Dua Cangkir Kopi
Oleh: Elok Faiqotul Hima
Hari itu sangat ramai dan kami benar-benar terdiam. Seolah-olah menjadi patung konyol yang memandangi kedua cangkir di atas meja yang sudah mendingin. Cangkir itu tak sepenuhnya utuh sebab kala masih hangat tadi kami telah meminumnya hingga tiba pada sebuah percakapan yang membuat kondisi menjadi miris seperti saat ini. Aku melihatnya sekilas dan tertunduk kembali kala melihat kilatan mata yang begitu tajam itu. Aku sempat berpikir mungkin karena matanya yang bulat sehingga ia terlihat begitu menyeramkan.
Astaga, tak ada yang dapat aku lakukan. Membisu cukup lama di sebuah bangku kayu antik ini membuat aku geram untuk mengutik handphone dan segera membuka aplikasi kamera. Aku rasa sudah dua jam kami di sini, terlihat dari silih bergantinya pasangan yang duduk di meja sekeliling kami. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya sampai ia berdiri dan berjalan ke arah pintu.
Dia meninggalkanku di sini? batinku meradang.
Setetes air mata meluncur begitu saja. Aku menggigit bibir bawahku, menahan diri agar tak menangis. Memutuskan untuk beranjak dari bisingnya orang-orang yang mengumbar kasih.
Aku muak karena semua yang mereka adegankan adalah sandiwara saja.
Cinta? Sebuah kata yang sepertinya sudah tak kupercayai lagi. Yang kurasakan adalah kesal, aku membenci diriku sendiri. Sebagai seorang kekasih harusnya aku bisa menjaga perasaannya. Namun perbuatannya tadi juga tidak baik, bukan? Mana ada seorang pria mengajak kencan kekasihnya lalu meninggalkannya begitu saja lantaran cemburu dengan seorang pelayan yang menatap sekilas ke arah gadisnya. Oh, astaga lelucon yang sangat mengesankan di malam pergantian tahun.
Haruskah aku pulang saja? Tidak, tidak. Aku tidak mau pulang, keadaan rumah pasti sangat kacau dengan kegaduhan yang dilakukan oleh anak-anak dari paman dan bibi. Aku melangkahkan kakiku ke sembarang jalan. Tidak ada tujuan. Aku berjalan saja pokoknya. Andai tadi aku bisa menahan diri dan tidak mengatakan perkataan kasar, mungkin kejadiannya tak seperti ini. Jujur, aku merasa sangat bersalah setelah mengatai Hadi ‘konyol’, tetapi untuk apa ia tersinggung, ya kan? Ia malah mengira aku membela pelayan itu. Ia pikir aku ini gadis gampangan apa? Padahal perjuangannya untuk mendapatkanku perlu empat tahun lamanya, apa itu masih kurang membuktikan?
“Aku harus ke mana ya?” lirihku sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, sampai akhirnya aku memutuskan untuk menuju ke lapangan yang sedikit sepi. Aku duduk di bawah sinar rembulan yang begitu terang. Beralaskan rerumputan hijau yang segar dan dingin dengan semilir angin malam.
Hoaaam! Kantuk menerjangku namun aku harus tetap terjaga, tak mungkin bila aku harus tidur di sini. Bisa-bisa orang menganggapku tidak waras nantinya dan aku akan berakhir di tahun baru dengan begitu menyedihkan sebagai gelandangan.
“Butuh pundak untuk bersandar. Hem?” desis seseorang dari belakang yang membuatku terkejut.
“Ha—Hadi?”
“Maafkan aku, Ima, aku menyesal. Tapi satu yang perlu kau tahu, aku sangat takut kehilanganmu,” ujarnya yang begitu menyentuh.
“Aku sudah menduganya,” balasku sambil tersenyum.
“Menduga apa?” kata Hadi kebingungan.
“Menduga bahwa kau membuntutiku sedari tadi.”
Kami tertawa bersama, aku bahkan sampai mengeluarkan air mata bahagia saking terharunya. Ya, aku sebenarnya sempat ragu tentang Hadi yang benar-benar meninggalkanku seorang diri. Aku tahu ia tak begitu buruk. Sewaktu berjalan menyusuri trotoar meninggalkan kafe tempat kami menikmati dua cangkir kopi tadi, aku sudah merasa bahwa ada seseorang yang memperhatikanku dan ternyata itu Hadi. Pria yang paling aku cintai setelah Ayah dan juga adikku. Ia bagai makhluk yang nyaris sempurna sampai-sampai membuat aku tak henti-hentinya membanggakan sosoknya yang bak malaikat.
“Sebagai ganti atas perbuatanku tadi yang meninggalkan Tuan Putri, aku memiliki hadiah,” ucapnya setengah berakting.
Aku tersenyum, mengikuti alur cerita permainannya. “Wah, apa itu, pangeranku?”
“Sebaiknya kau persiapkan dirimu terlebih dulu, jangan sampai terkejut lalu tak sadarkan diri,” ejeknya seakan-akan ia akan memberikan kejutan yang amat luar biasa.
“Oke, oke. Jadi, apa hadiahnya?” rengekku yang sudah penasaran.
Perlahan ia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya. Selama itu berlangsung, aku sendiri resah menutupi salah tingkahku yang memalukan. Apa pipiku merah merona? Aku rasa tidak, soalnya kulitku tidak semulus dan seputih princess yang ada di negeri dongeng. Tidak juga terlalu cantik dan menawan seperti artis-artis dalam drama Korea. Jadi, semburat merah pasti tidaklah tampak.
“Tara!” Ia tak mengeluarkan apa-apa melainkan kedua jarinya yang membentuk hati layaknya yang sering dilakukan oleh masyarakat Korea terutama di kalangan artis. Kecewa, itulah yang aku rasakan, aku memukul-mukuli lengan Hadi sampai ia menjerit-jerit kesakitan meski aku tahu itu bohong.
“Aku lihat tadi kau tengah mengantuk. Sini tidurlah di pundakku.” Ia menyandarkan kepalaku begitu saja di bahunya.
“Nggak seempuk bantal di kamarku,” jawabku yang malah mengejek.
“Hehe …. Apa perlu aku belikan kau bantal untuk tidur di lapangan ini?” ujarnya yang mengesalkan.
Aku hanya terdiam tak membalas perkataannya. Tak terasa waktunya sudah tiba, kami meninggalkan tahun 2018 bersama sambil menikmati kembang api yang mewarnai langit-langit malam. Selamat datang 2019, harapanku hanya satu yaitu, bahagia.
Elok Faiqotul Hima, lahir di Bangkalan, 25 Desember 1999. Suka menulis dan melukis sejak kecil, banyak mengikuti kegiatan kepenulisan sehingga sering menjadi kontributor dalam berbagai karya antologi puisi. Sudah memiliki sebuah buku tunggal bertajuk “Alur Kehidupan” yang berupa kumpulan puisi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata