Ego Seorang Imam
Oleh : Ika Mulyani
Rossy menghela napas dengan berat. Tangisan bayi mungil di pelukannya membuat wanita 25 tahun itu, ikut terisak. Kembali ia menekuni layar ponselnya, dan melihat bahwa pesan yang ditulisnya untuk Rusdi belum juga terkirim. Ibu muda itu mendesah saat mengetahui bahwa ternyata kuota internetnya sudah habis, dan pulsa telepon pun sudah tandas.
Apa yang harus kulakukan sekarang? batin Rossy, masygul. Air matanya kembali jatuh.
Tiba-tiba, ponsel dalam genggaman Rossy bergetar, diiringi nada dering yang ia khususkan untuk salah seorang pria spesial.
“Rossy, Sayang? Kamu masih di mana? Ini Mama udah nanyain terus.”
Rossy berusaha meredam isakannya. Namun, tangisan bayi laki-laki dalam pelukan Rossy justru tiba-tiba melengking nyaring, membuat wanita itu sibuk menenangkan dan mengayun buaian.
“Itu kenapa Dek Al nangis? Sakit? Kamu masih di rumah? Biar Mang Ujang jemput, ya?”
“Dek Al cuma haus, kok. Biasa, dia memang suka enggak sabaran. Ini Rossy lagi siapin susunya.” Rossy menjawab lirih, seraya mencoba kembali memasukkan ke dalam mulut mungil anaknya, dot botol susu yang berisi larutan susu terakhir yang bisa dibuatnya.
Perbandingan jumlah air dan susu yang ditambahkan tidak sesuai takaran, membuat susu tersebut pasti terasa hambar, dan membuat Alif berulang kali menolaknya. Persediaan susu formula bayi itu hanya tinggal satu sendok takar tadi.
***
Kemarin pagi, Rossy sudah menyampaikan pada suaminya, perihal sudah menipisnya persediaan susu formula untuk putra mereka.
“Paling cuma cukup sampai besok pagi, atau mungkin nanti malam. Nanti pulang kerja tolong belikan, ya, Kak.”
Rossy tertegun saat Rusdi mengatakan bahwa uang yang tersisa di dompetnya hanya tersisa lima puluh ribu rupiah.
“Bukannya kemarin masih ada tiga ratus ribu, Kak?”
Lama Rusdi tidak menjawab.
Rossy mengerti. “Bapak?” tanya wanita itu, sekadar menegaskan, karena ia sudah tahu jawabannya.
“Maaf,” desah Rusdi, menatap istrinya dengan penuh rasa bersalah. “Bapak sakit lagi. Aku transfer dua ratus ribu untuk berobat dan Ibu belanja dapur. Kemarin, kan, terpakai lima puluh ribu. Cuma ini sisanya.”
Rossy menghela napas seraya menerima lembaran biru itu, dan bertanya dengan nada skeptis, “Terus, dokter bilang apa katanya?”
Sang suami hanya menggeleng, dan Rossy mengerti. Segala keluhan sakit kepala, lambung perih, nyeri dada, dan entah apa lagi yang dirasakan ayah mertuanya itu, hanya soal psikis. Fisik pria paruh baya itu sebenarnya baik-baik saja. Kehilangan mata pencaharian secara tiba-tiba karena perusahaan tempatnya bekerja bangkrut, membuat ayah Rusdi tertekan.
Rusdi berjanji untuk mencari pinjaman uang di kantor. Namun, sore harinya, Rusdi pulang dengan tangan kosong.
“Kak, besok aku pinjam ke Mama aja, ya?” usul Rossy, ragu, karena ia sudah tahu jawaban suaminya.
Rusdi selalu melarang dengan alasan, “Malu. Mama suka enggak mau diganti kalau kita pinjam.”
Rusdi mengusap bahu istrinya. “Masih cukup, kan, untuk malam ini susunya?
“Besok kalau habis, gimana?”
“Kasih ASI aja dulu dan air putih hangat. Kalau aku dapat uang, istirahat langsung kubelikan susu dan bawa pulang.”
Entah harus menyalahkan siapa, bila produksi ASI Rossy tidak dapat mencukupi kebutuhan bayi empat bulan itu. Mungkin salah sang ibu yang kurang asupan makanan bergizi, atau salah Rusdi yang penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan anak-istrinya. Atau, mungkin salah orangtua pria itu, yang sudah tiga bulan ini mulai menggantungkan hidup pada uang kiriman putra sulung mereka—ayah Alif.
***
Pria di telepon tadi kembali memanggil nama Rossy, membuyarkan lamunan wanita itu.
“Kamu jadi ke sini, kan, Sayang? Papa udah kangen sama Dek Al.”
Suara tangis Alif mereda. Bukan karena kenyang, tetapi tersebab kelelahan menangis, dan jatuh tertidur.
“Err … Rossy belum dapat izin dari Kak Rusdi, Pa. WA-nya belum dibaca.” Rossy menjawab takut-takut, dan dibalas dengan dengkusan dari seberang sana.
***
Pagi tadi, sesaat setelah Rusdi berangkat bekerja, Wantie—ibunda Rossy—menelepon dan meminta putri bungsunya itu untuk datang. Hari ini sang ayah berulang tahun. Seperti biasa, semua anggota keluarga besar diminta berkumpul untuk menghadiri acara syukuran.
Rossy senang sekali mendengarnya. Ia berharap akan menemukan penyelesaian masalah persediaan susu untuk Alif di rumah besar itu. Tidak, ia tidak akan berterus-terang perihal isi dompetnya yang nyaris kosong, saat tanggal hari ini masih mengeja angka lima belas. Biasanya, Wantie akan menyelipkan amplop berisi sejumlah uang, saat Rossy berpamitan pulang, setiap Alif dibawa berkunjung.
Kali ini, Rossy tidak akan peduli pada amarah sang suami, yang selalu terlontar setiap ia menerima pemberian dari ibunya.
“Bikin malu aja, Dek!” Begitu sentaknya selalu. “Harusnya sama orangtua itu ngasih, bukan minta! Jangan suka ngeluh sama Mama-Papa dan bikin pikiran mereka terbebani.”
Rusdi seolah tidak pernah mendengar bantahan sang istri, bahwa ia tidak pernah meminta, bahkan tidak pernah mengeluhkan apa pun perihal keterbatasan dan kesulitan hidup mereka.
Rossy tahu, keluhan—meskipun hanya satu kata—akan menambah ketidaksukaan ayah-ibunya pada suami tercinta. Bila sudah demikian, Rossy harus bersiap untuk menerima rentetan kata-kata pedas dari keduanya, kembali mengungkit “kesalahan” yang—menurut mereka—dilakukan oleh anak gadisnya itu di masa lalu.
Lebih setahun lalu, Rossy bersikeras menerima lamaran Rusdi, saat pemuda itu baru saja selesai wisuda, dan tentu saja belum mendapat pekerjaan. Rossy bahkan masih menunggu jadwal sidang skripsi.
“Kenapa harus buru-buru menikah? Kamu hamil?!” tuduh ayah Rossy, membuat gadis itu meradang.
“Papa jangan menuduh sembarangan!” tukas Rossy dengan wajah merah padam.
“Tapi, kan, kamu belum punya pekerjaan. Bagaimana kamu menghidupi anak saya?” tanya Ramli seraya menatap Rusdi dengan tajam.
Rusdi berdalih, bahwa pasti nanti akan ada rezekinya. Alasan yang sama sekali tidak bisa diterima oleh Ramli.
Ayah Rossy tidak bersedia menikahkan mereka, hingga dengan mengiba, Rossy meminta kakak sulungnya—yang sayang sekali pada si bungsu—untuk menjadi wali nikah. Tidak ada resepsi pernikahan. Tidak ada prosesi sungkeman, apalagi saweran.
Kecewa dengan sikap Rossy—bungsu dari empat bersaudara, anak perempuan satu-satunya—Ramli menjaga jarak dengan putrinya sendiri. Apalagi kemudian pasangan pengantin baru itu hidup terpisah di rumah kontrakan, yang jaraknya cukup jauh.
Berbulan-bulan mereka tidak pernah bertegur sapa. Apalagi Rusdi belum juga mendapat pekerjaan tetap. Rossy pun jadi segan untuk berkunjung. Bila rindu, ia hanya bisa menelepon sang ibu.
Hati orangtua Rossy luluh saat si putri bungsu melahirkan Alif setahun kemudian. Bayi putih berambut ikal dan lebat itu menjadi cucu laki-laki pertama di keluarga mereka, dan berhasil mencuri perhatian dan kasih sayang semua orang.
Ramli pun mulai mengurai kebekuan sikapnya terhadap Rossy dan Rusdi, bersamaan dengan diterimanya sang menantu bekerja di sebuah perusahaan agrobisnis, tepat seminggu setelah Alif lahir.
Lelah memendam rindu pada putri kesayangannya, membuat pria itu berusaha menebusnya dengan berbagai tawaran.
Merasa bahwa ilmu yang telah susah payah Rossy tekuni selama kuliah akan sia-sia bila ia hanya menjadi seorang ibu rumah tangga, Ramli lalu menawarkan lowongan pekerjaan untuk sang putri, yang diperolehnya dari salah seorang kolega.
“Kalo siang, biar Alif di sini aja sama Mama. Toh, minumnya juga susu formula, ‘kan?” Ibu Rossy yang menjawab pertanyaan Rusdi.
Namun, Rusdi melarang Rossy untuk menerima tawaran tersebut. Pria muda itu berdalih, mencari nafkah adalah kewajiban suami. Kewajiban istri adalah mengurus rumah tangga, mengasuh dan mendidik anak, serta patuh pada suami.
Melihat Rossy masih saja menempati rumah kontrakan yang sempit, sang ayah meminta pasangan muda itu untuk tinggal bersama di rumah mereka yang luas. Ketiga kakak Rossy tinggal di kota terpisah.
Sekali lagi, Rusdi menolak. Ia berpendapat bahwa sebuah bahtera keluarga hanya boleh dinahkodai oleh satu orang, hingga harus tinggal terpisah, dari orangtua sekalipun.
Sikap Rusdi ini membuat hubungannya dengan kedua mertua tidak kunjung membaik. Cap jelek melekat sudah pada diri sang menantu. Sombong, keras kepala, dan tidak tahu diri, adalah beberapa di antaranya.
Bila kakek dan nenek merindukan cucu laki-lakinya, maka Rossy yang akan diminta untuk datang bersama Alif.
***
Rusdi tidak memperbolehkan sang istri meninggalkan rumah tanpa seizinnya. Ini menjadi masalah saat pria itu selalu tidak meluluskan permohonan izin dari Rossy, atau ada kendala lain. Seperti hari ini.
“Kamu, kan, bukan mau ngelayap enggak karuan, Sayang. Pastilah suamimu bakal izinin. Udah, sekarang Papa suruh Mang Ujang jemput, ya.” Ramli berucap dengan nada gusar.
Akhirnya, Rossy memutuskan untuk pergi. Kebutuhan Alif jauh lebih mendesak. Ia berpikir, kali ini, Rusdi pasti bisa memaklumi kepergian istrinya meski tanpa izin.
***
Rossy kembali dari rumah orangtuanya saat hari sudah gelap. Mang Ujang mengantar mereka sampai di depan gang sempit menuju rumah kontrakan.
Tampak Rusdi—dengan sekotak susu formula di tangannya—duduk di teras rumah dengan wajah merah padam, membuat Rossy terkesiap. Kesibukan sepanjang hari tadi membuat wanita itu lupa, bahwa kunci rumah hanya ada satu.
Hati Rossy juga masygul. Harapan untuk mendapatkan uang guna membeli susu, sirna. Tidak seperti biasanya, kali ini tidak ada selipan amplop dari Wantie. Mungkin ibunya itu lupa, tersebab kesibukan acara dan banyaknya kerabat yang datang.
Keresahan Rossy semakin menjadi, karena sepanjang perjalanan pulang tadi Alif rewel dan sulit untuk ditenangkan. Di rumah ibunya tadi, bayi itu tidak mau hanya minum air putih hangat. Sementara, ASI hanya keluar sedikit saja. Rossy terpaksa memberi bayinya itu susu kental manis yang tersedia di dapur ibunya. Mungkinkah perut bayinya menjadi bermasalah?
“Dari mana saja kamu?!” Rusdi mendesis dengan mata mendelik.
Meski amarah memenuhi hati, Rusdi masih bisa mengendalikan suaranya. Pria itu tidak ingin keluarga kecilnya jadi bahan gunjingan tetangga. Dengan kasar, ia segera meraih kunci dari tangan Rossy, membuka pintu, dan menarik istrinya masuk.
“Siang aku pulang bawa susu, kamu enggak ada. Ditelepon enggak bisa. Tetangga enggak ada yang tahu kamu ke mana. Sore aku pulang, masih belum ada juga. Satu jam lebih aku nunggu. Bingung! Khawatir!” Rusdi membuang napas dengan kasar. “Kamu kan tahu, seorang istri tidak boleh meninggalkan rumah tanpa seizin dari suami!”
Terbata, Rossy menjelaskan, diiringi dengan deraian air mata, dan tangisan Alif yang belum juga mereda.
“Aku minta maaf,” ucap Rossy berkali-kali di sela-sela uraiannya. Wanita itu sudah pasrah, atas apa pun reaksi sang suami.
Rusdi tertegun. Sama sekali tidak terpikirkan olehnya untuk menelepon sang mertua. Merah di wajahnya berangsur memudar, dan warna itu kini sedikit demi sedikit muncul di mata yang sebelumnya menyorot tajam. Kedua tangan yang mengepal, perlahan terurai. Namun, ego di hati pria muda itu belum surut, meski sebenarnya, hatinya diliputi rasa bersalah.
“Begitulah kalau pergi tanpa izinku! Allah juga enggak rida, kan? Dia bikin Mama lupa sama kebiasaannya.” Rusdi berucap seraya memalingkan muka, berharap sang istri tidak memperhatikan perubahan wajahnya. “Jangan sampai Alif kenapa-napa gara-gara kamu kasih susu kental manis!”
“Maaf,” sahut Rossy dengan suara lirih sambil menunduk. Kalimat terakhir Rusdi membuatnya cemas, karena tangis si buah hati belum juga reda.
“Alif haus mungkin. Sana cepat buat susunya!” perintah Rusdi sambil mengambil putranya dari gendongan Rossy.
Rossy segera menuruti perintah suaminya. Tangis Alif seketika terhenti, saat larutan susu formula mulai memasuki mulut kecilnya. Bayi itu menyesap dengan rakus, hingga minuman itu tandas dalam waktu relatif singkat.
Tak lama kemudian, kelopak mata bayi mungil itu perlahan menutup. Rossy lantas mengayunnya dalam gendongan, hingga ia benar-benar terlelap.
Tiba-tiba saat baru saja dibaringkan di tempat tidur, bayi itu terbatuk-batuk, sepertinya tersedak. Rossy segera menggendong kembali sang putra, dan menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Namun, Alif malah muntah hebat, membasahi pakaian ibunya yang berteriak panik.
***
Rusdi terpekur mendengar penjelasan petugas administrasi di ruang IGD. Setelah melewati sejumlah pemeriksaan dokter, Alif diharuskan untuk dirawat di rumah sakit. Perawat lalu meminta Rusdi untuk mengurus administrasinya.
“Jadi masuk pasien umum, ya, Pak. Silakan disiapkan dana jaminan sebesar dua juta rupiah. Setelah itu, baru anaknya bisa masuk ruang perawatan.”
Sungguh hati pria itu resah. Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Tadi siang, ia harus menebalkan muka demi mendapatkan sedikit pinjaman uang, untuk memenuhi kebutuhan hingga tanggal gajian berikutnya. Sekarang? Tidak mungkin ia mengajukan permohonan kasbon lagi.
Tiba-tiba, di benak Rusdi terlintas wajah kedua mertuanya, lengkap dengan cap buruk yang mereka berikan untuknya.
Mereka sayang sekali pada Alif, bukan? Rasanya tidak masalah bila aku harus kembali menebalkan muka.
Rusdi membatin seraya meraih ponsel, dan mulai mencari nama Wantie dalam daftar kontak.
***
Rossy duduk menunggu dengan resah di samping ranjang rumah sakit tempat Alif berbaring. Ingin sekali ia memberitahukan keadaan Alif kepada kedua orangtuanya, tetapi ponselnya masih belum berdaya.
Wanita berpostur mungil itu masih belum merasa tenang saat Rusdi datang bersama perawat, dengan senyum terkembang.
“Gimana, Kak?” tanya wanita itu dengan nada cemas.
Rusdi hanya tersenyum, dan menarik tangan sang istri untuk mengikuti langkah perawat yang mendorong ranjang Alif menuju ruang perawatan.
“Aku pulang dulu, ya, ambil baju ganti. Apa aja yang harus dibawa?” Rusdi berucap setelah perawat keluar dari ruang perawatan, tanpa menghiraukan pertanyaan istrinya tentang bagaimana mereka akan membayar biaya rumah sakit.
“Kak ….” Suara Rossy terdengar begitu memelas. Sebutir air yang sudah menggenangi pelupuk matanya, jatuh sudah.
“Tenang, aku udah dapat tambahan pinjaman dari kantor.” Rusdi bertutur seraya mengusap lembut pipi istrinya yang mulai basah.
“Tapi, kan, tadi siang Akak sudah ngajukan pinjaman? Memangnya masih bisa?”
Rusdi mengiyakan seraya bergegas keluar ruangan. Ia tidak ingin Rossy melihat kilatan dusta di matanya.
…
“Ma, ini beneran pinjam, ya. Saya akan ganti insyaallah, Mama harus terima. Tapi, tolong jangan beri tahu Rossy soal pinjaman ini.” (*)
Ciawi, 30 Agustus 2020
Ika Mulyani, lahir di Bogor, 44 tahun lalu. Di sela kesibukannya sebagai ibu dari dua anak, ia juga mengajar matematika di sebuah bimbel. Hobi membaca membuatnya mencoba untuk menulis, dengan harapan dapat berbagi sedikit ilmu dan inspirasi. Salah satu mimpinya adalah, menulis buku “Fun Math for Kids and Moms”.
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata