Dunia Terbalik
Oleh: Ety Wulandari
Pilihan Gambar: Gambar 4
Terbaik ke-6 Lomba Cermin Lokit
#Menerjemahkan_Gambar
Aku masih termangu di depan lemari pendingin dengan deretan minuman berbagai pilihan. Mata yang telah dibantu dengan kacamata tebal ini sibuk memindai dari rak bagian paling atas hingga paling bawah. Minuman ringan bersoda dengan berbagai rasa, minuman yang mengandung isotonik, berbagai kemasan vitamin C dosis tinggi, susu UHT, jus kemasan, kopi, teh, dan berbagai macam jenis minuman yang membuatku bingung menentukan pilihan.
Biasanya, istriku yang menentukan pilihan saat belanja bersama. Namun, kesibukan pekerjaan akhir-akhir ini, membuat dia tak sempat memperhatikan keadaan rumah. Hingga membuatku tersadar ketika membuka lemari pendingin untuk mencari minuman segar siang tadi, ternyata kami telah kehabisan stok minuman dan makanan. Bahkan susu persediaan Noe pun tinggal sedikit.
Siang ini cukup terik, tetapi tak menyurutkan langkahku membawa Noe belanja di minimarket terdekat dari kompleks tempat tinggal kami. Lelaki kecil yang sangat suka digendong kanguru ini tak henti berceloteh sepanjang perjalanan. Dan kini tangannya yang mungil tak henti menggapai pintu lemari pendingin yang terbuat dari kaca. Matanya tak lepas dari warna cerah minuman yang berjajar rapi sambil menggumam tidak jelas.
“Noe mau yang mana?” tanyaku saat melihat tangan kecil itu meraba pintu lemari pendingin.
“Mas Han sama Noe lagi belanja, ya. Enak banget, ya, kalau jadi bapak rumah tangga. Istri kerja banting tulang, suaminya momong sambil belanja,” sapa Bu Is setengah mencemooh. Tetangga sebelah rumah yang seusia ibuku itu, tiba-tiba muncul di sebelah tanpa kusadari.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk tanpa membalas ucapannya sepatah kata pun. Telingaku sudah terlalu tebal, setebal Tembok China untuk mendengarkan kalimat seperti itu. Bahkan ibuku sendiri sering berkata demikian. Semenjak lulus kuliah, aku memilih bekerja di rumah, dan kembali ke kampung halaman. Di mata Ibu, pekerjaan bagi lulusan universitas itu haruslah di kantor atau di instansi pemerintah. Setiap pagi berangkat dengan seragam yang rapi dan wangi serta pulang sore hari. Selalu menerima gaji setiap bulan, itulah yang selalu mereka banggakan.
Sedangkan di rumah, aku hanya berada di depan laptop tanpa mandi, baju acak-acakan, sampai rambut pun mulai panjang tak terawat. Omelan demi omelan untuk mencari pekerjaan terus terngiang sepanjang tiga tahun. Bapak yang pendiam tak banyak bicara, hanya sesekali mengajak ke toko untuk mengajariku berdagang hasil bumi. Dan selalu kutolak dengan berbagai alasan. Andaikan kuberitahu pekerjaan yang aku jalani sesuai jurusan kuliah dulu di teknik informatika pun, pasti juga tak akan paham.
Menikah dengan Anna bagaikan penyelamatan atas dentuman bom yang tiap hari menyerang. Anna sahabatku semasa kuliah sangat memahami pekerjaanku yang tak terikat waktu. Setelah menikah aku membeli rumah untuk keluarga kecil kami di pinggiran Surabaya. Ibuku masih saja tak percaya aku mampu membeli rumah dengan tabunganku sendiri yang selama ini tak pernah dia tahu. Aku masih saja dianggap pengangguran.
“Nak Anna, kalau Han menyulitkanmu, jangan sungkan mengadukan pada Ibu,” pesan Ibuku sebelum kembali ke kampung.
“Han lelaki bertanggung jawab dan baik, Bu. Jangan khawatir,” ucap Anna sambil tersenyum dan menggenggam tangan Ibu.
Sebelum menikah, banyak hal kami bicarakan tentang kekurangan kami. Bukankah pemicu keretakan rumah tangga adalah kekurangan masing-masing pasangan yang disembunyikan? Anna berkata tak bisa memasak, kukatakan aku pandai memasak. Anna mengatakan ingin menjadi dosen setelah lulus tesis S2-nya nanti, dan sepenuhnya kudukung keputusannya itu. Pekerjaanku cukup fleksibel, jadi kami bisa bersama-sama mengelola rumah tangga dengan berbagi peran.
Bahkan ketika Noe hadir di antara kami, aku memutuskan akan merawat Noe tanpa bantuan siapa pun. Apabila wanita bisa melakukan pekerjaan rumah tangga, apa salahnya lelaki pun melakukannya? Istriku menjadi dosen di salah satu Universitas ternama. Urusan makan bisa pesan katering milik teman Anna, dan baju tinggal dicuci serta disetrikakan oleh layanan laundry. Sementara bersih-bersih rumah bisa dilakukan sewaktu-waktu. Dan karena itu, istriku sering menggodaku dengan panggilan bapak rumah tangga. Aku tak keberatan sama sekali. Orang tua Anna yang tinggal di Surabaya timur pun sesekali berkunjung bila merindukan cucunya.
Kami sangat menikmati peran masing-masing, tetapi rupanya tidak demikian dengan para tetangga. Budaya patriarki masih sangat dijunjung tinggi. Sekuat tenaga Anna mengabaikan bisik-bisik tetangga tentang dunia terbalik bagi mereka yang kami jalani, tetapi terkadang kesabaran itu runtuh dan dia menggerutu tak jelas bila sedang lelah hati.
Kesibukan penelitian yang menguras tenaga dan waktu membuat Anna harus merelakan kesenangannya berjalan-jalan dan belanja bersama seperti yang biasa kami lakukan. Dan seperti sekarang, aku harus di minimarket ini dan mengingat apa saja yang harus dibeli untuk stok satu minggu kedepan bersama Noe, putraku yang lucu. (*)
Surabaya, 21 September 2022
Ety Wulandari, belajar menulis dengan susah payah yang masih banyak kekurangan.
Komentar juri, Evamuzy:
Kesetaraan tugas istri dan suami dalam keluarga nyatanya masih sebatas wacana, bahkan ketika kehidupan menapaki masa modern macam sekarang. Dan lewat cerita ini, penulis mencoba menunjukkan isi kepala seorang suami yang (mungkin) sedang belajar untuk sadar bahwa melawan budaya patriarki akan membawa kehidupan keluarga yang damai. Agak kaku memang, tapi mungkin begitulah dialog-dialog yang memenuhi isi kepala laki-laki, ya. Namun sebab itulah cerita ini terasa lebih natural. Selamat untuk penulisnya. Kami tunggu di kompetisi selanjutnya.
Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)