Dustaku dan Secangkir Kopi

Dustaku dan Secangkir Kopi

Dustaku dan Secangkir Kopi

Oleh : Sri Handayani

 

Pernahkah kamu melakukan gerakan karena dorongan hati? Pernahkah kamu meyakini dengan kukuh bahwa ada seseorang bergerak sama denganmu meskipun berada pada ruang yang jauh? Aku dan dia sudah melakukan hal ini selama lima warsa. Setiap tanggal dua puluh satu Mei kami bertemu, sesulit apa pun rintangannya kami selalu berhasil membuat dari muskil menjadi nyata. Tak perlu ada kesepakatan tertulis ataupun lisan yang keluar, hati telah ikrar sehingga tubuh bergerak ke arah tujuan yang sama. Pada tempat dan waktu yang sama, kami selalu menepatinya.

Kali ini aku datang ke kedai lebih awal darinya dan bertanya-tanya, mungkinkah dia menyiapkan sesuatu? Ah … tidak, aku tak mau menduga yang manis-manis, karena pada kenyataannya yang terjadi malah kebalikannya. Dari balik kaca terlihat hujan masih membasahi Bumi. Aku tersenyum getir. Gerimis, kedai, kopi, sore hari, berkelebatan dalam ingatan, suasana mirip seperti sekarang, layaknya déjà vu lima tahun silam.

“Aauuww!” pekikku.

Ternyata bukan aku saja yang mengucapkan kata tersebut, di sebelah kiriku ada seorang laki-laki dengan pakaian basah—sama seperti keadaanku—masuk bersamaan. Tentu saja pintu ini tidak akan muat dengan badan kami yang berimpitan. Kami sama-sama terjepit di pintu masuk kedai.

“Maaf.”

Lagi, kami mengucapkan kata yang sama secara bersamaan.

Aku mundur, mempersilakan dia masuk terlebih dahulu, DAN pada saat yang sama dia pun melakukan hal itu. kami saling pandang sampai akhirnya dia mengayunkan tangan kanannya ke depan dengan sopan.

Lady first,” ucapnya dengan tersenyum ramah.

Harusnya turun dari angkot hijau ini, aku naik angkot merah satu kali untuk sampai rumah, tapi begitu mataku melihat lurus ke depan ada sebuah kedai, tanpa berpikir panjang aku memutuskan menyeberang lalu masuk untuk berteduh sekaligus menghangatkan badan dengan secangkir kopi panas. Rasanya cukup menghabiskan senja yang basah sambil menikmati minuman favorit.

Ternyata suasana di dalam cukup ramai, mungkin orang-orang memiliki tujuan yang sama denganku, aku menoleh ke kiri, dia menoleh ke kanan, otomatis kami saling berpandangan, aku tersenyum kikuk berada pada posisi seperti ini.

“Ke sana, yuk! Ada meja kosong,” ajaknya.

Tebersit ragu sesaat, tapi akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti langkahnya dari belAkang.

“Tidak apa-apa kita satu meja?” tanyaku

“Aku yang seharusnya nanya, kamu tidak apa-apa duduk denganku?” Dia balik bertanya.

Seorang pelayan menghampiri, memberikan kami selembar kertas.

“Robusta,” pesan kami bersamaan.

“Tam—” Lagi kami berbicara bersamaan tapi dia tidak melanjutkan, membiarkanku melanjutkan.

Brown sugar terpisah,” lanjutku.

“Aku lebih manis, pake susu.” Kami saling melempar senyum, lalu menekuri lagi kertas menu yang berada di atas meja.

“Pisang panggang,” ucap kami serentak, kami saling tertawa.

“Kompakan lagi, dapet piring, nih,” kelakar sang pelayan.

Lalu kami pun tertawa lagi.

“Ada lagi?” tanyanya dengan sikap tangan kiri dilipat diatas meja sedangkan tangan kanan menangkup pipi, sambil memandangku. Aku pun risi dibuatnya.

“Cukup,” jawabku.

Dalam waktu singkat kami memiliki pikiran yang sama. Kebetulan? Entahlah. Seperti awal pertemuanku dengannya, apakah kebetulan juga? Tidak, semua sudah di gariskan. Aku menghela napas pendek, tak patut kiranya menyesali sebuah takdir. Bukankah sebuah keputusan sudah diambil?

“Hai, sudah lama nunggu, maaf, ya?” sapanya. Aku gelagapan, tak menyadari kedatangannya, atau mungkin aku saja yang terlalu asyik menjelajahi masa lalu. Aku menggeleng sambil memberikan senyuman termanis.

“Tidak, masih bisa ditoleransi, kok, telatnya,” hiburku.

Rambut hitam keriting dikuncir, kemeja biru digulung hingga siku, celana panjang berbahan jeans biru, penampilannya sedikit basah tapi itu tak mengurangi pesonanya. Jika saja status kami berbeda, aku ingin menenggelamkan wajahku ke dada bidangnya, mendengarkan irama jantungnya, menceritakan keresahan, meluahkan rindu yang menyiksa.

“Rambutnya, sengaja dipanjangin?” tanyaku.

“Iya, cari suasana baru.”

“Sekarang moccacino?” Dia melihat kopi dihadapanku.

“Iya.”

“Seleranya sudah berubah? Kenapa?”

“Cari suasana baru,” jawabku meng-copy ucapannya.

“Tapi masih robusta?” kejarnya.

“Tidak, ini arabika.”

“Oh,” ucapnya pelan.

“Untuk Akang, sudah dipesan?”

“Belum, takut berubah selera.”

Dia diam menatapku lekat, “Neng, tahu, selera Akang tetap sama sekarang hingga nanti.”

Aku mengalihkan pandangan, entah ditujukan untuk apa ucapannya tersebut. Jantungku berdegup kencang, ditatap sedemikian rupa tetap membuat wajahku menghangat. Ah … rasa itu ternyata masih bertahta.

Lalu kami terdiam cukup lama, hingga pesanan kopinya datang.

“Apa kabarmu, Neng?”

“Baik, Akang?”

“Sama seperti, Neng.”

“Masih kerja? Suami yang nyuruh Neng kerja?”

“Tidak.”

“Mengenai gaji, aku hanya mengambil untuk bensin dan untuk makanku saja, selebihnya diserahkan semua untuk ibu beserta adik-adikku. Mereka masih tanggung jawabku sepenuhnya. Aku harap kamu mengerti.”

Meskipun terkejut dengan keputusannya yang sepihak, aku hanya mengangguk, tanda mengerti posisinya sebagai kakak tertua yang memiliki dua adik perempuan yang masih bersekolah dan seorang adik laki-laki yang baru masuk kuliah.

“Untuk nafkah, aku belum bisa memenuhinya. Uang gaji kamu untuk kebutuhanmu sendiri, tidak perlu memikirkan kebutuhanku.”

Lagi aku hanya bisa mengangguk paham.

“Hei!” Dia menjentikan jarinya tepat di depan wajah, menarik pikiranku yang sedang melayang ke awal pernikahan.

“Bener, Neng baik-baik saja?” Raut khawatir tergambar jelas.

“Baik, tidak perlu cemas seperti itu. Kabar istri dan anak, Akang?”

“Yakin ingin tahu kabar mereka?”

Ketika mengucapkan kata “anak”, dadaku seketika sesak karena rindu. Untungnya pekerjaanku yang memungkinkan aku setiap hari berinteraksi bersama anak-anak, sudah cukup mengobati kerinduan akan sosoknya.

“Kalau ada waktu kita pergi ke bidan, konsultasi kontrasepsi apa yang cocok denganmu, aku belum siap memiliki anak. Bukan tidak mau, hanya keadaan tidak memungkinkan.”

Satu kejutan lagi di awal pernikahan, ingin membantah tapi akhirnya aku memahami jalan pikirannya.

“Untuk itu, maaf aku belum bisa menyentuhmu.”

Untuk kesekian kalinya aku mengangguk patuh.

“Akang tidak mau menjawab, jika nyatanya melukai. Apa Neng Bahagia hidup bersamanya?”

Bahagiakah aku? Entahlah, sejak lima tahun silam arti kata bahagia menjadi sangat rancu buatku.

“Tentu saja. Akang?”

“Melihat mereka bahagia itu sudah cukup membuat Akang bahagia. Akang sudah melaksanakan tugas sebagai seorang anak, suami dan seorang ayah. Jangan menuntut Akang lebih jauh lagi, Akang belum bisa.”

“Maafkan Bapa melibatkanmu. Kamu satu-satunya perempuan yang sedang dekat dengan anak Bapa. Siapa tahu dia mau mendengarkanmu. Kasihan ibunya sakit gara-gara memikirkan ini.”

Suatu hari saat jam makan siang, ada seorang laki-laki paruh baya menemuiku. Meminta hal yang sama, bukan sekali-dua kali tapi berkali-kali. Jadi mana mungkin aku menolak permohonanny? Apalagi mendengar sang istri sakit. Sang keponakannya sedang mengandung, tanpa tahu siapa lelaki yang bisa diseret untuk mempertanggungjawabkannya.

Kedekatan kami belum genap satu tahun dihitung awal bertemu di kedai, perlu proses yang tidak sebentar untuk bisa merubah pendiriannya. Ada perdebatan alot di dalamnya.

“Melaksanakan titah orang tua sebagai tanda bakti Akang untuk mereka. Mereka sudah berkorban untuk Akang, mungkin sekarang saatnya giliran Akang, coba lihatlah dari sisi lain.”

“Neng, ingin tahu mengapa Akang menolak usulan mereka semua?” Dia menatapku tajam.

Aku menggeleng.

“Karena Neng.” Suaranya meninggi.

“Maksudnya?”

“Apa Neng tidak ada rasa lain sedikitpun untuk Akang?”

Aku tidak langsung menjawab, perlu tarikan napas yang dalam untuk mengatur degup jantung, memalingkan kepala ke samping agar rasa ini tak terbaca lewat wajah. “Tidak,” tegasku. “Pembohong!” Terdengar derit kursi bergeser cukup keras, dia pergi dengan membawa amarah, menutup pintu kedai dengan emosi, hingga orang-orang yang berada di dalam semua berpaling menatap ke arah yang sama.

Sejak perdebatan itu, lima purnama kami tidak bertemu. Sampai pada musim kemarau panjang, ketika matahari sedang terik-teriknya, seorang lelaki paruh baya menemuiku lagi dengan tergopoh, menyerahkan sebuah kartu dan berucap, “terima kasih atas bantuannya.”

“Sudah mau magrib. Pulanglah, yang di rumah sedang menanti.”

“Kita pulang bareng!”

“Duluan saja, masih ingin di sini.”

“Ada suami sedang menunggu.”

“Dia sedang lembur hari ini.”

“Baiklah, jaga diri dengan baik, jangan sampai telat makan!”

Aura pulang berbanding terbalik ketika datang, seiring punggungnya yang menghilang dari pandangan. Ada yang terhempas dan terasa hampa. Tak ada orang yang sedang menanti kedatanganku di rumah. Aia pergi entah sampai kapan, dan aku seperti biasa akan memeluk dalam kesunyian.

“Aku dipindahkan ke kantor cabang, di sana gajinya lebih besar, aku harus pergi, ini bukan untuk keluargaku saja tapi ini untukmu juga.”

Sudah dua tahun semenjak dia mengucap kalimat itu, hingga kini tak ada kabar lagi, begitu pun dengan ibu beserta adik-adiknya, mereka raib bak di telan Bumi.

Aku memanggil pelayan, memesan kopi robusta dengan brown sugar terpisah, selera yang tak kan pernah berubah, dengan hujan yang masih setia menemani dan secangkir kopi yang menjadi saksi dustaku selama ini. (*)

 

Sri Handayani. Seorang ibu rumah tangga, yang baru menemukann hobi menulis di usinya yang telah jelita: jelang lima puluh tahun. Dari hobi barunya dia menemukan dunia yang menakjubkan. Karena dengan menulis bisa “bersuara” dan bebas berekspresi

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Sumber Foto

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply