati, Elliana tampak sangat cantik. Dia menuju ruang tamu. Sementara Allera, mengekor di belakangnya.

Untuk pertama kalinya, setelah sepuluh tahun berlalu, Elliana kembali bertemu Deildra. Dia terkejut dengan apa yang berhasil ditangkap oleh matanya. Pria itu, benar-benar telah berbeda. Dia semakin gagah dan berwibawa. Cara bicaranya juga sopan. Sangat elegan.

Hilang sudah bayangan pria cungkring yang akhir-akhir ini menghantui pikirannya.

Tak kalah dengan bibinya, Allera juga sangat terkejut mendapati pria ganteng dan cool yang tengah berdiri menggunakan setelan jas berwarna hitam. Cambang tipis semakin memberikan kesan bahwa pria itu merupakan kaum cendekiawan.

Pada dasarnya, baik Elliana maupun Allera memiliki sifat dan kecenderungan yang serupa. Hal ini cukup membuat Aaron pusing. Bagaimana bisa anak dan cucunya saling memperebutkan hal yang sama. Elliana tak mau mengalah. Sementara Allera selalu merebut apa pun yang menjadi milik bibinya. Maka tak jarang lelaki tua ini menyimpan bahkan kadang sengaja menghancurkan barang yang diperebutkan oleh kedua gadis yang terpaut usia sepuluh tahun itu.

Tak membuang waktu, sebelum Deildra resmi menjadi tunangan bibinya, Allera langsung mendekat dan menjulurkan tangan kepada pria tampan itu.

“Akulah perempuan yang akan dijodoh denganmu, Paman,” ucapa Allera, mengaku-aku.

Sontak, hal itu membuat Elliana merasa terbakar. Sejak kapan ayahnya berniat menjodohkan gadis tengil itu dengan Deildra? Tak bisa dibiarkan. Dia harus segera bertindak sebelum terlambat.

“Deil, kau masih ingat aku, bukan?” tanya Elliana seraya menangkis tangan Allera agar segera menjauh. Dia sendiri langsung menjabat tangan pria gagah itu. “Aku adalah sahabat dekat Ayira.”

Tersenyum, Deildra mengangguk.

Merasa di atas angin, Elliana segera melancarkan serangan. “Bagaimana kabarmu, baik?”

“Seperti yang kau lihat. Aku sangat baik,” jawab Deildra.

Lama, jabatan tangan Elliana dengan Deildra belum juga lepas. Hal itu membuat Allera meradang.

“Paman, kudengar kau suka berkuda. Lain waktu, bisakah kau ajari aku menunggang kuda?” Allera menggamit dan menyandarkan kelapanya pada lengan kanan Deildra. Otomatis jabatan tangan pria itu dengan Elliana terlepas begitu saja.

“Alle, sebaiknya kau jangan mengganggu urusan orang dewasa, pergi dan urus saja kelincimu,” pinta Elliana, geram.

“Kelinciku baik-baik saja tanpa kuurus. Sebaiknya, Bibi yang pergi. Di dapur banyak pekerjaan yang belum beres,” balas gadis tengil itu. Dia masih belum melepaskan lengan Deildra.

Menggertakkan gigi, Elliana bersuara lantang, “Alle, lepaskan Deildra. Dia calon tunanganku!”

Melihat orang-orang di sekitar, Deildra menunduk. Dia merasa tak enak hati. Lebih tepatnya malu.

Semua orang langsung menatap ke asal suara. Tak terkecuali Aaron.

“Apalagi yang mereka perebutkan?” ucapnya dalam hati. Dia lantas menghampiri ketiganya.

“Elli pelankan suaramu. Kita sedang berada dalam acara sakral. Jangan bikin ribut.” Aaron meminta dengan suara yang sengaja dipelankan. Agar tak semakin menjadi pusat perhatian.

“Lihat. Cucu Ayah bikin perkara lagi. Dia ingin merebut calon tunanganku.” Telunjuk Elliana mengarah kepada Allera.

“Alle, apa yang kau lakukan. Ini bukan waktunya buat berdebat. Jangan bikin masalah. Lagi pula ini acara pertunangan Bibimu.”

“Kakek … jodohkan aku dengan Paman Deil. Kumohon,” rengek gadis manja itu.

“Tidak bisa!” Elliana kembali bersuara keras. “Ayah, kau sudah menjodohkan Deil denganku. Buat kali ini aku tak akan mengalah lagi pada gadis tengil itu.”

“Kakek aku mohon, buat kali ini saja.” Kembali Allera merengek.

Baik Elliana maupun Allera mereka saling beradu argumen. Keduanya tak mau mengalah. Membuat Aaron pusing. Tak tahu mesti memilih mana di antara keduanya, anak atau cucu.

Tak tahan dengan tingkah kedua turunannya, akhirnya Aaron angkat suara.

“Deil, bagaimana menurutmu? Mana yang akan kau pilih di antara keduanya?” Terpaksa lelaki tua itu memasrahkan keputusan kepada Deildra.

Deildra melepas lengannya dari dekapan Allera. Dia juga pusing jika diminta memilih.

“Pilih aku saja, Paman. Aku lebih muda dan menarik,” ujar Allera.

“Iya tapi bawel dan manja,” seloroh Elliana bersendakap tangan. Dia membuang pandang ke samping. Tak sudi melihat keponakannya.

“Apa Bibi bilang? Aku bawel? Bukankah Bibi yang lebih bawel, eh?”

Dua perempuan itu kembali terlibat adu mulut.

“Hentikan!” bentak Aaron. “Kalian bukan lagi bocah berusia sepuluh tahun. Kenapa tak bisa tenang?”

Allera membuka mulut. Dia akan berbicara, tetapi tak jadi.

“Diam, Alle. Kakek tak suka dibantah.”

“Deil silahkan tentukan pilihanmu,” pinta Aaron.

Deildra bingung. Dia harus membuat keputusan yang tepat agar tak ada satu pun orang yang merasa tersakiti.

“Ok, ini memang suatu keputusan yang sangat pelik. Tapi bagaimanapun juga, demi kebaikan Elliana dan Allera, saya harus mengatakannya.”

“Saya akan memberi dua pilihan. Kalian silakan memilih salah satunya.”

Elliana dan Allera berdebar menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari bibir Deildra.

“Pertama aku tak akan memilih kalian berdua.”

Degup jantung kedua gadis itu semacam yang tinggal beberapa detik lagi meledak.

“Atau ….”

Keringat mengucur deras dari dahi bibi dan keponakan itu.

“Kalian berdua bersedia menjadi pengantinku.”

Elliana membelalak.

Allera menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Aaron hampir saja terkena serangan jantung.

***

Dua bulan kemudian, Deildra duduk di pelaminan bersama seorang gadis cantik yang kalem dan berperilaku manis.

Sementara Elliana dan Allera merutuki nasib. Kering sudah air mata keduanya. Mereka gagal bersanding dengan Deildra. Meski kedua gadis itu bersedia, tapi Aaron tak mengizinkan Deildra menikahi putri dan cucunya sekaligus. Bukan apa-apa, dia saja yang sudah terbiasa mengurus keduanya sering kelabakan karena pertikaian mereka. Apalagi pria semacam Deildra?

Bisa hancur dunia.

Aaron tak ingin Deidra bernasib buruk. Maka sebagai penggantinya, lelaki sepuh itu meminang cucu dari sahabatnya untuk dijadikan pengantin Deildra.(*)

Sabtu, 16 Maret 2019

Tentang Penulis:

Uzwah Anna. Lahir di sebuah desa di pelosok kota Malang. Pecinta bakso dan soto. Karena lahir, tumbuh dan, besar di kampung, maka sudah sangat akrab dengan bertani. Selain hobby corat-coret juga gemar berkebun. Tanaman yang paling disukai adalah buah dan bunga. Apalagi bunga mawar merah, beuh … cinta beud.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply