Dongeng Tanpa Akhir

Dongeng Tanpa Akhir

Dongeng Tanpa Akhir
Oleh : Triandira

Ada bagian yang terlewat dan tidak Ibu ceritakan ketika membacakan dongeng kepadaku, bahwa ternyata kisah yang tertulis di sebuah buku bisa menjadi nyata. Mula-mulanya aku tak menyadari hal itu dan hanya berfokus pada apa yang kudengar, tentang si gadis bernama Rapunzel. Itu adalah dongeng yang selalu Ibu ceritakan di malam hari semenjak aku berusia 7 tahun.

Rapunzel adalah gadis cantik yang dibesarkan oleh seorang penyihir. Ia memiliki rambut berwarna keemasan yang sangat panjang, yang biasanya digunakan oleh sang penyihir untuk naik ke atas menara. Tempat di mana Rapunzel dikurung sepanjang waktu tanpa boleh keluar untuk menemui siapa pun, meski hanya sebentar. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan seorang pangeran, lalu … eum, maaf karena aku tidak bisa menceritakan apa yang terjadi selanjutnya. Sejujurnya, aku memang tidak mengetahui akhir kisah mereka—Rapunzel, pangeran dan sang penyihir, sebab Ibu tak pernah tuntas menceritakannya.

Aku sering bertanya siapa sebenarnya pangeran itu. Apakah ia teman, sahabat, atau kekasih Rapunzel? Dan apa kalian tahu bagaimana jawaban Ibu.

“Belum saatnya kamu mengetahui semua itu, Sayang. Jadi berbaringlah sekarang juga dan pejamkan matamu. Ayo, cepat,” begitulah Ibu selalu membalas ucapanku. Keesokan harinya, wanita berambut lurus itu pun akan kembali mengisahkan dongeng yang sama, lalu berhenti bercerita di halaman yang sama—bagian yang sesungguhnya paling ingin kuketahui dari cerita itu. Tentang kehidupan Rapunzel setelah bertemu dengan pangeran.

Bahagiakah ia?

Ah, aku selalu ingin mengetahuinya.

“Lalu kapan aku boleh mendengarnya, Bu?” tanyaku tiap kali Ibu selesai bercerita dan hendak menutup pintu, bergegas pergi ke kamarnya sendiri.

“Tidak lama lagi anakku, bersabarlah.”

Seolah terhipnotis, aku selalu percaya dengan hal yang ia katakan. Setiap hari tak henti-hentinya aku berharap bahwa Ibu akan menepati janjinya. Tapi tidak. Nyatanya, hingga sampai saat ini perkataan itu belum juga terbukti. Lambat laun aku pun mulai kesal terhadapnya.

“Ibu pembohong!” teriakku di suatu malam. Saat itu aku benar-benar sedih dan terpukul. Bukan hanya oleh sikap Ibu yang menyebalkan, tetapi juga hal lain. Sesuatu yang membuatku dengan mudah meneteskan air mata.

Layaknya si gadis berambut panjang keemasan, kehidupanku pun tak jauh berbeda. Tepatnya semenjak setahun silam, Ibu mengurungku di dalam kamar berjendela kaca yang tak begitu besar. Namun bisa kugunakan untuk berinteraksi dengan dunia luar, secara tidak langsung. Kau tahu? Melihat kendaraan yang berlalu lalang, si bocah berkepala plontos yang sering melintas di depan rumah bersama ayahnya, hingga kicauan burung kecil di halaman. Seperti itulah rutinitas yang biasa kulakukan. Mengamati apa saja yang terjadi di luar, dari balik jendela kamar.

***

“Kamu mau mendengarnya lagi?” tanyaku kesekian kali kepada seseorang yang kupanggil Yuna. Ia adalah satu-satunya teman yang masih setia mendatangiku. Di saat yang lain memilih untuk menjauh, gadis itulah yang dengan senang hati meluangkan waktunya untuk mengajakku bermain di rumah.

Sebenarnya aku sangat ingin pergi ke luar, lalu mengajaknya bermain di halaman. Tentu saja, tanpa sepengetahuan Ibu agar kami tak kena marah. Tapi Yuna menolak, ia bilang itu bukan ide yang bagus. Aku menurut, dan di sinilah kami sekarang.

Yuna duduk di belakangku sambil memainkan bola-bola kecil beraneka warna. Sesekali memantulkannya ke dinding, juga lantai hingga menimbulkan bunyi yang membuatnya tertawa seolah ada hal lucu yang sedang terjadi.

Sementara itu, aku berdiri di dekat jendela dengan tangan yang tak bisa diam. Aku suka melakukannya, meniup kaca jendela hingga berembun kemudian menuliskan sesuatu di sana, menggunakan jari telunjuk yang kulitnya sedikit mengelupas. Sama seperti bagian tubuhku yang lain, yang awalnya memerah seperti ruam pada kulit bayi, lalu lama kelamaan mengelupas dengan sendirinya. Atau bisa juga karena ulahku yang menggaruknya hingga berdarah sebab tak bisa menahan rasa gatal, dan di saat itulah aku benci melihat diriku sendiri. Bahkan bayanganku yang terlihat menyeramkan ketika becermin.

Seperti monster saja. Mungkin itulah yang menyebabkan teman-teman tak menyukaiku. Mereka takut kalau-kalau penyakit ini menular. Penyakit yang aku sendiri juga tidak mengetahui apa penyebabnya. Namun yang jelas, karena kesialan ini aku jadi bernasib buruk. Tak punya teman kecuali Yuna. Parahnya lagi , aku terkurung di dalam rumah. Ibu malu. Wanita itu malu jika sampai ada tetangga yang menggunjingkan diriku. Ah, bukankah itu menyedihkan?

“Dia menangis lagi,” ucapku menjelaskan sesuatu yang terjadi di luar, tentang bocah berbaju biru yang cengeng—sepertinya begitu, karena tiap kali melintas di depan rumahku ia selalu menangis.

Kali ini perkataanku menarik perhatian Yuna hingga membuatnya berhenti memainkan bola. “Apa lagi sekarang?”

“Mobil-mobilan. Dia menginginkan itu,” aku kembali menjelaskan sambil meniru gaya si bocah yang tengah merajuk, minta dibelikan mainan dari pedagang yang lewat di dekatnya. Malam ini memang cukup ramai. Beberapa meter dari bangunan yang kutinggali, ada banyak orang berkerumun untuk menyaksikan pasar malam.

Menyebalkan, bukan? Di saat seperti ini aku malah berdiam diri di kamar, hanya untuk menenangkan hati Ibu. Wanita yang menjadikanku tak ubahnya seorang tahanan.

“Lalu?”

“Ada pak tua yang sedang berdiri di depan pagar. Ia menyanyi sambil memetik gitar.”

Yuna tak bersuara lagi. Sementara aku masih terus bercerita, seperti Ibu yang sedang mendongeng. Bedanya, aku menceritakan hal yang nyata sementara Ibu … harus kusebut apa dongengnya itu? Kisah yang menjadi nyata?

Ah, siapa peduli. Bagaimanapun aku menyebutnya, keadaan tidak akan berubah. Tapi percayalah, aku mulai terbiasa. Lagi pula benar juga apa yang Ibu katakan, aku tidak sendirian. Masih ada Yuna yang bersedia berteman denganku.

Gadis itu tersenyum. Dia tampak begitu bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Ibu, sosok yang juga sering kuceritakan terhadapnya. Kuharap mereka bisa berteman baik. Jadi aku tidak perlu repot-repot lagi menjelaskan kepada wanita itu perihal kamar yang terlihat berantakan. Maksudku seminggu belakangan ini.

“Sepertinya kamu menyukainya, tapi bisakah Ibu meminta sesuatu?” tanyanya di suatu malam.

“Ya, tentu saja Ibu. Katakan saja.”

“Gadis pintar. Dengar, Sayang. Ibu sudah lelah beraktivitas sepanjang hari. Kamu tahu, kan?” Aku mengangguk. “Jadi Ibu mohon, kemasi lagi mainan-mainan itu, ya. Lihat, Ibu sudah manaruh kardus di bawah meja belajarmu. Kamu bisa gunakan itu untuk menyimpan semuanya. Bagaimana?”

“Akan kucoba.”

“Bagus, Sayang. Ibu tahu kamu anak yang baik.”

“Tapi, Bu ….”

“Iya?”

“Ini juga ulah Yuna, jadi akan kusuruh dia untuk membereskan semua mainanku nanti.”

“Apa maksudmu, Sayang? Apa temanmu itu sering datang kemari tiap kali Ibu keluar?”

Wajah Ibu menegang. Sudah kuduga dia tidak menyukai hal itu. Meski masih kesal terhadapnya—yang tak kunjung menepati janji hingga membuatku merasa dibohongi—tetapi tetap saja, aku tidak bisa mengabaikan perasaan wanita itu.

Ibu mencemaskan keadaanku. Dia takut aku akan disakiti orang lain dan karena itulah dia membatasi interaksiku dengan dunia luar.

“Yuna gadis yang baik. Dia selalu menemaniku ketika Ibu tidak ada di rumah, jadi jangan marah ya, Bu,” sahutku sebelum Ibu kembali melontarkan pertanyaan.

“Apa itu benar? Dia tidak menyakitimu?”

“Hm.”

Kami terdiam sejenak, tapi kemudian Ibu mengangguk sambil melemparkan senyum kepadaku. Syukurlah, Ibu tidak jadi marah dan dia percaya dengan apa yang aku katakan. Hanya saja, pertemuannya dengan Yuna tak seperti yang kuharapkan.

Saat ini kamar masih dalam keadaan berantakan. Aku dan Yuna belum sempat membereskan mainan yang berserakan di atas lantai ketika tiba-tiba saja wanita itu muncul dari balik pintu. Dia tampak terkejut setelah melihatku tertawa tiap kali Yuna melemparkan bola ke dinding, lalu memantul kembali ke arahnya dan mengenai kepala. Itu lucu. Terlebih saat bola-bola yang dia lempar berhasil kutangkap tanpa terjatuh ke lantai terlebih dahulu.

Sebenarnya itu bukan hal yang mudah. Aku sering mencobanya, dan selalu gagal. Bola-bola yang kulempar ke dinding tak pernah bisa menembus kepalaku, seperti apa yang Yuna tunjukkan barusan. Tapi tak masalah, aku masih bisa melakukan hal yang lain. Mendengarkan dongeng bersama Yuna misalnya.

Ah, bukankah itu ide yang bagus? Siapa tahu dengan bertambahnya pendengar, Ibu akan benar-benar menuntaskan dongeng itu.

“Oh, Ibu sudah pulang?” sapaku begitu menyadari keberadaannya. Aku menghampiri wanita itu, lalu mendekapnya sebentar. Ibu masih mematung dan tak bersuara sedikit pun. Barulah setelah aku menggoyang-goyangkan tubuhnya yang sedikit gemetar, ada kalimat yang terlontar dari mulutnya.

“Ba—bagaimana mainanmu bisa bergerak sendiri?”

Aku menoleh dan memusatkan perhatian pada gadis yang masih sibuk memainkan bola. “Apa maksudmu, Ibu? Bukankah ada Yuna di sana? Oh iya, Yuna sama sepertiku. Dia sangat suka mendengarkan cerita. Jadi, bisakah Ibu mendongeng untuk kami sekarang?”

Malang, 26 Januari 2019

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: wahyutriandira1@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply