Dosa Abadi
Oleh: Erien
Lelang tender terbuka pengadaan material pembangunan pabrik baru di kawasan industri tempatku bekerja sudah selesai. Seperti sudah diduga sebelumnya, pemenangnya adalah perusahaan milik Pak Andi. Ia adalah menantu dari bupati kota ini. Kasak-kusuk yang kudengar, sudah ada amplop tebal yang mendahului sebelum lelang diadakan. Entahlah. Aku tidak melihat kejanggalan saat lelang berlangsung. Barangkali, posisi baru sebagai wakil pelaksana tidak membuatku seketika tahu semua.
“Jadwalkan pertemuan pertama dengan Pak Andi sekitar seminggu lagi.” Pak Hartoni menepuk pundakku. Aku mengangguk mengiyakan. Beliau mengajakku makan siang bersama tiga staf lain di sebuah restoran bintang lima.
Sehari sebelum jadwal yang kubuat untuk perundingan pertama, Pak Andi meneleponku. Ia meminta tempat rapat dipindah ke hotel La Priwe. Padahal, aku sudah memesan aula rapat perusahaan di pabrik kami. Aku heran kenapa harus di sana? Karena hotel terbesar kedua di Indonesia itu letaknya sekitar satu setengah jam perjalanan dari kota ini. Saat kutanya alasannya, ia hanya berkata bahwa lebih leluasa berbincang jika ada di tempat yang netral.
“Sudah saya DP, Pak. Tidak usah khawatir.” Perkataan Pak Andi membuatku tak lagi bisa bertanya. Apalagi, pemindahan tempat ini juga atas sepengetahuan Pak Hartoni.
Di hari pertemuan, aku berangkat hanya berdua dengan Pak Hartoni. Tiga staf yang seharusnya ikut, entah kenapa mendadak dapat tugas lain. Kami berdua naik Alphard milik bosku itu. Ia menolak menggunakan mobil yang disediakan pabrik. Mungkin karena tingkat kenyamanannya beda level dengan Alphard ini.
“Nih!” Sebuah amplop disodorkan Pak Hartoni padaku.
“Amplop apa ini, Pak?” Aku membolak-balik amplop cokelat itu.
“Biasalah dari Pak Andi.”
Aku terdiam sejenak. Ini … suap?
Kukembalikan amplop itu pada Pak Hartoni. “Maaf, Pak. Saya tidak bisa terima.”
Pak Hartoni mengerutkan dahi. Raut mukanya tampak tak senang. Ia bertanya kembali, seakan ingin meyakinkan bahwa apa yang ia dengar tidaklah salah. Aku tetap menolak. Bosku itu mengedikkan bahu lalu memasukkan amplop ke dalam tas laptopnya.
Rapat kami hanya sebentar. Tak banyak yang kami bahas. Bahkan, rapat yang dipenuhi makanan itu lebih seperti jamuan. Pak Andi hanya berdua dengan stafnya. Ia menyerahkan proposal dan bercerita tentang kolega yang akan diajak kerja sama dalam pengadaan barang. Yang aku tahu, si kolega itu adalah salah satu penyandang dana kampanye saat pencalonan bupati. Hmm … menarik.
Selesai santap siang, Pak Andi menyodorkan dua kartu padaku. “Silakan beristirahat sebelum kembali ke pabrik. Semua sudah saya handle.” Ia mengedipkan mata dan tersenyum aneh. Aku menerima kartu atas perintah Pak Hartoni dengan heran. Rasanya rapat yang hanya sebentar tadi tidak membuat kami lelah. Pak Andi berpamitan sambil menjabat tangan kami.
Kuikuti langkah kaki bosku ke lift dan kami berjalan menuju kamar paling ujung di lantai ini. Rupanya dua kartu itu adalah kunci dua kamar yang berhadapan. Pak Hartoni mengajakku masuk kamarnya sebentar.
Belum ada lima menit kami masuk, pintu sudah diketuk. Aku yang sedang mencuci tangan mendengar suara pintu terbuka disusul tawa Pak Hartoni. Saat keluar kamar mandi, aku terbelalak. Langkahku terasa berat melihat pemandangan di ranjang.
Dua wanita berpakaian seksi sedang rebah dengan pose menggoda. Mereka menatapku sambil tersenyum. Pak Hartoni menepuk pundak dan menyuruhku memilih satu di antara dua wanita itu. Fasilitas dari Pak Andi, begitu katanya.
Seketika tubuhku meremang. Sejenak bayangan istri dan kedua anakku berlari dalam pikiran. Aku memalingkan muka dari kedua wanita itu. “Maaf saya tidak bisa, Pak. Saya tunggu di lobi saja. Saya harap Bapak tidak melakukannya.”
Sepertinya Pak Hartoni tak peduli. Bisa kutebak dari tawa sinisnya saat aku berpamitan. Bergegas aku keluar menuju lift. Perutku terasa diaduk-aduk. Aku mual. Kubekap mulut agar tak sampai muntah di hotel ini. Sampai di lobi, di toilet pengunjung, aku keluarkan semua isi perutku.
Sejam menunggu, bosku turun dengan wajah semringah. Berbanding terbalik dengan aku yang lesu karena mendengar cerita dari supir Alphard bosku itu kalau Pak Hartoni sudah biasa begitu.
“Kamu jangan sok suci jadi orang. Ikutin saja alur mainnya. Enak-enak, kok, ditolak? Sudah biasa itu. Makanya saya pilih kamu. Biar kamu kecipratan enaknya juga.” Di dalam mobil, Pak Hartoni berbicara sambil menatap ke jalan dan menggeleng-geleng.
“Maaf, Pak. Haram. Dosa. Kalau masuk ke badan, nggak berkah. Apalagi kemakan anak istri. Bisa abadi itu dosanya.” Kuberanikan diri bicara.
“Alah! Yang kayak gitu itu udah biasa. Kamu jangan lugu-lugu amat. Orang miskin mau ambil bantuan aja nyuap petugasnya dulu, kasih pelicin sama lurahnya. Udah biasa itu.” Kembali tawa sinis terdengar. “Kamu kira makan siang pas kita selesai lelang itu dari mana? Trus kenapa kita rapat di hotel mewah dengan jamuan makan dan bonus tadi itu, dari siapa? Trus tujuannya apa kasih ini semua? Udah masuk badan kamu itu.” Kali ini ia terbahak-bahak.
Aku terkesiap.
Benar juga. Kenapa aku sebodoh ini? Seketika keringat dingin muncul di dahi. Tawa Pak Hartoni seperti kekehan setan yang memenuhi otakku. Sudah tercemar darah di tubuh ini oleh uang haram. Sudah kutelan dosa yang berdiam abadi di aliran darahku. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam.
***
Teriakan kedua anakku membuat senyum melengkung di bibirku. Kulihat wanita tercintaku berdiri di depan pintu dengan kedua buah hati kami. Wajah mereka tampak sangat senang menyambutku pulang.
Ah, lupakan tentang uang haram yang menjadi abadi di tubuh ini. Setidaknya, anak istriku harus bersih. Tidak akan ada makanan haram yang masuk ke tubuh mereka. Aku berjanji dalam hati sambil mencium mereka satu per satu.
Saat masuk rumah, mataku terkunci pada sepeda baru dan aneka jajanan yang berjajar di meja ruang tamu.
“Yah, tadi ada kiriman sepeda untuk anak-anak, jajanan dan sembako banyak, deh. Kata yang ngirim, dari Pak Hartoni sama Pak Andi. Bonusnya Ayah.” Cerita istriku membuat tubuh ini lemas.
“Jajanannya enak-enak, Yah. Ini buat Ayah udah disimpenin.” Kali ini cerita si Sulung membuat perutku kembali mual.
Aku pun muntah tanpa ada sesuatu yang keluar dari perutku. (*)
Erien. Someone who’s learning by doing.
Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com