Dukun dan Ayam
Oleh: Evamuzy
Menuruti akal pikirannya. Itulah makhluk bernyawa dan berjiwa,
Manusia.
***
Bi Rasti tak berhenti mengomel tiga hari ini. Amarah dan sumpah serapah meluncur bebas dari mulutnya yang meruncing. Yang keluar sudah mirip nyanyian sumbang di telinga.
“Duh, Gusti … siapa yang tega mencuri ayam-ayamku. Apa salahku kepadanya, bahkan aku tak pernah mencuri apa pun dari orang lain. Kusumpahi siapa saja yang mencuri ayam-ayamku, akan melarat sampai tujuh turunan.” Kalimatnya melengking tajam sambil mengelilingi tiap sudut rumah para tetangga. Mirip induk ayam kehilangan anak-anaknya. Padahal yang hilang ayamnya bukan anaknya, dan dia juga bukan seekor ayam.
Saban hari kerjaannya demikian, menabur sumpah serapah.sambil mengelilingi setiap sudut rumah.
Satu hari, dua hari, tiga hari sampai satu minggu, yang dicari, dinanti dan dirindukan tak kunjung pulang. Pencarian dan penantian tak kunjung mendatangkan senyuman. Bi Rasti sedih, pupuslah harapan menemukan ayam-ayam kesayangan.
Hingga akhirnya datang satu saran dari seorang tetangga yang peduli. Entah benar-benar peduli, kasihan atau karena sudah tak tahan dengan ulah Bi Rasti. “Cobalah Bi, pergi ke Mbah Darmo, dukun kita di kampung ini. Siapa tahu dia bisa membantu.”
Baiklah, dengan tekat kuat, Bi Rasti putuskan pergi ke rumah Mbah Darmo, seorang kakek tua yang tinggal sendirian di ujung desa. Mantra-mantranya dianggap ampuh dalam membantu berbagai permasalahan pelik orang-orang datang kepadanya. Perkara kehilangan, sakit, minta rezeki dilebihkan sampai perkara menemukan jodoh.
Sebenarnya bukan apa-apa. Bagi Bi Rasti kehilangan ayam-ayam kesayangan sama dengan kehilangan sebagian harta berharga. Jelas dia kelimpungan. Kalau sudah berhubungan dengan uang dan harta benda, kaum wanita memang seringnya begitu, bukan?
Ayamnya berjumlah empat ekor. Jika ayam-ayam tersebut terjual dengan harga lima puluh ribu rupiah per ekor, maka dia akan mendapatkan uang dua ratus ribu rupiah. Uang yang tak sedikit memang. Apalagi untuk seorang janda dengan satu anak. Dia harus hidup mandiri dengan pintar-pintar mengolah keuangan. Bi Rasti lebih memilih membayar “uang manjur” dukun yang hanya sebesar dua sampai tiga puluh ribu rupiah saja dibanding harus kehilangan uang hasil penjualan ayam yang lumayan. Membayangkannya saja pun dia tak rela. Apalagi harus benar-benar kehilangan.
Dengan langkah kaki mantap, Bi Rasti mendatangai rumah kecil milik Mbah Darmo. Pagar bambu yang dirakit sederhana menyambutnya. Sebuah rumah kecil yang tersusun dari setengah tembok semen dan setengah geribik anyaman bambu. Sebuah rumah dengan anggota keluarga Mbah Darmo seorang. Bi Rasti mengetuk pintu berupa papan kayu usang itu. Sang dukun membukakannya dan mempersilakan Bi Rasti masuk untuk menyampaikan tujuan kedatangannya. Dengan segan Bi Rasti mengurai kalimat demi kalimat permasalahannya, sang dukun mengangguk mengerti.
***
“Pulanglah dan kamu akan menemukan ayam-ayammu sedang makan di pekarangan rumah,” pesan sang dukun setelah melakukan ritual komat-kamit, merapalkan mantra.
Perintah sang dukun segera Bi Rasti kerjakan. Dia pulang dengan hati penuh harapan. Harapan menemukan para makhluk-makhluk kecil kesayangan.
Sesampainya di rumah, dia segera menuju halaman samping, tempat biasanya ayam-ayam itu mencari makan.
Seketika mata yang tak lagi muda itu berbinar. Karena benar, empat ekor ayam yang seminggu ini begitu dia rindukan, terlihat begitu cantik di mata. Cling! Bak penari balet sedang memamerkan kelihaiannya. Padahal sebenarnya di depan mata adalah ayam-ayam betina yang sedang mematuk-matuk makanan di tanah. Garis melengkung menyusup di kulit wajah keriput sang janda.
“Jampi-jampi Mbah Darmo manjur benar. Tak salah aku datang padanya,” lirih Bi Rasti. Wajahnya semakin semringah saja.
Namun ada hal yang tak Bi Rasti ketahui di sini. Luput dari penglihatan dan pendengarannya.
Satu jam sebelumnya.
Seseorang berniat menjual ayam-ayam itu, setelah beberapa hari ini mengurungnya di sebuah tempat rahasia. Mendengar sumpah serapah Bi Rasti yang berkali-kali, membuatnya terganggu dan takut sendiri. Takut apa? Takut kalau-kalau sumpah serapah sang janda manjur dan membuatnya miskin tujuh turunan. “Ih, amit-amit,” si pencuri bergidik. Kemudian diam-diam dia mengembalikannya di pekarangan rumah sang janda gesit, saat dirinya sedang pergi ke sang dukun.
Jadi, di sini mana yang lebih manjur, mantra sang dukun atau sumpah serapah Bi Rasti? (*)
Evamuzy, gadis penyuka warna cokelat muda.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata