Dosa
Oleh: LutfiRose
Aku bersimpuh di depan lelaki tegap berkulit sawo matang—ayahku. Air mata tak mampu kubendung lagi. Mengalir seperti keran bocor yang tak bisa diperbaiki. Kalau saja boleh, ingin aku berteriak memaki semua orang yang hanya diam. Mengapa mendadak mereka menjadi bisu. Bukankah biasanya mereka begitu terbuka, senang bercerita tentang banyak hal padaku?
Eyang Putri hanya diam. Menarik napas sambil mengelus dada.
Dua pekan sebelumnya.
“Baiklah, semoga rencana kita akan berjalan lancar,” ucap Ayah mantap, sembari menatap semua orang yang duduk di ruang tamu.
Sebagai seorang gadis, tentu aku merasa bahagia. Pemuda yang selama ini sering menghiasi di setiap mimpi di penghujung malam, kini berada di satu meja bersama keluarganya dan keluargaku. Dia sesekali melirik ke arahku, tersenyum canggung saat tatapan kami tak sengaja bertemu.
Ada rasa hangat menyusup memenuhi setiap darah yang mengalir.
Terkadang rasa cinta bisa hadir dengan begitu cepat. Bahkan tak butuh alasan sebagai dasar. Rasa yang kukira rumit, kini terukir dengan begitu elok untuknya.
“Baiklah, Pak Dahlan, kami sekeluarga mengucapkan terima kasih atas jamuan yang sungguh istimewa. Kami akan datang lagi ketika pelaksanaan akad. Kami juga harus bersiap-siap di rumah. Satu bulan itu bukan waktu yang lama kan, Pak?” Lelaki yang bersuara berat lagi bijak itu bicara sambil terkekeh. Tampak dia berusaha sesantai mungkin, namun tetap hati-hati dalam memilih kata dalam setiap kalimatnya.
Ayah menjabat tangannya. Tampak sempurna bukan? Semua orang pasti merasakan hal yang sama denganku, bahagia.
Namun kenyataan sering kali bertolak belakang dengan harapan. Semua kebahagiaan bisa berubah menjadi air mata hanya karena sebuah kalimat yang keluar dari mulut lelaki yang kupanggil Ayah.
“Aku tak mungkin menjadi wali dalam pernikahanmu, Sati.”
Pria yang selalu ada di setiap sendiriku itu, menunduk. Ada raut kesakitan saat mengatakannya. Aku menimpalinya dengan tawa. Kukira dia pasti sedang menggodaku. Sama seperti ketika dia menyembunyikan beberapa mainan ketika aku sedang main dengan anak tetangga, dahulu.
Setelah menarik napas sesaat dia melanjutkan. “Bagaimana aku bisa menyampaikan ini, anakku. Puluhan tahun kami simpan rapat rahasia ini.”
Hening.
Ada apa ini? Apakah bukan lagi lelucon? Lalu apa arti semua ucapan Ayah? Begitu banyak pertanyaan yang memenuhi benakku. Kembali kutoleh Eyang Putri, tapi beliau hanya mengelus dada. Matanya menyorotkan kesedihan mendalam. Meski air mata tak sampai tumpah, tetap saja genangan di pelupuk matanya tampak nyata.
Sedangkan Ibu hanya menunduk. Gamis merah yang dikenakan tampak basah. Sesekali terdengar napasnya sengau karena tangis. Lalu aku harus mendapat jawaban dari siapa? Jika semua orang hanya diam.
“Ayah?” Kembali aku memandang lelaki satu-satunya di ruangan ini. Bang Rindang biasanya selalu menenangkanku jika Ayah atau Ibu marah. Hari ini istrinya sedang sakit, dia baru bisa datang dua hari sebelum hari pernikahanku. Memang setelah menikah banyak hal yang tidak bisa dikendalikan sendiri. Separuh diri kita telah menjadi hak pasangan kita.
“Mungkin memang ini saatnya kamu tahu, Nak.” Ayah mulai lagi bicara.
“Katakan, Ayah! Aku akan mendengarkan, apa pun kenyataan yang ingin Ayah sampaikan.” Aku berusaha tenang. Kuyakinkan diri ini, semua hanya kesalahfahaman belaka.
“Kamu bukan anak Ayah.”
Laksana sambaran petir mendengar ucapannya. “Berhentilah bercanda, Ayah. Ini sungguh tak lucu sama sekali.”
“Baiklah, dengarkan baik-baik, Nak.” Ayah menarik tangan kananku, memintaku untuk duduk di sampingnya.
Dia mulai bercerita, dua puluh lima tahun yang lalu. Kondisi ekonomi keluarga kami sangat buruk, Eyang Putri sakit dan harus operasi, usaha sangkar burung Ayah bangkrut dan harus menanggung utang puluhan juta. Saat itu abang masih kelas empat SD. Tak ada yang bisa dijual di rumah, tak ada sanak saudara yang bisa dimintai bantuan, karena kondisi mereka tak lebih baik. Satu-satunya solusi adalah memaksa tulang rusuk menjadi tulang punggung. Ya! Ibu memilih mengambil alih kewajiban Ayah, bekerja keluar negeri, menjadi TKW.
Ayah tak mau menjelaskan detail yang terjadi, dia hanya mengatakan pada tahun kelima, Ibu pulang dalam kondisi mengandung lima bulan.
“Jika ingin menyalahkan, salahkanlah Ayah, Nak! Ayah tak becus jadi kepala keluarga. Membiarkan ibumu harus membanting tulang membayar utang.” Dia memukul pahanya dengan kepalan tangan. Ada gurat marah menyesal bercampur menjadi butiran air mata.
Untuk pertama kali, lelaki tangguhku menangis di depanku. Aku diam, tak tahu gejolak apa yang berkecamuk di dada ini. Jika sakit, pasti Ayah lebih sakit. Luka pun, tentu luka Ayah lebih dalam lagi. Aku melirik Ibu yang tetap bungkam dalam isaknya. Ingin marah padanya, benci, muak, tetapi ….
“Jangan pernah hakimi ibumu, Nak. Dia sudah menanggung beban seberat ini bertahun-tahun. Hukuman dari Ayah sudah cukup baginya, belum lagi peradilan dari Yang Maha Kuasa kelak.”
Aku menarik napas yang mulai terasa sesak. Ayah benar, aku hanya seorang anak. Sudah dibesarkan dengan penuh cinta, disayangi dengan tulus, apa hakku marah?
Baiklah. Aku menerima semua ini. Kuhapus air mata, beranjak berdiri, meraih ponsel yang tergeletak di meja.
“Aku akan menelepon Karna. Dia harus tahu. Jika pun keluarganya tak mau menerima, ada waktu dua minggu lagi untuk membatalkan semuanya.”
“Tapi, Sati.” Ibu Bangkit dari diamnya, mencegah tanganku menekan nomor tunanganku.
“Cukup, Bu. Sebuah hubungan harus dimulai dengan kejujuran. Apa pun keputusannya, aku akan hadapi.”
“Bagaimana jika dia membatalkan pernikahan kalian.” Suara Ibu parau.
“Mungkin itu yang terbaik. Karena cinta yang tulus pasti mau memaafkan sebuah kesalahan. Sama seperti Ayah yang memaafkan Ibu, Karna juga harus menerima kenyataan ini.”
Ibu kembali duduk, Ayah diam, hanya memandang tanpa kutahu arti sorot matanya. Kembali kutekan nomor kekasihku.
***
Di sinilah aku sekarang. Menyaksikan lelakiku mengucap ikrar pernikahan, menjabat tangan seorang wali hakim. Prosesi yang direncanakan sederhana menjadi makin sederhana. Karna hanya datang bersama ibunya, ayahnya tak mau datang.
Hangat menjalar di dalam dada ini tatkala kudengar hadirin serentak berkata, “sah!” Sungguh ini sebuah keajaiban setelah semua hal yang terjadi.(*)
Lutfi Rose,memiliki nama asli Lutfi Rosidah, sebuah nama pemberian Ayah. Nama yang juga dipakai di sebagian besar akun media sosialnya. Seorang ibu rumah tangga berpenghasilan, memiliki tiga orang putri dan seorang putra, tetapi masih imut. Hihi…. Penulis berasal dari Kota Apel dan tetap istiqomah di tanah kelahiran. Seorang pejuang gombal yang ingin mewujudukan mimpi masa kecilnya menjadi seorang penulis. Semoga bisa terealisasi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata