Duniaku Berbeda

Duniaku Berbeda

Oleh: Siti Nuraliah

Dia–laki-laki tampan di sampingku–mengajakku tersenyum, mengurai rambutnya dengan jari dan mengedipkan sebelah mata ke arahku. Aku tidak tahan untuk tidak mengulum senyum. Setiap aku ke tempat ini, dia yang pertama kali menyapaku. Aku ingin berkenalan dengannya. Tapi aku perempuan, mana mungkin menjatuhkan harga diri dengan mengajak berkenalan dia lebih dulu.

Aku mengedarkan pandangan dan mendapati seorang perempuan yang duduk tidak jauh dari laki-laki itu memelototiku tidak suka, aku memalingkan wajah ke arah luar jendela. Suara bisik-bisik seperti membicarakanku terdengar jelas di belakang. Aku memutar badan, sekumpulan perempuan tertawa-tawa sambil terus memperhatikanku.

Kuhampiri mereka dan menegurnya sambil menggebrak meja.

“Apa yang kalian tertawakan, hah!” Kupandangi satu-satu wajah mereka, “Ayo ngomong, mau ngomong apa? Jangan beraninya ngomong di belakang doang! Sini depan mukaku!” Aku menunjuk wajah sendiri dengan telunjuk, mereka masih saja tertawa-tawa. Membuatku geram ingin melemparkan gelas yang berada di hadapanku ke wajah salah satu perempuan yang paling cantik.

Kesal karena dicuekin, aku menarik taplak meja. Piring, gelas, dan sendok-sendok di atasnya berhamburan ke lantai. Orang-orang di tempat ini serempak menengok ke arahku dengan mata-mata yang penuh pertanyaan.

Ibu yang masih mengantre untuk membayar makanan kami, berlari menghampiriku. Menarik tanganku dengan paksa sambil berbisik, “Kamu ini, Ibu sudah bilang jangan jauh-jauh dari Ibu.”

Orang-orang memberi jalan kepada Ibu, menyilakannya membayar lebih dulu. Aku ditarik ke luar dan dimasukkan ke dalam mobil, dengan sebelumnya dia meminta maaf kepada pemilik warung makan.

Di dalam mobil, Ibu mendiamkanku. Aku tahu dia sangat marah. Namun, itu tidak akan lama, Ibu selalu memeluk setiap kali selesai memarahiku. Kali ini Ibu berbeda, dia terus saja diam sepanjang jalan.

Aku masih ingat, waktu itu aku sedang asyik mengobrol dengan teman-temanku yang kubawa ke rumah. Mereka tertawa terlalu kencang, melihatku berjoget menggeol-geolkan pinggul. aku ikut tertawa juga. Kami tertawa bersama-bersama. Ibu menggedor pintu kamarku memberi isyarat agar aku tidak terlalu berisik.

Teman-temanku tidak mau berhenti. Mereka terus saja tertawa, aku memarahi mereka.

“Sudah, jangan tertawa terus, ibuku nanti marah lagi!”

Mereka malah bergantian menggerak-gerakkan pinggul seperti menggodaku untuk kembali tertawa. Aku tidak kuat, melihat gerakan salah satu temanku yang sangat kaku. Dia tidak bisa berjoget. Aku tertawa, kami kembali tertawa bersama.

Gedoran di pintu kamarku terdengar lagi.

“Non Putri, ini Mbak Mira buka dulu pintunya!”

Mbak Mira, kata Ibu dia pelayan di rumahku sejak aku masih kecil. Sampai usiaku sudah delapan belas tahun, dia masih setia merawatku.

“Ada apa, Mbak? Aku sedang main sama teman-temanku. Mbak mau ikut berjoget?”

Aku membuka pintu, meminta Mbak Mira masuk. Dia membawa nampan berisi segelas air dan beberapa butir permen. Serta buah apel hijau kesukaanku. Mbak Mira meletakkan nampan itu di nakas dekat teman-temanku.

“Mbak, teman-temanku enggak dikasih minum? Itu banyakan, ‘kok bawa cuma buat aku?”

Mbak Mira hanya melirik mereka yang masih cekikikan, lalu tersenyum kepadaku.

“Iya, nanti teman-teman Non Putri suruh ambil sendiri saja, ya! Non Putri minum dulu, dan makan permennya ya, sudah bisa, kan? Makan permennya ditelan terus didorong dengan air, oke!” Mbak Mira menautkan jari jempol dan telunjuknya hingga membentuk huruf o.

“Iya, Mbak. Terima kasih!”

Sebenarnya aku tidak mau makan permen itu, sebab nanti aku akan sangat mengantuk. Jika sudah begitu, aku akan tidur dan saat aku bangun, teman-temanku sudah pada pulang tidak pernah berpamitan kepadaku.

“Kalian mau gak?” aku menyodorkan permen itu kepada mereka. Mereka semua menggelengkan kepala.

“Ayo makan ini, kalian harus coba. Ini enak! Cara makannya tinggal ditelan saja!” mereka semuanya berhenti tertawa, saat aku memasukkan butir terakhir permenku.

Seperti yang sudah aku bilang, mataku mulai berat dan beberapa kali sudah menguap. Untuk menghilangkan rasa kantuk, aku mengajak mereka lagi untuk berjoget. Tapi mereka malah tetap diam, dan memperhatikanku. Sampai-sampai mata mereka semua tidak berkedip. Aku juga sudah tidak kuat, mataku sudah sangat sulit untuk dibuka.

“Ayo joget lagi! Aku tidak mau tidur, nanti kalian pulang tida pamitan lagi.”

Pintu kamarku digedor lagi, kali ini Ibu masuk ke kamar dengan wajah lelah. Aku tahu, dia baru saja pulang kerja waktu aku mengajak teman-temanku ke rumah.

“Putri!” Ibu membentakku.

Bila sudah melihat wajah Ibu lelah dan marah, aku menurut. “Maafin Putri, Bu!”

“Tidur, Nak …,” mata Ibu membulat.

“Ini lagi, apaan?” Ibu menyingkirkan semua teman-temanku keluar jendela.

“Jangan, Bu. Kasihan mereka, suruh keluar lewat pintu saja,” aku merengek memeluk tangan Ibu. Rasa kantuk yang kuat membuat tubuhku seperti tidak bertenaga. Aku tersungkur saat Ibu menepis tanganku.

“Diam, kamu!” Ibu membentak membuatku ketakutan. Aku menangis tersedu-sedu.

Melihatku yang menangis meringkuk memeluk lutut, Ibu akhirnya luluh. Dia memelukku sambil menangis, “Maafkan Ibu, Nak! Ibu Khilaf!”

Aku berpikir, Ibu akan memelukku sama seperti waktu itu, tapi dia masih tidak mengajakku bicara. Sehingga aku menyadari, ini bukan jalan pulang ke rumah.

“Kita mau ke mana, Bu?” Aku melirik ke arah Ibu, dia mengusap butiran bening di pipinya.

“Kok Ibu nangis? Putri minta maaf!” Aku menundukkan kepala.

Ibu memelankan laju mobilnya, kemudian berhenti di sebuah gedung. Aku ingat, aku pernah ke sini beberapa bulan yang lalu.

“Silakan duduk cantik!” Perempuan berjas putih itu tersenyum menyilakanku duduk saat aku dan Ibu sudah berada di ruangan yang dingin dengan aroma yang khas.

Ibu mulai membuka pembicaraan dengan perempuan itu. Mereka duduk sedikit lebih jauh, aku mencuri dengar ucapan Ibu, “Dokter, bagaimana, ya? Putri sudah satu minggu ini kembali berbicara dengan gambar-gambar dan poster lagi!”

***

Banjarsari, 14 Juli 2020

Siti Nuraliah, perempuan sederhana penyuka sastra. Kadang suka menulis, kadang suka membaca. Penulis pemula yang selalu berusaha memperbaiki tulisannya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply