Duka Ibu

Duka Ibu

Duka Ibu

Oleh: Retno Ka

 

Adakah kiranya seorang ibu yang sengaja menjerumuskan anaknya ke dalam marabahaya? Tidak bagi ibu lain, tidak pula bagi Indari. Lalu, mengapa orang-orang itu begitu mudah menyimpulkan bahwa kematian Din adalah semata-mata kelalaian dari ibunya sendiri? Suti sungguh tak habis pikir.

Mengandung sudah sangat payah, lebih-lebih melahirkan yang rasa sakitnya bagai sejengkal dari ajal. Barangkali ada, para ibu tidak siap itu, yang membuang bayi mereka begitu lahir—seperti kotoran di wajah yang hanya membuat malu jika tidak disingkirkan. Namun, Indari bukan ibu seperti itu. Suti tahu betul betapa Indari membesarkan Din dengan sempurna, hingga perangai anak itu seakan-akan menyatu dengan paras tampan yang kian hari kian terlihat.

Din sangat sopan, dan tak sekalipun menyusahkan. Ia justru begitu rajin membantu ibunya saat di kebun. Ikut mencangkul, menebar benih, dan menyiangi rumput-rumput. Barangkali sebab sejak kecil ia terbiasa dibawa bekerja oleh ibunya, hingga pemandangan itu jadi makanan sehari-hari untuknya. Selain tangannya yang terampil, ia juga jadi terbiasa bergaul dengan ibu-ibu yang juga bekerja sebagai buruh tani. Din adalah kebanggaan, yang kepadanya, sebuah simpati berlabuh lebih besar daripada kepada Indari, yang merawatnya. Saat Din berbuat kebaikan, semua orang akan memujinya tanpa mengingat peran Indari sedikit pun. Namun, saat Din nakal, sebab bagaimanapun dia masih anak-anak, mereka cenderung akan menumpahkan kesalahan pada Indari seorang.

Seminggu lalu, Indari membawa Din ke rumah sakit. Din memiliki sebuah benjolan di belakang telinga kanannya yang kepada Suti, Indari bercerita, bahwa benjolan itu adalah tumor ganas. Indari pernah memeriksakannya ke dokter saat Din masih berusia enam tahun, saat sakit panas tiga hari berturut-turut. Dokter memberi diagnosa juga saran supaya segera dilakukan pengangkatan selagi tumor itu masih kecil. Namun, biaya yang diperlukan tidak sedikit bagi Indari. Ia pun menabung, dan baru terkumpul belum lama ini. Sebagai orang tua yang melakukan semuanya sendiri, Indari berpendapat lebih baik terlambat daripada tidak mengusahakan kesembuhan Din sama sekali. Sayangnya, Tuhan berkata lain. Bukannya kesembuhan yang menyertai Din saat pulang ke rumah, tetapi justru kematian.

Setiap orang termasuk Suti masih ingat seperti apa raungan Indari begitu turun dari ambulans. Ia menangis sejadi-jadinya sembari menyebut seorang dokter telah melakukan malpraktik kepada anaknya. Mulanya orang-orang bersimpati kepada Indari. Mereka datang satu per satu bermaksud untuk menenangkannya. Namun, begitu mereka melihat rupa Din yang bagian kiri kepalanya terdapat bekas sayatan yang belum sempurna dijahit, entah bagaimana rasa simpati itu kemudian seakan-akan memudar.

“Lagian, anak sehat-sehat, kok, dibawa ke rumah sakit.”

“Katanya, dokternya malpraktik.”

“Jangan nyalahin dokter. Dokter cuma menangani pasien sesuai keluhan. Kamu pikir sendiri, yang membuat keluhan siapa? Emaknya sendiri.”

“Aku nggak mau nyalahin Indari juga. Dia lagi sengsara.”

“Sengsara dia buat sendiri. Ibarat kata, dia itu menangkap anaknya yang lagi senang-senangnya main, terus dibunuh.”

“Iya juga, sih.”

Sambil menakar beras, Suti mencebikkan bibirnya demi mendengar dua orang yang sedang bercakap itu. Selesai menakar, ia segera menyerahkan dua kantong plastik beras berisi masing-masing satu kilo itu kepada mereka.

“Tambah apa lagi? Kalau sudah, warungnya mau aku tutup,” ujar Suti dengan air muka tak bersahabat.

“Mbak Suti mau melayat juga?” tanya Warnih, salah seorang yang berbelanja itu. “Ayo bareng!”

“Kalian duluan saja,” jawab Suti.

“Ini aku bawa dulu ya, Mbak.” Kali ini ujar Rudiah.

“Hem.”

“Aku juga, ya, Mbak.”

Suti tak menjawab lagi. Ia mulai menutup warung sembakonya yang tak seberapa besar tetapi sudah menjadi sasaran utang bagi orang sedusun itu. Dilihatnya Warnih dan Rudiah yang mulai berjalan pergi dengan mulut masih komat-kamit, menggunjingkan tetangga sendiri yang sedang berduka atas kepergian sang anak. Sungguh tetangga tidak punya hati nurani, batin Suti. Bagaimana kiranya jika nasib Indari harus dirasakan oleh mereka? Sudah kehilangan anak, lalu harus dilempari pula dengan tuduhan-tuduhan keji. Apa pentingnya memberi beras saat datang melayat jika semua itu hanya basa-basi semata?

Rumah Indari sudah ramai oleh para pelayat saat Suti datang. Ia menumpahkan beras yang dibawanya ke dalam karung besar di dekat pintu. Lalu, segera ia masuk ke tempat Din terbujur damai dengan kain batik yang menutupinya; ikut melafalkan doa-doa untuk kelapangan jalan Din sebagaimana yang lain.

Suti melihat Indari, juga seorang lelaki yang ia duga sebagai ayah Din. Suti tak begitu yakin, sebab terakhir kali ia melihat lelaki itu adalah sebelas tahun lalu, saat Din masih bayi. Dilihatnya kedua orang itu sama-sama menunduk lesu, dengan wajah suram yang susah Suti jabarkan.

“Sabar, Dar. Semua sudah kehendak Allah,” begitu Suti berbisik di telinga Indari sebelum pamit pergi. Tak ada jawaban dari Indari, meskipun sedikit.

Suti memaklumi, sebab apa yang menimpa Indari memang begitu berat. Ia memang tak pernah tahu rasanya menjadi ibu, tetapi bagaimanapun, ia tetap bisa membayangkan seperti apa perihnya berada di posisi itu. Ia pasti akan berkali lipat menyalahkan diri sendiri bahkan sebelum orang lain melakukannya. Suti tahu bahwa Indari hanya ingin yang terbaik untuk Din, dengan membawanya ke rumah sakit begitu ia merasa uang yang dikumpulkan sedikit-sedikit dari hasil jerih payahnya telah cukup.

Suti bukan tidak pernah menawarkan bantuan, tetapi Indari selalu menolak. Indari seakan-akan tak pernah memberikannya peluang untuk berbalas budi atas apa yang pernah dilakukannya. Dahulu, Suti pernah terlunta-lunta ketika suaminya pergi begitu saja. Tanpa meninggalkan apa-apa selain ucapan talak. Suaminya telah menemukan perempuan lain, yang terbukti bisa mengandung bayi, tak seperti Suti.

Saat kebanyakan orang menghindarinya karena takut Suti akan berakhir sebagai perayu suami mereka, Indari justru datang mengulurkan tangannya. Dua ratus ribu ia pinjamkan, kemudian menyarankan Suti untuk berjualan es di depan sekolahan. Suti menurutinya, dan siapa sangka jika usaha itu membuahkan hasil yang lumayan. Ia bahkan bisa mengumpulkan hasil berdagang es itu untuk membuka warung kecil-kecilan di depan rumahnya.

“Laki-laki pergi saat mereka ingin. Bukan karena kamu nggak bisa bunting atau kenapa, itu alasan saja. Kamu lihat aku, sudah melahirkan bayi, tapi suamiku tetap berpaling. Jadi jangan kecil hati.”

Suti menanam kata-kata Indari itu di lubuk hatinya yang terdalam. Hingga tak sadar, jika itu membuahkan kekuatan yang luar biasa baginya. Itulah mengapa, Suti menjadi orang pertama yang tidak terima saat para tetangganya menggunjing Indari atas musibah yang baru saja menimpanya.

***

Berselang tujuh hari sejak kematian Din, Suti dibuat kaget oleh berita yang tersiar di televisi. Disebutlah bahwa seorang dokter di sebuah rumah sakit dalam kota ditangkap polisi karena dugaan malpraktik. Suti kaget, sebab seingatnya, itu adalah rumah sakit tempat Din dioperasi. Bergegas ia menemui Indari di rumahnya.

Indari sedang menyapu halaman saat Suti datang. Gurat kesedihan sudah sedikit memudar di wajah Indari, meski matanya masih terlihat kosong.

“Dar, sudah lihat berita di tivi?” tanya Suti. Ia menunggu beberapa jenak, tetapi hanya angin yang menanggapinya. Indari tetap sibuk menyapu, seakan-akan tak melihat keberadaan Suti.

“Dar–”

Suti hampir mengulang pertanyaannya, tetapi Indari lebih dulu menyela, “Bersikaplah seperti yang lain. Berhenti mengurusi hidupku. Hutangmu sudah lunas, nggak ada juga kebaikanku yang perlu kamu balas.”

“Apa pertemanan kita cuma sebatas timbal balik seperti itu?”

Indari tertawa, membuat kening Suti berkerut.

“Pertemanan apa? Kedengarannya, kok, kayak kita masih bocah.”

“Aku cuma ngasih tahu apa yang kudengar di tivi. Siapa tahu kamu mau ngasih kesaksian juga atas apa yang menimpa Din. Biar dokter gadungan itu dapat hukuman seberat-beratnya. Tapi jawabanmu, kok, malah gitu?”

“Suti … harusnya kamu berpikiran seperti tetangga kita yang lain saja. Karena memang itu kebenarannya.”

“Apa maksudmu?”

“Aku yang membunuh Din. Iya, aku. Emaknya sendiri.”

“Jangan bilang begitu.”

“Bukannya Din memang nggak akan mati kalau kubiarkan saja?” (*)

 

Jepara, 15 November 2021.

 

Retno Ka. Ibu dari seorang anak lelaki. Suka menulis dan tidak tahan gelap.

Editor: Dyah Diputri

 

Pict sourch:  https://pixabay.com/id/photos/layang-layang-ibu-keluarga-langit-1666816/

Leave a Reply