Dunia tanpa Diriku
Oleh: Yuliawanti Dewi
Aku keliru. Kukira di kelas Bahasa ini kami hanya belajar cara membuat cerpen dan puisi saja. Ternyata aku salah, di sini kami dituntut untuk bisa membaca puisi dengan baik dan benar.
Ya Tuhan … itu sungguh merepotkan. Aku tak pandai berekspresi di depan umum. Malu. Ya, aku malu. Aku tidak seperti mereka yang mampu tertawa lepas atau menangis di depan orang banyak. Aku bukan mereka. Aku hanyalah gadis tanpa ekspresi yang duduk di bangku pojok paling belakang. Aku seorang pendiam. Aku lebih suka menghemat suaraku daripada terus berbicara tentang kabar burung yang belum terbukti kebenarannya. Aku juga seseorang yang abstrak. Terkadang keberadaanku tak pernah diketahui oleh mereka. Mungkin karena aku terlalu sunyi, atau apakah aku terlihat suram?
Kertas di meja masih saja tampak kosong. Aku bingung harus menulis apa. Aku tidak memiliki kenangan indah seperti mereka yang duduk di depanku. Cinta … bahkan kata itu pun tak pantas melintas di pikiranku. Aku tidak punya cinta. Memang aneh kedengarannya. Biasa masa remaja terkenal akan di mana mereka mengenal perasaan indah yang disebut cinta. Tapi, kenapa aku …? Ah, sudahlah. Tak ada cinta dalam hidupku. Kehidupanku terlalu monoton.
Aku kembali terpaku kepada kertas putih di hadapanku. Ingin sekali aku mencoretinya dengan untaian kata yang tersimpan dalam memori otakku. Tapi tiba-tiba saja semuanya lenyap entah ke mana. Aku kesal. Sangat kesal!
“Lho, kamu belum membuatnya?” suara sopan seorang lelaki membuatku tersentak dari lamunanku.
“Bukan urusanmu!” balasku dingin.
Laki-laki yang kuketahui bernama Ihsan itu malah tertawa seolah ada sesuatu yang lucu baginya.
“Kau memang lucu, Andien,” ucapnya sembari duduk di kursi kosong sebelahku.
Deg!!! Apa yang aku pikirkan? Kenapa wajahku tiba-tiba panas?
“Andien ….”
Aku tak berani menyahut. Kepalaku tiba -tiba lemas dan hanya mampu memandangi sepasang sepatu dekilku.
“Sebentar lagi giliranmu membaca puisi,” gumam Ihsan masih tetap memandang lurus ke depan.
“Aku tahu” singkatku.
“Lalu, kenapa kertasmu masih kosong?”
“Aku ….”
“Andien …,” Ihsan memotong perkataanku, sedetik kemudian ia kembali berkata “tulislah apa yang kau rasakan sangat ini. Kau tak perlu terpaku kepada teori.”
Diam. Lagi-lagi aku diam. Perkataanmu benar, Ihsan.
“Hei.” Refleks ia memegang kedua tanganku. Aku terperanjat kaget. Tatapan matanya yang begitu tajam membuat tubuhku bergetar hebat seperti ada listrik yang menyengat susunan sarafku.
“Kau pasti bisa. Semangat!” bisiknya sebelum enyah dari sampingku. Aku tetap diam, namun bola mataku mengikuti punggung tegapnya sampai ia duduk kembali di bangkunya sendiri.
Aku tersenyum. Tangan kananku segera meraih bolpoin yang tergeletak begitu saja di meja. Aku mulai menulis semua perasaan yang aku rasakan saat ini. Tak peduli bagaimana respons mereka nanti, aku tetap menikmati pemilihan diksi untuk dipajang di kertas putih kosong ini.
Aku berhasil mengotori sebagian kertas putih ini. Segelincir perasaan bahagia menyerubungi hatiku. Aku tersenyum. Kutebarkan pandanganku ke segala arah. Pandanganku terhenti di depan kelas. Di mana sosok gadis cantik tengah berekspresi dengan puisinya yang aduhai. Semangatku tiba- tiba hilang ketika kulihat seluruh mata memandanginya tanpa berkedip. Tubuhku tiba-tiba bergetar. Apakah mereka akan memandangku seperti itu ketika aku sudah ada di sana? Mustahil! Tapi ….
Kurasakan keringat dingin membanjiri seluruh tubuhku. Tanganku dingin sampai bolpoinku terjatuh begitu saja. Aku segera mengambil kembali bolpoinku, tapi sebuah suara sontak membuat pergerakanku terhenti.
“Andien Putu Wijaya.”
Deg!!! Jantungku seolah berhenti berdetak.
Aku mengangkat kepalaku. Kulihat Bu Dara tengah memandangku bersama yang lainnya.
“Sekarang giliranmu, Andien …,” panggil Bu Dara kembali.
“A–aku …,” ucapku terbata – bata.
“Ayo, Andien!”
Di bangku depan, Ihsan tengah tersenyum kepadaku. Aku membalas senyumannya. Namun itu tak cukup untuk menghilangkan perasaan gelisahku, aku merasa masih saja ada sesuatu yang mengusik hatiku. Apalagi kupingku menangkap bisikan pedas dari anak-anak.
“Andien? Aku baru dengar.”
“Aku tahu dia. Tapi, kupikir dia sakit.”
“Aku bahkan menyangka dia sudah mati. Hahaha ….”
“Gila kau. Hahaha ….”
“Serius. Habisnya dia selalu sendiri.”
“Gadis suram. Hihihi ….”
“Ini momen bagus, aku belum pernah mendengar suaranya.”
“Kurasa suaranya seperti setan perempuan yang selalu diam di pohon beringin. Hahaha ….”
“Hahaha ….”
Aku tak tahan lagi. Kutekan meja keras-keras lalu bangkit. Kupegang erat kertas milikku dan berjalan cepat ke depan kelas. Kini aku telah berdiri di depan kelas. Seluruh mata menatapku dengan tatapan jahatnya. Aku kembali goyah, lututku tiba-tiba lemas. Aku ingin menangis.
“Silahkan, Andien,” Bu Dara mempersilakanku untuk membacakan hasil karyaku. Aku menghela napas panjang. Tanganku bergetar saat memegang kertas puisi yang akan aku baca. Tapi aku tak boleh malu. Aku terlanjur melakukannya.
Dunia Tanpa Diriku.
Ketika aku lelah
Aku tidur
Ketika aku bosan tertidur
Aku bangun dan diam
Seperti itulah aktivitasku
Aku menamakannya monoton
Aku benci tempat ramai
Sebab di sana semua orang terlihat sibuk
Aku suka tempat sepi
Sebab ada kedamaian di sana
Aku selalu berpikir
Jika aku tiada
Apakah dunia akan kehilangan
Atau tidak peduli sedikit pun
Aku tahu
Ini pertanyaan buruk
Tapi …
Inilah yang saat ini aku rasakan
Selesai. Aku berhasil membacakannya. Segera aku kembali ke bangkuku. Aku tersenyum sendiri. Aku tak menyangka, tapi seperti inilah respons dari mereka. Tanpa tepuk tangan, tanpa apa pun. Hanya hening yang kudapat. (*)
Yuliawanti Dewi, gadis kelahiran Sumedang, 17 Agustus 1998. Saat ini tengah menimba ilmu di salah satu Universitas di Bandung. Selain hobi menulis dan membaca, dia sangat menyukai anime dan drama-drama genre sci-fi, fantasy dan thriller. Bisa dihubungi melalui emailnya: ydewi6656@gmail.com, FB: Yuliawanti Dewi, dan instagram: @yuliawantidewi.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita