Dongeng Masa Lalu

Dongeng Masa Lalu

Dongeng Masa Lalu
Oleh : Siti Nuraliah

Aku pernah jatuh cinta pada laki-laki yang usianya jauh lebih tua. Sepuluh tahun selisihnya. Akan tetapi entahlah, apa mungkin perasaan itu bisa disebut cinta? Sebab, awalnya aku hanya merasa nyaman dengan perhatian-perhatian kecil darinya. Aku bisa bercerita banyak hal dengannya, tentang beberapa orang yang mencoba mendekatiku, tentang keluargaku, tentang hobiku, dan hal-hal lain yang biasanya aku tidak bisa bercerita kepada siapa-siapa.

“Kamu punya bakat menulis, dan aku selalu suka semua tulisan-tulisanmu,” katanya saat itu.

Ketika kuceritakan tentang cita-citaku, ia akan menjelma menjadi sosok ayah, kadang-kadang menjadi sosok kakak, sahabat, bahkan lebih dekat dari sekadar itu. Aku masih pura-pura tidak bisa menafsirkan tentang sikapnya padaku. Baik aku atau ia, kami seperti sama-sama sepakat untuk tidak saling bertanya perasaan masing-masing. Namun, bagaimanapun aku sangat menghargai dan menghormatinya, bukan saja sebagai laki-laki dewasa yang usianya jauh lebih tua, tetapi juga karena profesinya—seorang guru mata pelajaran matematika di SMP negeri yang lokasinya berdekatan dengan gedung SMA-ku. Dan aku salah satu alumni SMP negeri itu, tepatnya ketika aku semester dua kelas sembilan, ia datang menjadi guru baru yang masih muda dan cukup menarik perhatian. Serta saat itu, aku hanya sekadar kenal nama. Sebab ia tidak pernah mengajar di kelas kami.

Ujian Nasional tinggal beberapa bulan lagi. Kami diwajibkan untuk ikut pelajaran tambahan. Pada lembar jadwal pelajaran tambahan itu, tertulis namanya sebagai mentor, sejak itulah aku kenal dengannya, hanya kenal sebagai mentor saja.

Aku tidak ingat tepatnya kapan hingga kami bisa sangat akrab. Yang aku ingat, saat aku naik ke kelas tiga SMA, ia mengirimiku pesan ucapan selamat atas peringkat pertama yang aku dapat. Ia menjadi sangat perhatian, perhatian khas orang dewasa. Kadang-kadang aku bertanya mengenai beberapa mata pelajaran kepadanya. Kami juga bisa berdiskusi panjang lebar tentang organisasi, tentang topik-topik hangat berita TV, atau kadang-kadang ia mengajakku membahas tentang politik di negeri ini.

Pada suatu malam, ia mengirimiku pesan. Isinya semacam curhatan kalau orang tuanya meminta agar ia segera menikah. Tapi aku tidak membalas pesan itu hingga besok paginya. Bukan apa-apa, bahasanya terlalu puitis, aku takut salah memahami maknanya. Semenjak itu, ia jadi sering cerita apa saja tanpa diminta. Begitu pun aku.

Aku bercerita, kalau aku kemarin ditembak penjaga warnet. Bulan kemarin ditembak teman sekelas, tadi pagi ditembak adik kelas. Aku tahu, saat membaca pesanku dia pasti tertawa terpingkal-pingkal.

[Mungkin minggu depan atau lusa, TU di SMP negeri ini yang akan nembak Alina. Soalnya hampir setiap hari dia ngomongin Alina terus. Katanya enggak bisa lupa sama lulusan terbaik SMP negeri.]

Ia membalas pesanku setelah sepuluh menit. Aku geli membaca pesan itu. TU SMP negeri yang genit dan lebai. Umurku lebih muda darinya.

[Lagi pula kenapa dari ketiga pemuda yang mengejar cinta Alina tidak ada yang diterima? Haha.]

Pesan kedua masuk lagi.

[Dalam kamus kehidupan Alina, tidak ada yang namanya pacaran. Hehe.]
Pesan itu terkirim dan tidak ada balasan lagi.

***

Kami merenggang, entah sebabnya apa. Tidak ada komunikasi, tidak ada lagi pesan pertanyaan-pertanyaan tentang kabar, tentang pelajaran dan leluconnya yang garing. Awalnya aku merasa baik-baik saja, malah saat itu aku mengira ia sudah punya pacar dan aku berdoa semoga ia bisa segera menikah seperti yang sering ia ceritakan padaku.

Waktu sangat cepat sekali berjalan, kini aku hanya tinggal menunggu surat kelulusan. Tiba-tiba entah seperti ada angin dari mana aku merasa kehilangan. Aku merasa seperti rindu pesan-pesan darinya. Apalagi saat seperti sekarang, aku bimbang antara lanjut kuliah atau masuk pondok pesantren. Sebenarnya aku sangat ingin mengambil dua-duanya. Tapi karena beberapa hal, aku harus pilih salah satu. Biasanya, ia bersemangat menyimak cerita-cerita dariku, lalu ia akan menjelma menjadi motivator dadakan, atau jadi stand up comedy bajakan. Lalu suasana akan menjadi cair dan keadaan akan kembali menjadi baik-baik saja.

Pada suatu malam saat aku mengingatnya, ia mengirimiku pesan untuk pertama kali setelah beberapa bulan menghilang.

[Setelah pembagian surat kelulusan nanti, apa boleh aku bertemu kedua orang tuamu? Bila boleh jujur, aku sudah sejak dulu mengagumimu. Kamu gadis yang beda. Sulit dipercaya memang, usia kita sangat jauh berjarak. Namun, aku merasa kamu gadis yang punya pemikiran dewasa, sehingga saat kita diskusi tentang banyak hal, kamu tidak berjalan di belakangku, kita seperti sedang berjalan bergandengan. Aku merasa aku menemukan sesuatu yang spesial pada dirimu. Aku ingin melamarmu.]

Kata yang berderet-deret itu, membuatku terbelalak. Sejak kapan ia mengganti sebutan namaku dengan sebutan ‘kamu’. Perasaanku sulit dijelaskan, aku pun tidak tahu harus bahagia atau bagaimana. Sebab, sebelumnya aku belum pernah merasakan perasaan yang sulit diungkapkan ini. Sebenarnya ada perasaan bahagia, tapi biar bagaimanapun, aku tetap tidak bisa menerima permintaannya. Aku juga mengaguminya, mungkin juga telah jatuh cinta. Tapi perasaan itu tidak lebih besar dari rasa hormatku kepadanya sebagai guru. Aku takut mencoreng reputasinya, aku takut ia malah akan menjadi jelek di mata orang-orang karena menikahi gadis yang sempat menjadi murid bimbelnya. Lagi pula, tidak ada terpikirkan sedikit pun dalam otakku, langsung menikah setelah lulus sekolah.

Aku bingung hendak membalas apa. Ia juga datang tiba-tiba tanpa aba-aba setelah lama menghilang. Lalu dengan mudah mengungkapkan perasaan tanpa bertanya lebih dulu aku sudah siap atau belum.

[Alina, apa kamu merasakan apa yang aku rasakan juga? Aku butuh jawaban iya atau tidak.]

Otakku mendadak tidak bisa diajak berpikir, jari-jariku gemetar untuk mengetik balasan. Setelah berdiskusi panjang lebar dengan hati, akhirnya aku bisa membalas pesannya setelah satu jam.

[Maafkan Alina. Alina sangat menghormati Kakak sebagai guru Alina. Jadi Alina tidak bisa menerima maksud baik Kakak untuk melamar Alina. Alina juga mengagumi Kakak, tapi Alina belum bisa atau mungkin tidak bisa.]

Kemudian setelah itu, keadaan kembali berubah. Kami masih saling bertukar kabar, masih saling sapa meski isi pembahasannya menjadi biasa saja. Hanya hitungannya menjadi beda. Tiga hari sekali, seminggu sekali, sampai kadang-kadang tidak ada sama sekali. Aku paham, itu adalah cara ia melepasku pelan-pelan. Ia kembali menghilang dan aku berharap ia tak lagi datang.

Dan pada hari Minggu pagi, tepatnya hari kesembilan puluh kelulusanku. Seorang teman menghubungiku, ia bertanya apa aku sudah tahu kabar pernikahannya? Temanku itu memberi kabar, kalau semua alumni SMP negeri diundang. Acaranya dua minggu lagi. Ada perasaan aneh di dalam hatiku, aku tidak ingin berasumsi kalau aku patah hati seperti yang dirasakan teman-temanku bila mereka bercerita tentang pacarnya yang selingkuh, atau tiba-tiba ditinggalkan padahal masih sangat sayang.

Kabar tentang pernikahannya, rupanya menguasai isi kepalaku. Ia pernah bilang, bila suatu saat nanti jika telah menemukan pujaan hati, aku orang pertama yang akan ia beri tahu. Untuk pertama kalinya ia telah ingkar janji.

Lima hari menjelang pernikahannya, ia meneleponku lagi. Seperti biasa, ia bertanya kabar—rupanya masih tidak ada yang berubah dari caranya berbicara. Nada dan getarannya masih seperti dulu. Aku menjawab teleponnya dengan sedikit usaha menenangkan hati. Agar suaraku tidak terdengar grogi. Pembicaraan melalui telepon berlangsung selama sepuluh menit, tapi kami lebih banyak diam. Ia yang biasanya tidak pernah kehabisan pembahasan, tiba-tiba setelah menit ketiga menjadi laki-laki beku. Aku mulai mengambil jarak, kututup teleponnya tanpa pamit bahkan sebelum sempat ia mengucapkan kata perpisahan.

[Kamu tidak bisa berbohong, Alina. Maafkan aku telah melukai hatimu.]

Pesan itu tidak pernah aku balas.

***

Kini, ketika aku membersihkan rak buku, dan menyusun kembali beberapa buku karyaku bersama buku-buku lainnya, tanpa sengaja aku membuka buku harian lama. Catatan-catatan dulu masih jelas terbaca, kertasnya sudah menguning dan berbau apak lantaran buku itu menjadi buku yang aku simpan paling pojok di rak buku. Lembaran-lembaran itu mendongengkan cerita-cerita delapan tahun yang lalu.

Kelak namamu akan abadi dalam dongengku.

Saat aku membaca kalimat itu, kalimat yang kutulis tepat di malam pernikahannya. Aku tersenyum, hari ini aku bisa mengingatnya tanpa perasaan apa-apa.

***
Banjarsari, 6 Februari 2021


Siti Nuraliah. Perempuan sederhana kadang suka menulis kadang suka membaca.


Editor : Rinanda Tesniana

Leave a Reply