Dua Kadri dan Tiga Y

Dua Kadri dan Tiga Y

Dua Kadri dan Tiga Y
Oleh : Rainy Venesiia

Lelaki itu sering datang ke rumahku dari dulu, dari sebelum suamiku meninggal. Dia selalu duduk di bangku kayu di teras rumah yang sengaja kusediakan untuk menerima tamu. Biasanya dia meminta secangkir kopi atau sekadar air putih untuk menemani makanan yang dibawanya. Dia akan duduk lama di sana sambil mengawasi anak lelakiku bermain bola di pekarangan bersama kawan-kawannya. Kadang turut bermain dan tertawa bersama bocah-bocah tersebut, atau hanya duduk saja sambil memandang jauh ke depan.

Sering aku ikut duduk menemaninya mengobrol atau hanya mendengarkan ceritanya tentang banyak hal. Tentang pekerjaannya sebagai guru honorer di sebuah madrasah, atau tentang berita terkini perkara lingkungan, politik dan sosial ekonomi. Tak jarang, dia juga bercerita tentang tingkah seorang gadis sesama guru honorer yang membuat hatinya kesal atau seorang gadis teman masa sekolah yang sangat dia pedulikan.

Ketika aku berseloroh bahwa dia jatuh cinta pada dua gadis tersebut, lelaki itu cepat menyangkal dengan alasan bahwa dirinya hanya peduli pada mereka. Katanya, Yanti itu patut dikasihani. Seorang gadis yatim piatu yang sejak kecil hidup berdua dengan neneknya. Saat neneknya meninggal, Yanti benar-benar sebatang kara. Dia hanya punya teman seprofesi. Itu pun jarang yang dekat karena sikapnya yang keras kepala dan kurang bisa bekerja sama, malah sering membuat jengkel timnya. Sedangkan Yuli adalah gadis yang periang, supel dan baik hati. Hanya saja volume otaknya yang sedikit sering kali dimanfaatkan orang-orang, kadang jadi bahan tertawaan.

“Peduli dan mencintai itu satu paket. Tak mungkin dipisahkan.”

“Tidak juga, Mbak.”

“Kamu itu lucu, Dek. Setiap ke sini tak ketinggalan dua nama itu disebut. Tapi kau menyangkal sedemikian rupa.”

Jika sudah begitu, lelaki itu akan diam. Lalu, melepas pandangannya jauh ke depan setelah menatapku sebentar. Aku pun ikut diam atau pura-pura memanggil anakku agar jangan terlalu keras menendang bola. Lantas, beberapa saat kemudian dia menghampiri anakku dan berbicara sebentar sambil menyelipkan uang jajan di saku bocah tersebut. Setelah itu pamit pulang meninggalkan cangkir kosong dan cerita yang belum usai.

Suatu hari lelaki itu datang setelah beberapa lama tak muncul. Wajahnya seperti kertas yang habis diremas-remas, sangat kusut. Dia tak meminta kopi atau pun air putih. Juga tak membawa penganan kesukaannya atau kesukaan anakku. Dia langsung menghempaskan tubuhnya di bangku sambil mengembuskan napas. Saking kerasnya, embusan napas itu terdengar seperti sebuah keluhan.

Aku duduk sambil meletakkan cangkir berisi kopi kegemarannya. Asapnya mengepul melepas wangi yang mampu mengusir rasa sakit di kepala, menarik-narik mulut agar segera mereguk nikmatnya.

“Kenapa?” tanyaku membuka diskusi. Oh, bukan. Lebih cenderung membuka sesi ceritanya tentang dua gadis berinisial Y, inisial yang sama dengan namaku. Tebakanku tepat. Wajahnya yang dilipat-lipat itu benar karena salah satu dari mereka.

Yuli, gadis periang yang volume otaknya sedikit itu sedang dirundung malang. Entah siapa yang tega menanam benih di rahimnya dengan cara memaksa. Ibu Yuli bercerita padanya sambil menangis, bahwa dia tak tahu kapan dan di mana kejadian tersebut. Yuli tak tak mengatakan apa pun. Gadis malang itu hanya menangis seharian sepulang dari bidan.

Aku tertegun. Sebuah kenangan buruk melintas begitu saja. Sebuah kisah yang kututup sangat rapat bahkan dari Bunda dan seluruh pengurus panti asuhan. Sebuah kisah tentang malam terkutuk di gudang yang sempit dan pengap. Entah siapa durjana yang memakai topeng pada malam gerimis dan mencegatku di gerbang panti saat pulang kerja. Sampai sekarang saat benihnya sudah menjelma anak lelaki berusia lima tahun, aku hanya tahu matanya yang besar dan hitam, menatapku dengan sangat beringas.

Hanya pada Kadri, sahabatku satu-satunya, aku buka suara. Itu pun karena dia memergokiku sedang berjalan sendiri hendak menantang kecepatan truk dari arah berlawanan. Kadri menghapus dukaku dengan senyumnya yang menenangkan, menawarkan dirinya sebagai tameng menyelamatkan hidupku. Terlebih lagi, ketika ibunya menyambutku dengan pelukan, lalu mendampingiku merawat bayi, aku seolah menjadi manusia kembali setelah sebelumnya merasa seperti kotoran dan tak layak menikmati udara.

Aku menatap lelaki di hadapanku yang masih bercerita. Kali ini tentang Yanti yang ternyata mengajukan proposal menikah padanya. Aku menghela napas seiring tanya yang terpahat mendadak di kepala. Haruskah dua laki-laki kakak beradik memiliki jalan hidup yang sama?

Aku ingat saat itu, Kadri sedang melakukan proses taaruf dengan rekannya yang sama-sama aktif dalam kegiatan sosial. Dia bilang bahwa aku lebih membutuhkannya daripada wanita itu.

“Aku tak ingin ada yang tersakiti,” kataku saat mendengar informasi taaruf itu.

“Tak akan ada yang merasa tersakiti jika semua ini karena Allah. Dia bukan orang bodoh yang akan memaki takdir perjodohan.”

Kata-katanya laksana air yang menyiram bara di hati, sangat menyejukkan. Bukan itu saja, kata-katanya seperti hujan menyiram rumput teki yang sudah mengering. Dalam sekejap rumput teki itu menggeliat menghijau kembali walau hujan baru pertama turun.

Setelah menikah dan lebih jauh mengenalnya, aku tahu bahwa Kadri adalah seorang lelaki yang kepalanya dipenuhi dengan gagasan tentang generasi masa depan. Gagasan yang bagiku atau mungkin orang lain terlalu idealis: memutus mata rantai keburukan untuk membentuk generasi baru yang berkualitas. Dia bilang, bagaimana seorang wanita akan melahirkan dan menciptakan calon-calon imam yang berkualitas jika dirinya sendiri rapuh tanpa penopang? Jika ia berbicara soal itu, aku hanya diam dan mengangguk.

“Kau harus tetap kuat seperti sekarang, meskipun nanti aku tiada. Jangan mengulangi kesalahan seperti dulu, putus asa hingga berpikiran mengakhiri hidup. Kau tahu kan kenapa aku menikah denganmu?”

Itu adalah kata-katanya suatu malam, ketika aku selesai bercerita tentang kisah Bilal pada anakku. Aku menjawab dengan senyuman dan anggukan kepala. Sama sekali tak paham bahwa itu adalah isyarat alam tentang kepulangannya ke pelukan bumi.

Sekarang, saat adiknya bercerita tentang Yuli, aku seolah melihat diriku dalam sosok gadis malang tersebut, memahami apa yang dirasakan Yuli saat ini. Meskipun volume otaknya sedikit, dia pasti mengerti sesuatu yang buruk sedang menimpa dirinya dan keburukan akan terus mengikuti hidupnya bahkan ketika janin itu sudah lahir. Bukan hanya dia yang terpuruk, tapi ibunya pasti lebih menderita.

Aku termenung membayangkan dua perempuan tersebut menangis sambil berpelukan. Mereka menjerit sambil bersimpuh memohon pertolongan, berharap tangan-tangan malaikat merengkuhnya dan melenyapkan seluruh lara. Mereka butuh sosok pahlawan yang bukan hanya memberi dukungan saja, tapi mereka butuh pendamping yang akan selalu berada di dekatnya, menguatkan jiwanya dan menunjukkan arah untuk berjalan.

Aku masih membisu ketika lelaki itu kemudian bicara tentang gunjingan orang mengenai kunjungannya ke rumahku. Kupikir gosip itu tak akan sampai ke rumahnya yang berada di kampung sebelah. Namun, aku tak bisa untuk tidak tersenyum saat dia menceritakan perkataan ibunya. Wanita mulia yang telah berhasil mendidik dua putranya menjadi manusia berhati lembut dan penuh kepedulian, ternyata menyuruhnya segera menikah sebelum terjadi fitnah.

“Menurut Mbak gimana?”

“Bicaralah dengan Ibu.”

“Aku ingin mendengar pendapat Mbak.”

Entah kenapa aku tak kuasa menantang tatapannya yang terasa berbeda. Hatiku berdebar tak keruan. Debar-debar yang sama dengan yang kurasakan dulu saat suamiku melamar untuk kedua kali. Lamaran yang ia ajukan tujuh hari setelah kelahiran anakku. Sebuah permohonan menikah yang bukan didasari alasan kasihan. Sebuah permintaan yang membuat diriku merasa berharga sebagai seorang wanita.

“Bagaimana, Mbak?”

Aku menunduk kembali setelah upaya menghadang matanya gagal total. Debaran itu makin menjadi, membuat aliran darah makin cepat memompa jantung hingga wajahku memanas. Bisa jadi wajahku sekarang tak ubahnya seperti kepiting rebus.

“Itu hidupmu. Mbak gak bisa membantu apa pun. Hanya saja Mbak ingat pesan kakakmu untuk Mbak dan Alfi, jadikan kehadiran kita sangat berarti bagi seseorang.”

Dia mengangguk. Lantas seperti biasa dia memanggil Alfi, keponakannya, berbicara sebentar sambil menyelipkan uang jajan.

Aku mengangguk saat dia pamit. Ada sesuatu yang mendesak di sudut mata ketika memandang punggungnya makin menjauh. Lelaki itu persis seperti kakaknya. Tak kumungkiri kehadirannya bagi anakku, membuat diriku juga merasa tak pernah kehilangan.

Ada yang kosong di ruang kalbuku ketika dua pekan lelaki itu tak menampakkan batang hidungnya. Alfi sering bertanya perihal satu-satunya paman yang dia miliki. Meskipun rasa rindunya sedikit terobati lewat suara di telepon, tetapi tetap saja rindu itu tak pupus hingga bertatap muka. Dia merengek ingin bertemu pamannya, Izul Kadri.

Ketika aku merencanakan akan mengunjungi Ibu sore ini, lelaki itu muncul pagi sekali. Sepertinya ada hal penting. Dia terlihat buru-buru sekali, bahkan tak sempat duduk dan meminta kopi. Kabar yang dia bawa seharusnya tak membuatku terkejut, karena sudah menduga akan seperti itu. Rasa peduli dan setia kawan yang dimiliki oleh ibu dan kakaknya juga tertanam dalam hatinya. Namun, kabar bahwa dia akan menikah minggu depan tak urung membuatku kelu. Aku tersenyum sambil mengangguk pelan.

“Pilihan yang tepat. Aku tau kau memang sebaik itu. Aku bangga padamu, seperti banggaku pada kakakmu.”

“Alfi akan menjaga Mbak seperti Bang Kadri menjagamu.”

Sekuat tenaga, aku menahan gelombang air mata yang mendorong ingin menjebol tanggul pertahanan. Setidaknya sampai Kadri ke dua berlalu dari hadapanku. Namun, aku gagal ketika Alfi tiba-tiba menghambur ke pelukan pamannya.

“Alfi jaga ibu ya. Paman berangkat ngajar dulu.”

Alfi mengangguk sambil memegang tanganku. Lalu, melambaikan tangan ketika lelaki itu menoleh saat hendak berbelok. Aku menghapus air mata yang seperti tak mau berhenti. Melepas sesuatu yang berharga untuk diserahkan pada orang yang lebih membutuhkan mungkin seperti ini rasanya. Tak bisa kutolak rasa bahagia yang mulai tumbuh menyingkirkan rasa lainnya.(*)

 

Bandung, 4 April 2021

Rainy adalah seorang perempuan yang gemar menulis cerpen untuk menyampaikan gagasannya.

Editor : F. Mudjiono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply