Dosa yang Terbayar
Oleh: Renata Anisa Santosa
Bangku kayu panjang di badan jalan menjadi tambatan tubuhku yang lelah. Aku mengeluarkan sebatang rokok dari kantong baju, menikmati hisapan nikotin sambil mengangkat satu kaki, menopang di kaki yang lain. Angin berembus mengantarkan dingin selepas hujan deras menghalau sang surya yang murka sepanjang siang tadi. Bau aspal tersiram hujan bercampur kepulan asap dari sebatang rokok menusuk penciuman membuatku enggan beranjak dari kursi panjang.
Aku melayangkan pandangan lurus menatap deretan bangku kayu yang basah di bawah lampu jalanan yang disangga besi ukiran. Mataku beralih ke bahu jalan di sisi kanan, terdapat deretan pedagang batik, aksesoris, dan makanan khas daerah yang mencuri perhatian pejalan kaki yang melewatinya.
Bayangan Alicia, perempuan yang aku nikahi enam tahun lalu kembali hadir mengisi rongga kepala, beruntung aku dipindahkan ke kota ini, setidaknya aku bisa melupakan masalahku dan memulai hidup yang baru. Keinginan memiliki anak yang tak juga hadir menjadi pemicu pertengkaran kami dan berakhir di meja pengadilan agama. Menjadi manajer adalah impianku, tapi memiliki keturunan dan keluarga yang bahagia juga impianku. Ah … kuhela napas panjang menyungar rambut membuang kenangan itu.
Mataku beralih pada benda yang melingkar di pergelangan tangan. Detik yang berubah menjadi menit menghabiskan waktu istirahat yang memaksa aku segera kembali bekerja. Aku beranjak memasuki supermarket besar di mal untuk meneruskan pekerjaanku.
Suara kaleng jatuh bersahutan dengan botol kaca mengalihkan perhatian banyak pengunjung. Aku mempercepat langkah melewati lorong yang tersekat rak panjang menghampiri bocah lelaki yang berdiri menatap kaleng-kaleng minuman yang memenuhi lantai.
“Awas!” teriakku menghentikan kaki mungilnya yang hendak berlari. Tak bisa aku bayangkan air soda yang membasahi lantai membuatnya terjatuh, sedangkan pecahan botol kaca berserakan di lantai.
“Mana orang tuamu?” Tangisnya mengudara seiring kedatangan wanita cantik yang berlari menghampiri penuh khawatir. Ia berjongkok memegang kedua bahu sang bocah sambil tersenyum mencoba menenangkan.
“Tidak apa-apa, oke! Jangan khawatir, jangan takut, ini bukan masalah,” serunya perlahan. Perempuan berkulit putih itu memeluk bocah kecil itu sambil menepuk pundaknya lembut.
“Don’t worry. Semuanya akan baik-baik saja. Mami yang salah meninggalkan Ron Sae sendirian.”
“Desti! Kamu Desti, ‘kan?”
“Sat, Sat … Satria!” balasnya gagap.
“Ini anak kamu?”
Desti mengangguk tersenyum masam.
Seorang pria tua menghampiri mencoba menenagkan tangisnya. Ia menggendong bocah lelaki usia enam tahun itu membawanya keluar.
“Come on Boy, don’t cry,” bujuknya.
Desti mengikuti langkahku menuju ruang kerja menunggu bagian kasir menghitung kerugian.
“Dia mertuamu?” Desti tersenyum malas lalu menggeleng.
Aku menghentikan langkah menatapnya tak percaya.“Dia suamimu?”
Desti mengangguk melanjutkan langkah. Aku tercekat dengan mata membulat tak percaya, bergeming menatap punggungnya memasuki ruanganku. Ada rasa bersalah di sudut hatiku mengetahui kehidupannya sekarang.
Kami duduk berhadapan muka tersekat meja menunggu total biaya kerugian yang sedang dihitung. Suhu ruangan yang dingin mengalahkan suhu tubuh yang naik hingga ke ubun-ubun. Suasana yang kaku, hening, dan canggung berada di ruangan kecil hanya berdua dengannya.
“Apa kabar?” Berbarengan pertanyaan itu terlontar memecah keheningan.
Suasana semakin hening dan kaku, hanya detik jam dinding yang terdengar memenuhi ruangan, berlomba dengan detak jantungku.
“Sudah lama kamu pindah ke sini?” lanjutnya gugup, sama halnya denganku yang gugup bertemu dengannya setelah enam tahun kita berpisah.
“Baru tiga bulan.”
“Anak dan istrimu ikut pindah juga?”
“Aku belum dianugerahi anak. Aku berpisah dengan Alicia empat bulan yang lalu. Makanya aku setuju ketika dipindahkan ke kota ini.”
“Kamu masih belum berubah, kamu selalu pergi dari masalah.”
“Bukan menghindari, tapi aku lebih memilih menenangkan diriku.”
Desti tersenyum kecut mendengar jawabanku. “Lelaki yang tangguh akan berdiri tegap membusungkan dada menghadapi masalah, bukan pergi.”
“Kamu masih menyimpan kebencian padaku?”
“Memaafkan bukan berarti bisa melupakan. Tidak semudah itu, pernahkah kamu berpikir bagaimana aku melupakan kamu dan menikmati sakit itu sendirian.”
“Kamu yang memilih pergi setelah menerima uang itu.”
“Uang itu sudah menjawab tentang siapa kamu. Mengenalmu itu sebuah kesalahan, memercayaimu itu sebuah kebodohan.”
Perbincangan ini harus berakhir saat pintu kaca diketuk dari luar. Seorang perempuan memberikan total biaya yang harus dibayar. Desti beranjak dari kursi menatapku. Ia menyudutkan bibir dengan terpaksa, sepertinya dia tak menyukai pertemuan tak terduga ini.
Aku menatap punggung wanita yang pernah singgah di hatiku keluar dari ruangan kaca, cantik, seksi, dan sangat elegan. Dia menjadi Desti yang berbeda dari yang aku kenal dulu.
***
Uap mengepul dari secangkir kopi yang tersuguh di hadapanku. Pandanganku tak beralih dari latte art yang dibuat oleh tangan barista. Jari telunjukku bermain mengelilingi pinggiran cangkir mengenang wanita itu. Penyesalan dan keinginan memilikinya mengusik relung hatiku sejak pertemuan itu. Suara bariton memanggil namaku, menyadarkanku dari lamunan tentang Desti. Lelaki tua bernama Hansen menjulurkan tangan mengenalkan dirinya. Sesungguhnya aku sudah mengenalnya lewat pesan yang dia kirim kemarin.
“Apa yang bisa saya bantu?” Aku mengakhiri basa-basi pada lelaki yang duduk di depanku.
“Ron Sae membutuhkan Anda.”
Perbincangan harus terjeda setelah Hansen menerima panggilan dari rumah sakit. Hansen memaksa aku mengikutinya hingga tiba di rumah sakit. Lelaki tua itu berlari menghampiri Desti memeluknya erat. Perempuan itu menangis pilu, meluapkan kesedihannya dalam pelukkan Hansen. Tangisnya mengingatkan aku tentang malam itu, malam saat aku memberinya sejumlah uang untuk meyelesaikan masalah.
Hansen mengurai pelukan meninggalkan Desti denganku. Ia memasuki ruangan kaca menghampiri Ron Sae yang terbaring. Melihat kedekatan Hansen dan Ron Sae membuatku iri. Ron Sae mengenggam jemari Hansen, tak ingin ditinggalkan. Hansen pun mendaratkan ciuman hangat di kepala Ron Sae tak henti-henti.
“Ron Sae membutuhkan donor sumsum, hanya kamu yang bisa menolongnya.” Desti memecah kesunyian. Perempuan cantik itu bersandar pada dinding tak mau menatapku sebagai lawan bicara.
“Jadi, Ron Sae ….” Aku tak mampu melanjutkan. Bibirku kelu mengingat dosa pengkhianatan dengan Alicia waktu itu. Aku yang menolak dia terlahir ke dunia ini dan dengan sengaja aku meninggalkannya.
“Hansen yang menyelamatkan hidupku juga Ron Sae. Dia memberiku kehidupan dan harapan.”
Aku menghela napas panjang, menahan sesak mendengar penuturan Desti tentang masa lalu yang dia lewati.
“Apakah aku bisa memiliki kamu dan Ron Sae setelah aku memberinya sumsum tulang belakang?”
Desti beranjak melayangkan tangannya ke pipiku, matanya membulat merah meluapkan amarah.
“Kamu keterlaluan, Ron Sae membutuhkan kamu supaya hidup. Setidaknya kamu lakukan ini untuk menebus dosa yang kamu lakukan pada anakmu tanpa syarat.”
“Justru aku ingin menebus semua dosaku sekarang, kita bisa memulai semuanya dari awal. Kamu tidak bahagia dengan pria tua itu. Aku ingin membahagiakan kamu, juga Ron Sae.”
“Kamu gila, Satria! Kamu egois!” bentaknya mengertakkan gigi.
“Aku akan melepaskan kamu juga Ron Sae jika itu membuat Ron Sae kembali hidup,” sergah lelaki tua yang berjalan menghampiri kami.”
“What? Apa kamu bilang? Kamu bisa melepaskan aku untuk lelaki bajingan seperti dia?” sahut Desti menatap Hansen, jari telunjuknya mengarah padaku menahan geram dan berurai air mata.
Hansen merengkuh tubuh kecil Desti dalam pelukannya, “Terlalu berat melepaskan kamu jugan Ron Sae, Honey. Aku bisa menanggungnya demi Ron Sae memiliki kehidupan.” Tangan tua penuh keriput itu mengusap lembut kepala Desti.
Desti melepaskan diri dari pelukannya, kemudian tangan Desti mencengkeram kerah bajuku.
“Kamu dengar? Ron Sae bukan darah dagingnya, tapi dia berani berkorban untuk anakmu tetap hidup.”
***
Angin berembus perlahan. Setetes air sisa hujan menempel di daun pohon bintaro bergulir jatuh mengenai kepalaku. Aku tersentak dari lamunan dan menyapukan mataku ke sekeliling. Derap sepatu kuda dari transportasi khas daerah membawa wisatawan keliling kota mengisi rongga telingaku.
Lambaian tangan bocah lelaki yang duduk di samping kusir disambut senyuman sang Ibu dan pria tua yang menunggunya duduk di bangku kayu di bahu jalan. Mata ini masih terpaku memperhatikan bocah lelaki yang turun dari delman merengek meminta balon pada lelaki tua di seberang jalan. Aku tersenyum kecut, kapan aku akan merasakan rengekan bocah itu meminta sesuatu padaku. Sepertinya Tuhan sedang menghukumku dengan keadaan ini. Setidaknya aku sudah menebus dosaku membuatnya tetap tertawa bahagia dengan lelaki tua itu.
“Setiap orang punya masa lalu yang buruk dan setiap orang berhak memiliki masa depan yang lebih baik. Aku memberinya masa depan yang lebih baik setelah dosa yang aku lakukan.”
Surakarta, 08 Februari 2022
Safira Ristanti Santosa, seorang ibu dari dua anak yang terlahir di Surakarta 5 Februari, memiliki nama pena Renata Anisa Santosa. Ia memiliki hobi membaca dan menulis di sela mengelola usaha di bidang kuliner. Pemilik motto “hidup adalah kesempatan berkarya dan bermanfaat bagi banyak orang” memulai menulis tahun 2019 di grup kepenulisan Facebook.
Editor: Vianda Alshafaq