Dream

Dream

Dream
Oleh: Veronica Za 

Tantangan Lokit 8 (mimpi)

“Kamu itu harus berpikir realistis! Mana mungkin anak seorang tukang kebun bisa jadi dokter!”

Kalimat yang sama kembali terlontar dari mulut Dara—anak majikan ayahku. Gadis manis berlesung pipit itu menatapku dengan pandangan yang begitu menusuk. Ada ngilu yang tercipta dari senyumannya.

“Jika Allah berkehendak dan diiringi dengan usaha maka tidak ada yang tidak mungkin,” ujarku berusaha tetap tenang. Kata-kata siang tadi saat berpapasan dengan Dara di dapur, aku patri jauh dalam lubuk hati. Masih dengan tekad yang sama.

Entah sudah berapa orang yang meragukan mimpiku. Mimpi sederhana yang membuat orang menatapku aneh. Aku hanya bisa tersenyum, kemudian menata kembali hati yang mulai turut meragu. Menjadi orang yang berguna tentu bukan hal mudah, begitulah caraku meyakinkan diri.

Aku menatap buku usang pemberian Mas Rudi. Warna kertasnya tak lagi putih bersih, bahkan beberapa halaman sudak koyak. Coretan pulpen pada bagian sulit hampir memenuhi tiap halaman. Perlahan kembali kupelajari kata per kata yang ada di buku dengan ketebalan di atas rata-rata itu.

Ayah menepuk pundakku lembut. Sosok rentanya ikut duduk di sampingku. Aku tersenyum.

“Nduk, apa kamu nggak lelah?” tanyanya kemudian.

“Nggak, Yah. Meski tahun ini masih belum bisa masuk kuliah di sana tapi Lia nggak menyerah. Tabungan Lia memang belum cukup. Semoga tahun depan bisa!” ucapku penuh semangat.

Wajah teduh pria yang berjasa membesarkanku itu tersenyum. Dalam matanya kulihat kasih sayangnya begitu besar dan juga kelelahan yang luar biasa.

“Ayah hanya mendoakan yang terbaik untukmu.”

Bak pungguk merindukan bulan. Peribahasa itu sangat tepat menggambarkan keadaanku saat ini. Mengklaim bahwa menjadi dokter adalah mimpi yang harus kucapai supaya bisa menyelamatkan nyawa orang lain.

Tentu kayakinanku ini bukan tanpa alasan. Kematian Ibu satu jam setelah kelahiranku dulu memupuk tekadku. Susah payah Ayah membesarkanku sendirian. Aku hanya ingin tidak akan ada lagi anak yang terlahir ke dunia tanpa kehadiran sang ibu di sisinya.

Terlalu muluk memang! Setidaknya aku berusaha. Ada Ayah dan Mas Rudi yang mendukungku. Kakaknya Dara itu adalah seorang dokter di salah satu rumah sakit besar di kota kami. Setelah mengetahui mimpiku, ia tanpa ragu memberikan semangat dan buku-buku semasa kuliahnya kepadaku.

“Aku bangga padamu!” kata-katanya menjadi cambuk penyemangatku.

***

Aku berlari menghindari teriknya matahari yang menyengat kulit. Angkot yang sedari tadi kutunggu tak kunjung tiba.

Aku mendekap erat map biru tua dalam dadaku yang tengah berbunga-bunga. Hari ini adalah hari terakhir pendaftaran mahasiswa baru di kampus yang kuinginkan. Uang tabunganku pun baru terkumpul setelah dua tahun bekerja di rumah Dara sebagai pembantu. Satu langkah pasti menuju impianku.

Langkahku terhenti. Pun pandangan yang tak teralih dari gedung di hadapanku ini. Rasanya seperti mimpi. Ah, ini memang mimpi. Mimpi yang harus kuwujudkan!

Aku tersentak saat dering ponsel berbunyi nyaring. Segera kuangkat setelah melihat nama yang tertera di layar. Nama seseorang yang selalu mengisi hariku dengan senyuman.

Gemetar. Itu yang kini melanda tubuh kecilku. Tak lagi kupedulikan suara di seberang telepon sana. Air mata sudah membanjiri pipiku. Tanpa pikir panjang lagi aku berlari menuju alamat yang disebut Mas Rudi. Tak lagi peduli pada mimpi yang sudah menanti di depan mata. Dalam hati masih berharap kabar tadi itu hanya kebohongan belaka.

Bau obat-obatan menyeruak indera penciuman saat aku tiba di rumah sakit. Brankar yang di dorong tergesa oleh beberapa tenaga medis berlalu lalang di hadapanku. Rintihan kesakitan terdengar memekakkan telinga. Mereka korban tabrakan beruntun yang terjadi pagi tadi. Salah satunya adalah ayahku sendiri.

Mataku menyapu ke segala arah ruangan UGD berharap menemukan Ayah dalam keadaan baik-baik saja.

“Lia!” Sontak aku menoleh ke arah suara yang sangat kukenal itu.

“Mas Rudi! Ayah di mana?” tanyaku tak sabar. Pria berjas putih itu tampak kelelahan mengurus banyaknya korban tabrakan tersebut.

“Pak Marwan ada di ruang operasi. Ada luka besar di lambungnya akibat tabrakan itu, jadi harus segera ditangani. Mas sudah menandatangani surat persetujuannya. Kamu segera ke sana! Nanti setelah selesai di sini, aku menyusul,” terangnya panjang lebar.

Aku tak lagi dapat berkata-kata. Belum lagi aku mewujudkan mimpiku, dengan cara seperti ini pulakah Ayah akan pergi?

***

“Kamu mau ke mana?” tanya Rara. Gadis itu tengah bersantai di teras rumahnya. Secangkir teh yang masih mengepulkan uapnya terlihat menggiurkan.

“Aku mau ke warung sebentar,” jawabku sembari melanjutkan langkah yang sempat terhenti tadi.

“Aku ikut!”

Aku mengangguk tanpa menoleh lagi. Rara yang dulu judes kini menjadi sahabat baikku. Semenjak kecelakaan Ayah setahun yang lalu, sifat Rara mulai melunak.

“Kamu nggak mau melanjutkan mimpi kamu?” tanya gadis berlesung pipit itu tiba-tiba.

“Entahlah. Mungkin benar kata kamu dulu. Seseorang sepertiku harus berpikir realistis.”

Helaan napas berat terdengar dari bibirnya. Aku tahu Rara sedang menyesali kata-katanya. Wajahnya terlihat sendu.

“Kamu nggak perlu merasa bersalah, Ra. Aku sudah cukup puas dengan diriku saat ini. Setidaknya aku masih bisa merawat Ayah yang kini dalam masa penyembuhannya.”

Rara menyunggingkan senyuman. Namun, aku tahu itu palsu. Ia benar-benar menyesal.

Obrolan ringan menemani perjalanan kami hingga tiba ke rumah.

“Kalian dari mana?” suara Mas Rudi membuat kami menoleh serentak.

“Dari warung, Mas.”

Pria itu mendekat kemudian menyodorkan amplop besar berwarna cokelat ke arahku. Penasaran, aku segera membukanya. Rara ikut mengintip.

Kaku. Tubuhku tak bisa bereaksi seperti Rara yang kini tengah berteriak kegirangan. Aku menangis. Bukan karena sedih tapi saking gembiranya.

“Ini beneran, Kak?” tanya Rara mewakili diriku yang masih mematung.

Anggukan kecil darinya menjawab semua pertanyaanku. Aku resmi diterima di fakultas kedokteran yang pernah kuabaikan setahun belakangan ini. Ah, biaya?

“Mas udah lunasin biaya kuliah kamu untuk semester ini.” Seolah tahu apa yang kupikirkan, pria itu menjelaskan.

“Tapi ….”

“Nggak ada tapi-tapi! Cukup kamu belajar yang rajin dan cepat lulus. Itu saja!” potong Mas Rudi yang membuatku bingung.

“Lalu?” pancing Rara kemudian. Ada rahasia yang tak bisa kuartikan dari senyum gadis itu.

“Setelah lulus nanti, kamu jangan kaget jika tiba-tiba Mas datang melamarmu pada Pak Marwan.”

“Hah?” Aku yang kaget seketika menoleh pada Rara yang sudah cengar-cengir mengoda.

Jika ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku! (*)

 

Veronica Za, wanita yang masih bermimpi dan akan terus bermimpi.
FB : Veronica Za
Email : veronica160.vk@gmail.com

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata