Dunia Tanpa Suara

Dunia Tanpa Suara

Dunia Tanpa Suara
Oleh: Vianda Alshafaq

Jam dinding menunjukkan angka tiga dini hari. Terlihat dari jendela kaca dengan bingkai papan, gerimis masih turun. Lampu dalam kamar seluas 3 X 4 meter itu masih menyala. Tak heran, memang. Sebab pemiliknya memang terjaga setiap jarum jam menunjuk angka tiga dini hari.

Matanya menatap monitor laptop yang bercahaya sedikit redup. Ia mulai mengetuk-ngetukkan jarinya di atas keyboard yang berwarna hitam. Kesunyian malam itu dengan pemandangan gerimis yang mulai jarang, menemaninya menuliskan ide-ide yang datang entah dari mana. Barangkali dari embusan angin yang membuat rambut sepinggangnya beterbangan.

Dengan lincah, jarinya masih mengetuk tombol-tombol huruf itu. Bahkan ia tak menyadari bahwa ia telah menulis selama satu jam. Ia selalu begitu, seperti menemukan dunianya sendiri jika sudah berhubungan dengan keyboard hitam laptopnya.

****

“May, kamu jadi ketemu sama teman SMA-mu itu hari ini?” tanya Marni, ibu Maya, ketika melihat anaknya mencuci piring lebih cepat hari ini.

“Jadi, Bu. Setelah mencuci piring, Maya langsung siap-siap.”

“Ya sudah, yang penting hati-hati di jalan. Jangan pulang malam-malam. Jangan lupa makan siang. Jangan lupa bawa ponsel kamu biar Ibu bisa hubungi kamu nanti,” omel Marni pada putri bungsunya itu.

“Iya, Ibu. Insyaallah, nggak bakal.” Maya hanya tersenyum manis kepada wanita  yang berdiri di sampingnya.

Setelah setengah jam, Maya selesai mencuci piring. Ia mulai bersiap-siap untuk pergi. Ah, dia benar-benar merindukan teman lamanya itu.

Gamis abu-abu dengan kerudung hitam terlihat pas di tubuh Maya. Sebuah tas kecil ia sampirkan di bahu kanannya. Kakinya ditutupi sepatu berwarna hitam yang terlihat manis dengan hiasan manik-manik di atasnya.

Sembari berkaca, ia berkata, “Selamat bertemu kembali, teman lama.”

Setelah merasa tampilannya pas, Maya meraih ponselnya di atas kasur dan kemudian mulai meninggalkan rumah menuju tempat yang sudah ditentukan bersama temannya. Maya harus berjalan sekitar tiga ratus meter untuk sampai di halte. Rumput-rumput hijau yang hidup di pinggir jalan menjadi temannya menempuh jalan itu. Jalan setapak yang ia tempuh saat ini, mulai jarang ditempuh masyarakat setempat. Sebab sudah ada jalan baru yang lebih besar. Hanya saja, untuk ditempuh pejalan kaki, jalan itu terlalu jauh dari halte. Jalan itu biasanya dipilih oleh pengendara motor atau mobil.

Maya sudah sampai di halte. Syukurnya, sebuah angkot kuning yang bisa ia tumpangi menuju kota sudah ada di sana. Jadi ia tak perlu lagi menunggu.

***

Satu jam telah ia tempuh menuju kota. Kini, Maya berdiri di depan sebuah kafe bercat merah. Kafe dengan ciri khas serabi bandung ini terlihat ramai, seperti biasa. Maya menoleh ke segala arah, mencari keberadaan temannya. Hingga di kursi paling sudut yang langsung mengarah ke jalan raya, ia melihatnya. Gadis gembul dengan segelas jus yang sedang ia seruput.

Dengan senyuman yang mengembang, ia mendekat.

“Assalamualaikum, Fa.”

“Waalaikumussalam, May. Ih, aku kangen banget sama kamu. Susah banget, sih, ketemu sama kamu. Segitu sibuknya, ya, Neng Penulis?”

Begitulah Syifa, teman lamanya yang sangat cerewet. Bahkan ia lupa menyuruh Maya untuk duduk dan memesan makanan. Kecerewetan Syifa itulah yang membuat Maya merindukannya. Maya mengamati Syifa dengan teliti. Gadis itu tak berubah sama sekali meskipun mereka sudah tidak bertemu sejak dua tahun lalu. Gelang-gelang kain seperti tali sepatu masih terikat di pergelangan tangannya, kulit putihnya masih terlihat mulus seperti dua tahun lalu. Mungkin ia masih sempat perawatan di sela-sela waktu setelah merampungkan laporan praktikum fisikanya. Gadis itu memang suka merawat diri.

“Aku berdiri aja, nih?”

“Hehehe … monggo duduk. Lupa aku.”

“Wah, mentang-mentang tinggal di Pulau Jawa, nih. Main pakai bahasa di sana. Untung aku paham kata itu maksudnya apa.”

“Kamu pesan apa? Biar aku yang pesan, tadi aku cuma pesan jus ini doang,” ujarnya.

“’Mmm … serabi sama lemon tea aja.”

“Oke, Nona Sumatra.”

“Apa, sih, Fa. Kamu juga orang Sumatra, nggak usah gaya-gayaan jadi orang Jawa. Baru merantau dua tahun juga.”

Dan, inilah Maya jika bersama orang yang ia percaya. Ia akan lebih terbuka dan cerewet. Tidak banyak yang bisa dekat dengannya. Sikapnya yang pendiam, membuat orang enggan untuk mengajaknya berbicara.

****

“Tadi aku hampir nyasar, loh, May.”

“Lah, kok bisa?” tanya Maya dengan kening berkerut.

“Lupa jalannyalah kalau kesasar. Kamu gimana, sih, May? Segitu capeknya ya otakmu karena dipaksa kerja rodi tiap malam?”

“Bukan gitu, Fa. Ini kan tempat favoritmu. Ya, aneh aja kalau kamu lupa.”

“Kamu lupa kalau kita memang aneh?” tanya Syifa dengan mata yang menatap temannya.

“Kamu aja, bukan kita.”

Syifa hanya cengengesan.Ya, memang hanya dia yang aneh. Dia sudah mengakuinya sejak SMA dulu.

“Eh, ngomong-ngomong kamu masih nulis, May?” tanya Syifa mengalihkan topik.

“Masih, Fa.”

“Masih betah aja. Padahal kan pajaknya gede, bajakan di mana-mana, ebook juga tersebar. Kan rugi juga, May. Kata orang, nih, pembajakan itu sulit banget dihentikan. Bahkan aku juga pernah lihat buku kamu ada bajakannya. Kan sayang, May. Kamu udah capek kerja rodi tiap malam, terus hasilnya digituin.”

Maya tersenyum.Tangannya meraih gelas lemon tea yang masih tersisa separuh. Matanya menoleh ke arah kiri. Tepat di depan matanya, seorang anak sekolah sedang memegang sebuah novel yang entah dengan judul apa, yang jelas kertasnya adalah kertas koran, ciri khas buku bajakan.

“Kamu coba lihat ke sebelah kiri, Fa.”

“Kamu lihat anak sekolah itu? Ia memegang sebuah buku dengan kertas koran. Terlihat jelas ‘kan dari sini? Sebuah buku bajakan, seperti katamu. Memang benar, Fa, dunia menulis itu orang bilang cukup kejam bagi penulisnya. Pajak yang semakin tinggi memang merugikan. Tapi, siapa yang mesti disalahkan tentang ini? Pemerintah? Entahlah, aku tidak tahu. Tentang pembajakan, kurasa memang sulit dihentikan. Pun juga seperti katamu, merugikan penulisnya. Tapi, kamu lihat pemandangan di sampingmu, penikmatnya anak sekolah. Harga buku yang kurang bersahabat dengan kantong mereka, membuat mereka memilih jalan lain. Jika benar buku adalah jendela dunia, semestinya ia harus tersebar dan sampai ke generasi muda. Jika harganya selangit, sementara uang yang mereka terima hanya pas-pasan dari orangtua, bagaimana mereka dapat membaca buku itu. Novel memang hanya cerita fiksi, bukan buku pelajaran atau pedoman. Tapi dalam novel pun ada nilai moral yang mestinya tertanam dalam diri seseorang. Dengan caranya yang menghibur, novel menjadi jalan lain untuk mengajarkan nilai-nilai moral. Tentang pembajakan ini, aku tidak mau terlalu menggerutu, Fa. Sebab aku juga tidak tahu solusinya seperti apa. Menurunkan harga buku, barangkali juga bukan pilihan yang mudah diambil oleh penerbit dan penulisnya,” jawab Maya dengan tenang.

“Dan, tentang ebook yang tersebar. Kupikir ini tak jauh berbeda dengan pembajakan. Hanya beda media mungkin,” lanjutnya.

“Tapi penulisnya rugi, loh, May. Kan mereka bisa minjam di perpus sekolah.”

“Tidak semua buku ada di perpus sekolah, Fa. Rugi? Ya, betul. Tapi, jika penulisnya aku, selagi bukuku bisa dibaca banyak orang dan nilai yang ingin aku sampaikan mereka dapatkan, tak apa juga. Toh, niatku menulis juga bukan sepenuhnya sebagai pundi-pundi uang.”

“Kamu sungguh-sungguh menulis karena sebatas kegiatan yang kamu suka?”

Maya hanya tersenyum dan mengangguk sedikit. Memang benar begitu. Meskipun ia mendapatkan uang dari tulisannya itu, tujuan utamanya memang bukan untuk mencari uang.

“Kenapa kamu sebegitu sukanya sama menulis, May? Padahal, sekali lagi aku bilang, kerugiannya banyak.”

“Karena dengan menulis, aku tak perlu bersuara.” (*)

 

Vianda Alshafaq, gadis remaja penyuka senja. Bisa dihubungi melalui Facebook: Vianda Alshafaq.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata