Egois
Oleh : Arin
Suara ramai tertangkap oleh sepasang telinga. Aku mencoba membuka mata, tapi sangat berat.
“Putri Bapak mengalami tekanan batin, yang membuat ia stres,” ucap seseorang, yang aku tak tahu itu siapa.
Aku mencoba lagi membuka mata, dan kenapa aku di sini?
“Heiii, lepaskan aku!” Kulihat tangan dan kakiku sudah diikat pada ujung besi tempat tidur.
“Dasar Ayah jahat, aku benci Ayah!!!” Aku benci melihat wajah itu. Orang yang membuatku selalu disiksa oleh Ibu.
Kulihat lelaki itu, menatapku iba. Cuihhh, aku tak peduli.
“Lepaskan akuuu!”
“Aku tidak gilaaa!” Aku tak terima diperlakukan seperti ini.
***
Kutatap sebuah bingkai foto, terlihat mereka—Ayah dan Ibu—tersenyum di sana. Merengkuh badan mungil, yang belum tahu tentang luka.
Praangg!
Bingkai itu jatuh berserakan. Aku sudah lelah dengan semua ini. Hanya kesalahan kecil saja, bisa membuat mereka murka. Salah siapa? Aku atau mereka?
***
“Maaf, Bu, aku lupa mematikan keran airnya.” Suara ini bergetar, takut jika tangan itu mendarat lagi di tubuhku. Kulihat Ibu masih diam. Hingga beberapa saat kemudian ….
Plakk!!!
Sudah kuduga. Pelipisku terasa panas, dan dengan cepat aku menekannya kuat-kuat. Basah sudah kedua mata menahan sakit yang baru kurasa.
“Dasar anak tak tahu diuntung!” hardik Ibu sambil menunjukku.
“Apa saja yang kamu lakukan? Hanya mematikan keran air saja bisa lupa!”
Aku tak berani menatap Ibu. Sungguh, bukan kekerasan yang kuinginkan. Tak bisakah Ibu sedikit lembut padaku?
“Jawab bodoh!” Ibu menarik rambutku dengan kasar.
“Ampun, Bu.” Kutahan rambut ini agar tak rontok. Hanya itu yang bisa kulakukan. Ingin membalas? Itu tak mungkin.
Ibu melepaskan kasar tangannya dari rambutku, beranjak pergi entah ke mana. Aku mundur perlahan menaiki anak tangga satu per satu. Masuk ke kamar, dan kubenamkan tubuh ini di tempat tidur.
Masih terasa sakit dan perih pelipis ini. Belum lagi pusing akibat Ibu menarik rambutku sangat kuat.
Saat ingin kupejamkan mata, aku mendengar suara gaduh itu lagi. Suara yang setiap hari menjadi melodi menyayat hati. Kuintip dari balik pintu yang sedikit memberikan celah. Ayah sudah berada di sana, duduk membelakangi Ibu sambil menutup telinga.
Ibu memaki Ayah, seperti yang baru saja dilakukan padaku. Memukul, bahkan mendorongnya terus-menerus. Tak lama Ayah berdiri, menampar Ibu yang saat ini seperti orang kesetanan.
“Atas dasar apa kamu berani menamparku?” suara lantang Ibu. Ia menunjuk muka Ayah sambil memegangi pipinya.
“Selama ini aku cukup sabar menghadapimu. Jangan kau pikir aku diam saja itu artinya aku takut!” suara Ayah tak kalah lantang.
“Aku menghargaimu sebagai istriku, tapi tak sedikit pun kau menghargaiku sebagai suamimu!” Ayah sudah naik pitam. Ibu hanya diam, sambil sesekali mengusap ujung matanya yang berair. Ini kali pertama aku melihat ia menangis.
“Kalau kau memang sudah tidak mau lagi denganku …,” Ayah berhenti sejenak, seperti sedang meredam emosinya, “mari, kupulangkan kau kepada orangtuamu.”
Aku yang mendengar semua itu, langsung lemas. Tubuhku lunglai. Aku memang sudah lelah dengan semua kekerasan ini. Tapi aku tak mau kalau aku harus menjadi korban dari keegoisan orangtuaku.
“Baik!” Ibu menjawab dengan tegas.
“Aku juga sudah bosan, melihat kau dan anakmu selalu membuat rusuh di rumahku.”
Apa maksud Ibu? Anakmu? Bukankah aku juga anak Ibu?
“Jadi selama ini kau tak sungguh menerimaku dan putriku?” Nada bicara Ayah sedikit menurun.
“Aku menerimamu, tapi tidak dengan putrimu.”
“Mana mungkin aku menerima anak, yang kau hasilkan dari wanita jalang itu?”
Apa aku tak salah dengar? Jadi aku bukan anak Ibu? Jadi ini alasan kenapa Ibu sangat membenciku? Tuhan, aku tak sanggup menerima kenyataan pahit ini.
Ayah yang selama ini kuanggap seperti malaikat, ternyata sosok yang juga membuat aku dibenci oleh Ibu. Sungguh aku benci mereka berdua. Kututup pintu kamar dengan keras.
***
Aku melangkah kembali menuju tempat tidur, dengan langkah gontai. Kututup rapat-rapat kepalaku dengan bantal. Tak kuhiraukan Ayah yang mengetuk pintu kamar. Aku benci Ayah, aku benci Ibu.
Ibu? Apa pantas aku memanggilnya Ibu? Ibu mana yang tega menyiksa anaknya? Oh, aku melupakan sesuatu. Ia bukan ibuku. Aku terseyum kecut. Sesaat kemudian, aku teringat Ayah. Aku tak dapat menahan tangis ini, yang keluar begitu saja dari sudut mata.
“Arrgghh!” Aku tak bisa menerima semua ini.
Perlahan suara ketukan pintu mulai hilang.(*)
Malang, 27 Juni 2020
Tentang Penulis:
Arin, ibu rumah tangga yang masih banyak kekurangan dalam menulis cerpen. Hobi membaca yang membuatnya ingin menjadi penulis hebat.
Editor : Tri Wahyu Utami
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata